Gubernur Bali, I Wayan Koster memiliki rencana untuk melarang pendakian gunung-gunung yang ada di Bali. Hal tersebut ia sampaikan ketika rapat koordinasi pada Rabu (31/05). Nantinya, aturan ini akan dicantumkan di dalam Peraturan Daerah (Perda) dan Peraturan Gubernur (Pergub) guna menjaga kesucian gunung di Bali.
Dilansir dari Antara Bali, rencana tersebut dilatarbelakangi oleh banyaknya turis mancanegara yang berulah di atas gunung, bahkan ada yang berfoto tanpa busana dan dinilai merusak kesucian gunung. Media Kompas.com juga menyebut larangan ini menyulut pro kontra https://travel.kompas.com/read/2023/06/12/114100527/pro-kontra-larangan-mendaki-gunung-di-bali-saat-ini-masih-dikaji
Patut diakui bahwa langkah yang diambil Koster adalah sebuah langkah yang tegas mengingat beberapa minggu ke belakang banyak turis mancanegara yang viral di media sosial akibat dari hal-hal nyeleneh yang mereka lakukan di Bali, mulai dari turis asing yang melanggar lalu lintas dan bertingkah seenaknya ketika mengendarai sepeda motor, hingga turis asing yang melakukan aktivitas seksual di pinggir jalan umum.
Sebagai seorang pendaki, saya dapat mengerti keresahan Koster dalam rangka menjaga kesucian tempat di Bali. Bahkan, Koster dalam wawancaranya di berbagai media terkait aturan pelarangan pendakian menegaskan bahwa pendakian hanya dapat dilakukan untuk upacara agama dan atau hanya pada ketinggian tertentu. Sayangnya, ada beberapa masalah dalam argumen Koster.
Pertama, izin pendakian yang hanya dapat dilakukan pada ketinggian tertentu akan menimbulkan masalah yang sama di kemudian hari. Katakan saja, ketika kita ingin mendaki Gunung Agung. Jika aturan dari Koster hanya mengizinkan pendakian dilakukan hanya sampai camp area terakhir–sama seperti di Gunung Merapi, hal tersebut berarti tidak akan menyelesaikan masalah yang sebelumnya disebut di atas, yaitu turis-turis mancanegara yang melakukan perbuatan tidak senonoh.
Jika kita berusaha telaah Koster melalui bangunan argumennya, kita akan menemukan sebuah kalimat “Pendakian di Bali hanya diperbolehkan pada ketinggian tertentu; agar turis mancanegara tidak berulah di atas gunung” yang berarti di dalamnya berisi harapan seorang Koster bahwa jika pendakian gunung di Bali hanya diperbolehkan pada ketinggian tertentu, maka turis mancanegara tidak akan berulah di atas gunung.
Sayangnya, tidak ada korelasi antara dua premis yang berusaha Koster bangun. Hal ini dibuktikan melalui pertanyaan: apakah jika pendakian Bali hanya diperbolehkan pada ketinggian tertentu, maka turis mancanegara secara serta merta tidak berulah lagi di atas gunung?
Kegagalan Koster dalam melihat sumber masalah menjadi masalah baru di kasus ini. Jika Koster menggunakan logika dengan menutup tempat wisata karena turis mancanegara berulah di lokasi tersebut, maka hal yang sama kemungkinan besar akan diterapkan oleh Koster jika perlakuan tidak senonoh turis dilakukan di tempat lain, seperti di pura, jalan umum, dekat pohon besar yang dikeramatkan.
Apakah Koster secara serta merta akan menutup pura bagi turis asing? Apakah koster akan menutup jalan umum bagi turis asing? Atau apakah koster akan menebang pohon karena turis asing berulah lagi di sana?
Pertanyaan yang lebih besar, yang dapat diajukan Koster untuk menengarai masalah ini adalah bagaimana bisa aturan yang nantinya akan dicanangkan oleh Koster dapat memastikan tidak ada lagi masalah-masalah serupa di kemudian hari?
Kedua, dalam beberapa media, Koster juga menyebut bahwa pendakian gunung di Bali tidak diperbolehkan sama sekali karena gunung adalah tempat yang disucikan umat Hindu di Bali. Dalam bangunan argumen ini, Koster secara gamblang melakukan sesat pikir dan hal tersebut akan membawa dampak yang sangat besar bagi masyarakat Bali yang menggantungkan hidupnya di sana.
Pasalnya, melalui beberapa kejadian yang angkanya sangat kecil jika dibandingkan dengan kehadiran turis mancanegara ke Bali, Koster justru secara tegas melarang segala jenis pendakian untuk tujuan pariwisata. Bangunan argumen yang berusaha dibangun oleh Koster kemudian akan runtuh seketika karena Koster melakukan over generalization atau hasty generalization.
Contoh mudah dalam sesat pikir ini adalah ketika seorang laki-laki memiliki pengalaman diselingkuhi oleh perempuan beberapa kali dan ia segera berkata “semua perempuan suka selingkuh”. Jika dibandingkan jumlah perempuan yang pernah berselingkuh di belakangnya dan jumlah populasi perempuan di Bumi, pastinya akan salah jika ia mengucapkan kalimat tersebut. Begitu pula yang terjadi dengan aturan tersebut, yang mengandaikan bahwa “dengan beberapa turis mancanegara melakukan tindakan tidak senonoh di gunung, hal tersebut berarti semua turis mancanegara yang akan mendaki akan melakukan hal tersebut. Maka dari itu, sebaiknya pendakian dilarang sama sekali.” Penarikan kesimpulan dari bangunan argumen yang disesakki sesat pikir, akan bermuara pada kesalahan penarikan kesimpulan itu sendiri.
Kondisi Bali yang baru saja bangkit dari pandemi Covid-19 adalah hal yang tidak diperhatikan oleh Koster. Pasalnya, banyak penduduk Bali, khususnya mereka yang memiliki tempat tinggal dekat dari gunung, akan sangat terbantu dengan kehadiran para turis mancanegara ketika ingin melakukan pendakian dan Koster tidak memperhatikan hal itu. Koster seharusnya hanya fokus pada turis-turis mancanegara yang melakukan tindakan tidak senonoh, bukan fokus pada tempat mereka melakukan hal tersebut. Memangnya, siapa yang dapat menjamin turis-turis tersebut tidak akan melakukan hal tidak senonoh di tempat lain di Bali?
Ketimbang fokus hanya pada bagaimana aturan baru tersebut akan diberlakukan, Koster sebaiknya fokus pada bagaimana aturan-aturan yang kini telah ada dapat dihormati oleh para turis yang datang ke Bali. Koster dengan aturan-aturan tegas nan mengagetkan yang ia bentuk, dapat diubah menjadi aturan-aturan yang sama tegasnya, namun diterapkan di situasi yang berbeda.
Sebagai contoh, jika ada turis yang melanggar aturan di Bali, mereka akan mendapatkan sanksi untuk tidak dapat masuk ke Bali selama beberapa tahun. Jika dalam konteks pendakian, koster dapat menerapkan aturan serupa seperti travel agent. Jadi, guide di sebuah gunung memiliki kewajiban untuk memastikan para tamu yang mereka bawa tidak melakukan hal yang tidak sesuai dengan adat istiadat di Bali. Nantinya, guide di gunung tersebut akan memiliki dua tugas: menjaga dan memastikan tamu menghormati adat istiadat Bali dan bertanggung jawab akan hal tersebut, tentunya dengan bayaran lebih dari pemerintah.