Upacara peletakan batu pertama yang dibarengi dengan upacara Ngeruwak, Nyapuh Awu dan Mulang Dasar pada 12 Januari 2022 lalu menjadi tanda dimulainya pembangunan Pusat Kebudayaan Bali yang terletak di eks Galian C (penambangan pasir, kerikil) Klungkung.
Pembangunan Pusat Kebudayaan Bali (PKB) baru yang didesain menyerupai resor wisata dengan hotel, marina, dan apartemen ini menjadi prioritas gubernur Bali masa pemerintahan Wayan Koster seluas 334 hektare. Targetnya pada April 2022 bangunan sudah berdri. Ada 3 zona pembangunan yakni zona inti, zona penyangga, dan zona penunjang.
Dalam pidatonya ketika peletakan batu pertama (12/1), Koster menyebut alasan proyek ini masuk dalam prioritas programnya. Ia menilai, fasilitas di Arda Chandra (yang terletak di Denpasar) itu sudah tidak memadai lagi.
“Dulu memadai, sekarang sudah tidak. Karena kapasitasnya kecil, konten seni yang dilibatkan dalam pesta kesenian Bali makin banyak, peserta makin banyak, penonton makin banyak, akses parkir yang diperlukan semakin luas diperlukan. Jadi Bali sudah harus memiliki fasilitas yang lebih memadai lagi untuk mendukung kemajuan kebudayaan di Provinsi Bali,” katanya.
Bermula pada 2016, Koster menggadang-gadang konsep Nangun Sat Kerthi Loka Bali. Rencana membangun Pusat Kebudayaan Bali yang terintegerasi dan terpadu dengan sektor lainnya. Sehingga menjadi pusat pertumbuhan ekonomi.
Tahun 2017 ia tak sengaja melewati bypass Ida Bagus Mantra melihat tanah luas yang sedang dicongkel untuk galian C. Sejak saat itu ia semakin yakin untuk membuat pusat kebudayaan Bali baru. “Tapi saya pendam dulu kan saya belum jadi gubernur,” kenangnya di tengah-tengah pidato.
Gayung bersambut, Koster terpilih menjadi gubernur. Salah satu yang akan ditindaklanjuti adalah pembangunan Pusat Kebudayaan Bali. Sekitar 1.5 tahun menghabiskan waktu untuk mendesain perwajahan bangunan yang diklaim monumental itu dikerjakan oleh arsitek Popo Danes.
Hingga tahun 2022, pembangunan PKB itu sudah memasuki proses pematangan lahan. Ada 9 hektare perkampungan yang akan direvitalisasi agar menjadi perkampungan yang bagus, kata Koster. Dari 334 hektare, 104 hektare adalah tanah milik negara dan tanah sitaan.
Saat ini ada sekitar 220 hektar lahan yang harus dibebaskan untuk akses barat dan akses timur. Lahan ini adalah bagian dari 3 wilayah, yaitu Desa Sampalan Klod, Sampalah Tengah dan Gunaksa.
“Saya koordinasi dengan keliannya, saya pastikan tidak ada calo. Dengan dibangun ini, tidak berpikir menjual tanah dan habis begitu saja, tapi nanti anaknya kita ajak bekerja di sini. Sehingga kawasan ini ramah terhadap masyarakat di sini,” janji Koster. Ia bersyukur, mendapat tambahan biaya dari nego gubernur dengan pemenang tender untuk memberikan CSR dari proyek ini 5%. Dari sekitar Rp426 miliar, 5% sekitar Rp22 miliar lebih. CSR ini akan digunakan untuk membangun fasilitas pentas seni atau museumnya.
Koster menyebut akan membuat sungai buatan karena air di galian C meluber sehingga bisa menjadi wisata air. “Supaya ada sumber air nanti yang dimanfaatkan oleh hotel, restoran yang ada di tempat ini. Thun 2023-2024 targetnya selesai terutama anggarannya. Kebutuhan dana 1 triliun untuk pembangunan zona inti sudah kami dapatkan melalui skema kerjasama,” lanjutnya.
Koster juga mengulang lagi tentang pesan yang diterimanya dari seseorang bahwa di lokasi PKB baru banyak korban dari lahar letusan Gunung Agung dan korban G30S. “Tempat ini tempat yang leteh. Jadi harus disucikan arwah-arwah itu. Langsung saya berkoordinasi dengan Ratu Beghawan, tolong dibuatkan upakara untuk menyucikan semua korban yang ada di sini, supaya beliau bersih,” urainya seraya berjanji membuatkan palinggih.
