Jika Kinan adalah umat sedharma, bisa jadi dia hanya berakhir sebagai Ibu Darmi.
Layangan Putus beberapa kali menjadi trending topic di Twitter. Beberapa potongan gambarnya menjadi meme di reel maupun instastory Instagram. Juga beberapa kali terlihat di video. Status teman-teman di Facebook juga banyak mengacu padanya. Pernah juga saya mendengar langsung orang sedang membicarakannya.
Jadi, rasanya cukup sah untuk saya nilai bahwa film berseri Layangan Putus adalah sesuatu yang penting untuk kehidupan berbangsa kita, masyarakat Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) harga mati. Kita masyarakat yang nampaknya sering keliru menaruh emosi dan rasa kasihan. Masyarakat media sosial yang sering begitu mudah disulut api kebenciannya untuk sesuatu yang kurang prinsipil kemudian dimainkan oleh politisi untuk kepentingan kekuasaan dan oligarki.
Layangan Putus ialah sebuah film tentang perselingkuhan. Diawali dengan perjalanan pernikahan Mas Aris dan Kinan yang tumbuh menjadi sebuah keluarga kecil mapan dengan seorang anak perempuan, Raya. Sebuah keluarga yang terlihat begitu harmoni.
Namun, ketika Kinan hamil anak kedua, Mas Aris malah memadu asmara dengan perempuan lain secara sembuny-sembunyi. Mas Aris dengan alasan dimabuk cinta mulai pelan-pelan dan pasti merusak gambaran keluarga harmoni menurut standar norma keluarga kecil bahagia dan sejahtera tersebut.
Mas Aris dan selingkuhannya yang tidak hidup di ruang kosong, akhirnya menjadi penyebab kekacauan untuk keluarga sahnya. Si istri yang mulai terang benderang mengetahui perselingkuhan suaminya, ditambah luka mendalam karena kehilangan anaknya, pun menjadi terpuruk.
Kinan lalu bangkit dan memperjuangkan pernikahannya. Namun, dalam perjuangannya itu, dia melihat pilihan-pilihan suaminya. Maka, Kinan pun mulai berbelok arah. Dia tidak lagi memilih mempertahankan pernikahan, tetapi menghimpun strategi dan kekuatan lebih besar untuk memperjuangkan harga diri dan kehidupannya.
Perjalanan Kinan, bagi saya, cukup menguras emosi. Mungkin karena tumbuh kembang saya juga tidak luput dari televisi penuh dengan sinetron. Namun, lebih dari itu, kisah Kinan juga mencerminkan betapa rumitnya posisi perempuan terutama jika dilihat dari kuatnya budaya patriarki di negeri ini.
Bangsa ini memiliki koleksi karakter hantu perempuan. Salah satu hantu yang distigma paling menakutkan adalah hantu kolektif Gerwani yang digambarkan menyilet-nyilet alat kelamin Pahlawan Revolusi. Dari sana kita mampu melihat bagaimana dominasi laki-laki dalam tatanan masyarakat ini begitu kuat. Dari waktu ke waktu kita sangat sering mendengar dan melihat perempuan menjadi korban pelecehan baik fisik, psikis atau mentalnya.
Elegi Bu Darmi
Saya yakin Kinan-Kinan lain banyak bertebaran di lorong-lorong bangsa ini. Bahkan mungkin lebih menyedihkan. Sampai yang tersisa hanya berdoa dan bersyukur karena tidak ada pilihan lain, seperti lagu berjudul Bu Darmi dari Nosstress.
Karya band putra daerah itu, menurut saya, sangat baik menggambarkan kehidupan perempuan di Bali. Kisah sedih yang mungkin lebih dekat dengan keseharian kita di Bali.
Seperti lirik awal lagu itu, kisah sedih yang menjadi biasa karena kita sering menutup mata. Entah apa yang membuat kita sering menutup mata. Mungkin kita tidak bisa membayangkan Ibu Darmi semenarik Kinan atau karena sedikit tidaknya kita adalah bagian dari rantai penindasan itu.
Ibu Darmi adalah istri Pak Darma. Dia seperti potret yang sering terjadi dalam realitas keluarga umat sedharma di Bali. Hidup dengan ekonomi yang jauh dari ingar bingar pariwisata. Memiliki banyak anak yang harus dihidupi. Padahal, memiliki banyak anak hari ini di Bali sering kali bukan karena pilihan atas kuasa tubuh perempuan, melainkan karena target keluarga pihak laki-laki agar memiliki anak laki-laki. Sebab, hanya anak laki-laki yang dianggap akan bisa menjadi pewaris sah dinasti keluarga ‘matahari’.
