Kuning meriah dalam hamparan petak-petak sawah.
Lelakut melakoni tugasnya membantu para petani menghalau hama khususnya burung. Dia berupa orang-orangan di sawah Sajian yang kadang berada di antara rumbai-rumbai yang dibentangkan dengan tali. Orang Bali menyebutnya lelakut.
Komunitas Seni Rupa Galang Kangin (GK) menjadikan lelakut sebagai sumber inspirasi. Sejak terdiam di rumah karena wabah COVID-19, mereka memberanikan diri keluar dari zona yang tak mengenakkan. Mereka pun menggelar pameran sejak 10 Oktober 2020 lalu di kawasan Subak Telunayah, Tegallallang, Gianyar dengan tema LELAKUT.
Ada sepuluh seniman yang terlibat pameran ini yaitu Galung Wiratmaja, Wayan Setem, Made Gunawan, Wayan Naya, Nyoman Diwarupa, Made Ardika, Sudarwanto, Agus Murdika, Atmi Kristiadewi, dan Dewa Somawijaya.
Galung Wiratmaja Ketua Galang Kangin menjelaskan lelakut sebenarnya salah satu media atau bentuk visual menyerupai manusia atau orang-orangan. Fungsinya menjaga tanaman petani di sawah dari gangguan hama. Salah satunya burung dan tentu saja hama-hama lainnya.
Dalam membuat lelakut pastilah para petani sedikit bersentuhan atau memanfaatkan kreasi dan daya seninya untuk menciptakan lelakut sekalipun itu perwujudannya sangat sederhana.
“Kami masuk lewat celah itu dan mengeksplorasikannya lebih jauh dalam dunia seni sebagai propaganda atau untuk menyuarakan kepada khalayak akan pentingnya menjaga, mengekplorasi dengan bijak,“ tuturnya seniman asal Sukawati.
Instalasi seni Lelakut, kata Galung, mengajak semua baik masyarakat, pemegang kebijakan tetap berupaya menjaga keharmonian alam dan lingkungan. Salah satu poin penting adalah keberpihak pada sektor pertanian. Di saat pandemi ini, sektor pertanian terbukti lebih menjamin untuk ketahanan pangan meskipun menghadapi masifnya alih fungsi lahan.
GK sendiri belakangan ini sedikit lebih konsen mengangkat isu-isu lingkungan di beberapa kali pameran. Misalnya mengangkat air sebagai tema pameran dalam seni instalasi beberapa tahun terakhir.
Terkait pandemi COVID-19, Galung membeberkan beberapa rencana pameran seni konvensional, berupa karya visual art di galeri, telah dirancang sejak setahun sebelumnya dan terpaksa ditunda. Praktis segala kegiatan yang melibatkan banyak orang dibatalkan atau ditunda.
“Banyak di antara kita melakukan kegiatan pameran, diskusi, berkesenian dalam berbagai bentuk secara daring. Dan, GK pun ingin terus eksis. Hanya saja teman-teman tidak mau latah,” katanya.
Galung mengatakan mereka ingin memanfaatkan media dan cara berkesenian yang lebih membumi dengan berpameran karya seni instalasi dengan venue di tengah sawah. “Kami memilih media yang sangat akrab dangan kalangan masyarakat,” katanya.
Instalasi dengan memanfaatkan media-media ramah lingkungan itu setidaknya menekan biaya. Apalagi proyek ini tidak untuk kepentingan pasar. Murni didedikasikan untuk dunia seni sebagai penyadaran untuk alam lingkungan yang lebih baik.
“Pemerintah pastilah telah memikirkan penguatan-penguatan di sektor ini, tetapi perlu lebih serius dan gencar lagi. Contoh sederhana saja, begitu gampangnya alih fungsi lahan terjadi. Jelas ini sangat berbahaya untuk sektor pertanian dan memperparah disharmoni segala hal tentang alam dan lingkungan,“ kata Gelung. [b]