Pekerjaan Petani Penggarap Tinggal Kenangan
Dari pembebasan lahan ini, menurut Kelian Subak Desa Gunaksa, Wayan Mardika menyebutkan ada wilayah penting yang dikorbankan. Sekitar 25 hektare lahan produktif berupa sawah akan hilang untuk akses timur dan barat PKB.
“25 hektare lahan itu terdiri dari 15 hektare lahan subak Desa Sampalan Klod dan 10 hektare lahan subak Desa Gunaksa,” kata Mardika.
Hampir semua lahan itu adalah lahan produktif berupa sawah. Tapi menurut Mardika, respon pemilik lahan semua satu suara memberikan persetujuan untuk memberikan lahannya pada pembangunan PKB ini. Karena pemilik lahan akan mendapat ganti untung dari pembangunan ini.
“Ada yang senang dan ada yang sedih. Kalau pemilik lahan rata-rata senang karena mendapat harga pengganti lahan yang layak, tapi petani penggarap ini yang tidak mendapatkan apa-apa, mereka yang sedih akan kehilangan lapangan pekerjaannya selama ini,” tambah Mardika, Pekaseh Subak Gunaksa.
Ada sekitar 50 petani penggarap yang mengerjakan lahan dari dua desa itu. Menurut perhitungannya sebanyak 80% petani penggarap tidak punya lahan.
“Tidak ada pemilik tanah yang langsung menggarap tanahnya. Petani pemilik kan sudah tinggal di rumah, sudah beda level ekonominya, mereka punya tanah hektare-an.”
Masyarakat dari desanya diyakini mendukung program pemerintah itu. Tetapi, sebagai pemucuk organisasi, Mardika memberi catatan pada pemerintah agar dapat memberikan ganti rugi lahan dengan harga seperti harapan masyarakat. Yang paling penting memperhatikan keberlanjutan ke depan petani penggarap yang mengorbankan lapangan pekerjaannya.
“Yang paling terdampak secara ekonomi adalah masyarakat penggarap karena garapannya itu diambil oleh pemerintah sehingga dia kehilangan pekerjaannya. Perlu dipertimbangkan, apakah mereka ini bisa ikut dalam mengerjakan proyek biar bisa mereka menyambung hidupnya. Misalnya seperti tenaga kasar yang dibloking di pengusaha-pengusaha sana,” harapannya.
Ditemui di waktu yang bersamaan, I Ketut Murjana seorang penggarap lahan persawahan yang terdampak pembangunan PKB mengatakan akan beralih pekerjaan.
“Tiang nak ten ngelah napi-napi, tapi ada usaha traktor abedik (saya tidak punya apa-apa, tapi ada usaha traktor sedikit) ,” sahut Pan Gembring, nama panggilannya.
Namun, sesekali Pan Gembring bersyukur, selain menggarap lahan orang ia masih memiliki sedikit lahan milik pribadinya. Sehingga ketika kehilangan lahan garapannya, ia akan melanjutkan usaha traktor dan mengolah lahannya sendiri.
Sebagai Pekaseh Subak, Mardika hanya mampu memperjuangkan pertimbangan-pertimbangan itu untuk diajukan ke pemerintah. Meski petani-petani penggarap itu tergabung dalam subak, subak tak bisa memastikan imbalan atas pengorbanan petani penggarap.
Subak adalah organisasi sosial. Petani penggarap itu sifatnya hanya ikut di subak ketika dia menggarap sawah. Kalau sudah selesai tugasnya, dia bisa keluar dari organisasi subak.
“Subak tidak mengikat sehingga tidak memiliki kewenangan memberi retribusi atau imbalan apapun ke anggotanya, karena sifatnya organisasi sosial untuk pemeliharaan air,” jelas Mardika.
Hingga saat ini, ia hanya memastikan agar aliran air yang mengaliri sawah di desanya itu tidak terputus. Kalau itu sampai kena pembangunan, maka akan mati semua lahan-lahan produktif. Sehingga kelian-kelian subak dari dua desa itu memastikan aliran air yang mengairi sawah agar tak kena pembangunan karena banyak jalur aliran air di sawah mengecil.
Pekaseh Subak Gunaksa dan Subak Sampalan Klod mengingat pernyataan gubernur di awal koordinasi pembangunan PKB ini. Pertama kalinya gubernur bilang tidak akan menyentuh tanah produktif, karena akan dilestarikan. Jika terkena lahan produktif akan dihapus, pembangunan hanya berlangsung di eks galian C saja.