Selain banyak anak harus dihidupi dan rangkaian upacara yang berjejer dalam kalender umat sedharma bak protozoa, angka-angka juga tertumpu di pundak Bu Darmi sampai dia ngos-ngosan dan terpaksa berutang.
Di sisi lain, Pak Darma yang dianggap sebagai purusa atau pemimpin keluarga malah lebih mempercayakan nasibnya pada seekor ayam. Jika Pak Darma menerima nasib malang dalam taruhan adu ayam (tajen), maka nasib Bu Darmi menjadi tidak lebih baik dari ayam aduan yang kalah, menjadi sasaran kebengisan.
Di akhir lagu, Bu Darmi digambarkan merasa tidak kuat. Lalu, dia berpikir mengakhiri tekanan hidup yang dilalui. Yang menarik kemudian bagaimana budaya kita membuat perempuan seperti Bu Darmi memiliki logika, jika jalan meninggalkan itu adalah menjadi janda, maka itu sama halnya memilih jalan kematian. Jalan yang dianggap lebih seram dari kehidupan tanpa pilihan yang dia lakoni sebagai istri.
Entah apakah benar semenyeramkan itu menjadi janda umat sedharma di Bali.
Kembali ke akhir film Layangan Putus. Kinan yang bisa bangkit dari kekacauan menjadi lebih kuat dan mampu berstrategi. Kinan memutuskan meninggalkan pernikahannya yang tidak lagi layak untuk kehidupannya. Dia dengan pasti memilih menjadi janda setelah memenangkan tuntutannya di pengadilan. Kemudian dia bermain layangan bersama Raya. Menganologikan Mas Aris sebagai layangan putus. Sesuatu yang tak selayaknya dipertahankan.
Relasi Kuasa
Walau dengan masalah berbeda, saya rasa Pak Darma jauh lebih beruntung daripada Mas Aris meskipun istri mereka dalam kepedihan hampir sepadan.
Tentu keberuntungan macam itu bagi saya bukanlah sesuatu yang jatuh dari langit. Apakah karena cinta dan kesetiaan Bu Darmi lebih besar? Saya yakin tidak. Saya lebih yakin karena ini adalah tentang relasi kuasa. Bagaimana ideologi patriarki begitu kuat mengakar dalam pernikahan umat sedharma di Bali. Ideologi patriarki saya rasa tidak memberi kesempatan laki-laki Bali semacam Pak Darma untuk berada di posisi layang-layang seperti analogi Kinan.
Dalam pernikahan sesama umat sedharma, dari proses awal, perempuanlah yang cenderung menjadi layang-layang itu. Perempuan “diidih”, diminta dari keluarganya lalu melalui mepamit di rumah tempat dia dibesarkan. Dalam nilai spiritual dan religius, itu bisa diartikan sebagai proses putus tali dengan garis leluhurnya.
Kemudian di rumah suami barunya, dia akan melalui rangkaian upacara “mesakapan”. Saya rasa, perempuan itu seperti layang-layang diikat sambungkan dengan keluarga dan garis keturunan suaminya sebagai predana.
Kemudian banyak yang berpendapat melalui proses itu perempuan sudah juga memiliki hak penuh di rumah laki-lakinya. Secara de jure mungkin itu benar. Namun, apakah itu juga sah secara de facto? Jujur saja saya kurang yakin.
Di tahapan ini saya masih cenderung melihat kehidupan seorang istri dalam rangkaian hidup sosial umat sedarma masih seperti layang-layang. Keberlangsungan hidupnya masih tergantung pada tali dalam genggaman suami dan keberpihakan angin keluarga suaminya.
Jadi, bisa saja faktor inilah yang mendasari pemikiran Bu Darmi guna berpikir menjadi janda. Itu mungkin akan lebih menyeramkan. Menjadi janda karena cerai berarti ikatan tali itu akan putus dari keluarga suami. Lalu apa yang bisa diperbuat oleh layangan putus? Akan sedikit lebih beruntung jika arah angin dan tarikan gravitasi semesta mampu membawa layangan putus atau talinya menyangkut di pohon bambu tempat kerangka dia dilahirkan.
Jika pun itu terjadi, nasib layangan itupun masih tergantung padah kondisi ranting dan pergerakan pohon bambu yang telah beranak pinak itu. Apakah dia mau menerima dan memberi pijakan ruang pada si layang-layang putus? Anggap saja menerima. Lalu, apakah si layang-layang akan mampu tumbuh kembali menjadi bambu yang kembali memiliki hak tanah dan warisan sama dengan anak laki-laki? Saya rasa itu nyaris tidak mungkin.