“Biin 2 bulan be masang patok di tengah uma. (Lagi 2 bulan sudah ada pemasangan penanda pembangunan di tengah sawah),” ungkapnya ketika ditemui di Balai Subak Gunaksa. Tindakan itu juga tak disampaikan ketika rapat. Para pekaseh ini langsung diminta untuk mengantar pasang penanda. Padahal di pinggir sawah jelas terpasang papan pengumuman dilarang membangun di jalur hijau oleh Perda. Peraturan yang dibuat sendiri oleh pemerintah dan dilanggar sendiri dengan programnya.
Tak hanya 2 subak itu yang hilang. Balai subak Desa Sampalan Tengah yang berdiri kokoh di pinggir jalan perempatan patung Dewi Kanya juga turut tergusur. Hanya saja, cuma balai subaknya yang kena. Lahan pertaniannya tidak, cerita Mardika.
Namun, peran Mardika tidak memiliki kewenangan lebih untuk itu. Sehingga perannya melalui subak hanya mengantarkan pemerintah ke batas-batas kepemilikan lahan supaya tidak ada masalah klaim kepemilikan saja.
Keputusan sebenarnya ada di tangan pemilik lahan. Kalau pemiliknya memberi izin, ya subak tidak bisa ngomong apa. Sehingga kelian subak di sini hanya memberitahukan ke pemilik tanah yang tergabung dalam subak, tapi apakah dia setuju atau tidak, nanti diundang langsung koordinasi dengan pemilik tanah. “Jawabannya semua setuju, artinya sudah selesai urusan. Subak sing ngidaang ngomong apa (subak tidak bisa ngomong apa,” sambung Mardika.
Menurut Mardika, karena ini juga program pemerintah, dan mereka berada di dalam pemerintahan jadi masyarakat mengikuti. Penentuan harga, pemerintah bilang akan cari tim appraisal independen untuk memutuskan harga yang layak. “Dari masyarakat juga beragam, ada yang ingin lahannya kena pembangunan, ada yang ingin kena sedikit, ada yang tidak,” tutupnya.
Salah satunya Gede Muliarta seorang pemilik lahan yang terdampak pembangunan PKB. Muliarta memiliki lahan 20 are. Siap tidak siap, ia harus kehilangan semua tanah sawahnya yang sudah diolah sejak 7 tahun lalu. Secara rela ia mendukung program pemerintah ini. Apalagi ia tahu untuk kepentingan pembangunan fasilitas publik.
“Pembangunan ini untuk publik, nanti bisa membuka lapangan pekerjaan lebih banyak. Karena ini program pemerintah saya kasi, kalau yang mengadakan itu investor, saya tidak akan lepas sawah saya,” ungkapnya ketika dihubungi via telepon.
Harapannya, sawahnya yang terletak di dekat Pura Tirta itu bisa diganti rugi dengan nilai yang layak. Harganya di atas 60 juta. Tak banyak yang ia tuntut. Ia mendukung apa yang bisa melancarkan pembangunan program pemerintah ini.
Tanah Duwe Nak Lingsir dan Laba Pura Turut Berkorban
Di sisi lain, selain sebagai kelian subak, Mardika juga merupakan salah satu pemilik lahan yang terdampak. Lahannya yang akan hilang adalah tanah duwe nak lingsir (tanah milik leluhur) atas nama bapaknya Mardika.
Menjual tanah duwe nak lingsir, seringkali menjadi persoalan yang sangat hati-hati di Bali. Selain menjadi persoalan kepemilikan, juga bentuk wasiat yang perlu dijaga dari nenek moyang. Hanya saja Mardika tak mempersoalkan itu. Ia cukup memperjelas siapa yang akan mengurus proses tanah ini. Setelah mengurus silsilah tanah, muncul nama Mastra, sanak keluarga Mardika yang memiliki hak untuk mengurus lahan ayahnya itu.
Selain tanah duwe nak lingsir, tanah adat juga turut berkorban dari pembangunan ini. Tanah laba Pura Bukit Buluh yang diampu oleh sebagian besar desa adat Gunaksa ini pun akan terdampak. Ada sekitar 7 are 44 meter bagian timur tanah dan 4 are 3 meter bagian timur yang siap tidak siap akan hilang untuk pembangunan. Sebagai salah satu panitia yang mengurus tanah laba pura ini, Mardika juga tak banyak mempersoalkan.
“Sing tumben tanah laba Pura Bukit Buluh kena pembangunan, ipidan nak suba taen kena pembangunan bypass. Dadine jani sing masalah kena dampak pembangunan PKB (Tidak baru kali ini saja tanah laba pura bukit buluh kena pembangunan, dulu sudah pernah terkena pembangunan jalan bypass. Sehingga sekarang tidak masalah terkena dampak pembangunan PKB),” katanya.