Malah kemungkinan besar, layang-layang putus itu akan compang camping diamuk angin liar stigma masyarakat dan lapuk oleh hujan air mata kesedihannya sendiri.
Maka, mengacu pada persepsi relasi kuasa yang diciptakan idelogi patriarki dalam pernikahan umat sedharma di Bali, saya merasa Pak Darma-Pak Darma lain akan tumbuh subur di Tanah Dewata ini. Laki-laki cenderung merasa memiliki kuasa pilihan untuk tidak begitu menghiraukan atau bertanggung jawab pada layang-layang yang dinikahi. Mereka justru membiarkannya terikat. Dan dengan dukungan angin seadanya tentu si layang-layang akan hidup tanpa kejelasan atau terombang-ambing.
Layangan bisa jatuh dan berakhir kapan saja. Bisa juga dia menyenderkan talinya di pohon bambu tempat ia dilahirkan, tetapi ujung talinya masih terikat di rumah keluarga suaminya.
It’s My Dream
Jadi, dengan realitas seperti ini saya menduga kenapa banyak perempuan Bali juga ikut larut pada tendensi untuk berharap memiliki anak laki-laki. Anak laki-laki akan menjadi semacam investasi agar bisa tumbuh menjadi purusa di rumahnya. Dengan demikian, nantinya si anak laki-laki bia menjadi perisai pelindung lebih kuat bagi ibunya di tengah iklim patriarki yang tak kunjung berganti di Bali.
Lalu, walaupun saya adalah salah satu pengagum Mba Putri Marino, tetapi saya akan sangat tidak setuju kalau ada yang berpendapat kalau Kinan lebih kuat dan pintar daripada Bu Darmi. Jika hanya melihat hasil akhir mungkin itu bisa disepakati, tapi tentu selalu ada kaitan realisme sosial untuk mempengaruhi hasil akhir.
Kinan tentu saja memiliki hak istimewa guna menikmati kesedihan dan kehancurannya sebelum menata kembali emosi untuk bangkit. Di sisi lain, perempuan Bali semacam Bu Darmi sering kali menghabiskan waktu untuk sekadar menikmati kesedihannya. Ritus upacara yadnya di Bali, baik adat maupun agama yang berderet dan memanggil keyakinan Bu Darmi pada yang kuasa, akan lebih banyak merebut ruang dan waktu di tubuhnya. Juga merampas jatah cutinya jika dia bekerja kantoran.
Apalagi bulan-bulan menjelang Hari Raya Galungan, yang diiringi harga bunga pacah melambung kalau diganti gumitir nanti distigma tidak lagi di jalur dresta. Belum lagi urusan urusan domestik yang sering kali dianggap sah untuk dibebankan pada kaum perempuan di Bali. Maka, jangankan tahu apa itu Cappadocia. Bagi banyak istri umat sedharma di Bali, memiliki sisa waktu untuk melepas penat ke pantai bersama suami saja bisa jadi sudah dianggap “it’s my dream” banget.
Terlepas Kinan dan Mas Aris bukan umat sedarma, dengan latar belakang pendidikan Kinan sebagai dokter dan memiliki ibu yang cukup mapan dan tanpa saudara laki laki, tentu banyak yang berpikir sekalipun dia lahir sebagai umat sedharma, rasanya jauh kemungkinan Kinan akan bernasib seperti Bu Darmi. Dengan segala potensi dan latar belakang itu, Kinan tentu bisa dengan tegas memposisikan Mas Aris sebagai layang-layang putus.
Namun, jika kita mau lebih hati-hati dan mendalam melihat Kinan dan persoalan umat sedharma di Bali tentang pernikahan, bisa jadi Kinan akan bernasib serupa Bu Darmi seandainya dia adalah umat sedharma.
Kalau Kinan dan Aris adalah umat sedarma dengan kaitan sosial kultur partiarki yang kental, pernikahan mereka saya rasa tidak akan pernah terjadi. Dengan latar belakang Kinan dan orang tuanya, saya yakin Kinan akan dituntut mencari sentana. Menilai karakter Mas Aris, saya kira dia pun tidak akan mau jadi sentana. Jadi, jika pernikahan mereka gagal, mungkin saja Kinan menikah dengan Darma, lalu berahir menjadi Bu Darmi. [b]