Dalam jurnal ilmiah milik Cokorda Gede Ramaputra, dkk yang membahas tentang pembagian laba pura menyebutkan aturan tanah laba pura. Pura memiliki tanah yang disebut dengan tanah Laba Pura atau tanah Pelaba Pura dan antara keduanya merupakan satu kesatuan fungsi yang tidak dapat dipisahkan.
Hal ini didasarkan pada konsep pembagian wilayah Pura menurut hukum Hindu yang dikenal dengan konsep Tri Mandala. Berdasarkan konsep tersebut, maka tanah Laba Pura merupakan Kanista Mandala Pura, yaitu wilayah Pura yang terletak di luar bangunan Pura.
“Menurut hukum adat, tanah Laba Pura adalah tanah-tanah yang hanya dipergunakan untuk kepentingan-kepentingan Pura, misalnya untuk pembiayaan pelaksanaan upacara-upacara maupun pemeliharaan atau perbaikan bangunan Pura,” tertulis pada jurnal ejournal.warmadewa.ac.id/index.php/wicaksana/article/download/1035/737.
Hanya saja, menurut Mardika tak banyak yang mempersoalkan demi kepentingan program pemerintah. Soal ini akan disampaikan nanti ketika ada pertemuan dengan kelian-kelian pura. Baru dilanjutkan ke pengempon Pura Bukit Buluh.
Selain petani penggarap yang menggantungkan hidupnya di lahan orang, juga soal warisan leluhur yang dijaga hilang dari pembangunan ini, secara keseharian, ada pula aktivitas-aktivitas yang nanti tak akan ada lagi di sekitar eks galian C ini. Misalnya, area piknik yang ada di pinggiran kubangan galian C.
Jalur Lahar Gunung Agung
Hilir air membuat bekas galian C itu menjadi tempat yang subur untuk rumput-rumput liar tumbuh. Sehingga pemandangan hijau ini dimanfaatkan anak-anak muda untuk sekadar piknik atau berkumpul.
“Sebelum tempat ini (taman galian C) dibangun PKB dan kita tidak punya akses bebas untuk nongkrong lagi di sini. Makanya, sekarang dah puas-puasin nongkrong di lapangan ini,” kata Yogi Ariadi pemuda Desa Gunaksa yang bersiap manggang ikan di galian C bersama teman-temannya.
Tak hanya tempat nongkrong, aliran sungai menjadi jalur para ikan kecil. Sehingga, para pemancing berbondong-bondong mendatangi aliran Tukad Unda ini. Seperti Kadek Rio Diarmika, anak kelas 4 SD yang sering mancing ke galian C bersama ayahnya. Ia sering mendapatkan ikan kipi-kipi (jenis ikan kecil) di aliran Tukad Unda.
Selain pemancing, muara sungai di Klungkung ini juga digunakan warga sekitar untuk mandi dan mencuci. Namun, sejak proses normalisasi aliran sungai dikerjakan, tak lagi ada warga yang mandi di pinggiran sungai itu.
Satu sisi, Mardika merasa bersyukur ada pembangunan PKB ini. Karena sudah sejak 1963 ia menjadi lahan tidur yang tidak dikelola. Sehingga datanglah truk-truk penggali galian C ilegal. Alhasil galian itu menjadi kubangan penyakit, karena airnya tak mengalir. Selain itu, lahan tidur yang tak diurus ini menjadi kesempatan dibangunnya pondok untuk transaksi seks.
“Selain mendatangkan penyakit untuk lingkungan, galian C menjadi sumber penyakit moral juga,” tandas Mardika.
Di balik pembangunan yang megah, diklaim akan menjadi pembangunan monumental, proyek ini mengorbankan hal-hal kecil di sekitarnya. Terlepas dari baik dan buruk adanya pembangunan ini, mitigasi bencana adalah hal yang patut dipertimbangan berulang.
Bagaimanapun kemegahan pembangunan, hilir aliran Tukad Unda adalah jalur lahar Gunung Agung yang masih aktif di Bali. Agar pengorbanan-pengorbanan yang terjadi saat pembangunan saat ini tak sia-sia ketika Guru Toh Langkir erupsi.
Tak hanya jalur lahar letusan gunung, kawasan ini juga disebut rawan tsunami. Sejumlah papan peringatan masih nampak di dalam area pembangunan PKB baru ini.