Penyelenggaraan diskusi People’s Water Forum 2024 dihadang oleh sekelompok orang yang mengatasnamakan organisasi masyarakat Bali sejak 20-22 Mei 2024. Panitia PWF dan peserta yang sudah hadir tertahan di lokasi kegiatan, Hotel Oranjje, Hayam Wuruk Denpasar. Sebab para ormas merusak piranti kegiatan, dilanjutkan dengan pemblokiran akses jalan keluar-masuk tempat kegiatan. Adanya intimidasi dan penyerangan menghentikan keberlangsungan acara diskusi PWF. Selain itu, di area Hotel Oranjje mendadak menjadi wilayah kedap sinyal. Tak ada jaringan internet yang terdeteksi dalam beberapa waktu. Kejanggalan lain adalah diretasnya akun WhatsApp beberapa panitia PWF.
Identitas ormas dan latar belakang penugasan untuk mengintimidasi ini masih ditelusuri. PJ Gubernur Bali mengatakan bahwa pihaknya sebagai pimpinan Provinsi Bali tidak pernah memberikan tugas untuk membubarkan diskusi. Namun pasca konfirmasi itu, sekelompok ormas itu pergi tanpa dibubarkan dari lokasi dihari ke-3 pada petang hari.
Tindakan mengintimidasi ini ternyata sudah terjadi sejak panitia PWF menuju Bali. Martha Kumala Dewi, salah satu staf program dan kampanye Koalisi Rakyat untuk hak atas Air yang sekaligus menjadi panitia saat itu menuturkan intimidasi yang didapatkan sejak awal sampai di Bali.
Pada 13, Mei 2024, Martha mendapatkan kabar bahwa lokasi pertama penyelenggaraan PWF di ISI Denpasar dibatalkan mendadak. Padahal pihaknya telah mengurus peminjaman tempat jauh sebulan sebelum acara. Tidak ada tanda-tanda penolakan dari pihak kampus. Namun, menjelang H-3 acara ia mendapatkan kabar dari panitia lokal di Bali bahwa pihak ISI Denpasar membatalkan kerja sama peminjaman kampus.
Pada 14 Mei 2024, panitia dengan cepat mengurus peminjaman lokasi ke Badan Penjamin Mutu Pendidik (BPMP) Provinsi Bali. Semua persiapannya lancar, survei tempat pun sudah dilakukan, tidak ada penolakan dari pihak BPMP. Selanjutnya panitia akan menyiapkan surat peminjaman. Namun, sepulang dari survei, panitia mendapatkan telpon pembatalan.
“Awalnya tidak diizinkan menggunakan venue (lokasi diskusi), kami pikir masih aman, karena kamar untuk tempat menginapnya masih diizinkan,” kata Martha. Ternyata diinformasikan bahwa tidak mendapatkan izin untuk menyewa kamarnya juga. Dengan alasan gedung akan digunakan persiapan untuk Hardiknas.
Pada 15 Mei 2024, kedua intansi ini mengirimkan surat resmi terkait penangguhan kerja sama.
Lalu 16 Mei 2024, dengan kecurigaan dan kekhawatiran pelaksanaan kegiatan, panitia mencari wilayah pariwisata di daerah Kerobokan. Meski semua alur pemesanan berjalan lancar. Namun, dari situasi sebelumnya, panitia waspada dan mulai adaptasi dengan kemungkinan buruk yang terjadi. Sebab di sana lokasi terbatas. “Kami pesankan semua tiket untuk peserta, kami merasa situasi sudah aman, hingga sudah finalisasi program dengan pihak venue,” katanya.
Pada 17 Mei 2024, Martha terbang ke Bali dari Semarang. Berbekal pengalaman pola yang mencurigakan itu, panitia menyusun strategi untuk keamanan. Panitia membuat mekanisme, agar tidak berada di venue dulu sebelum hari H. Namun, sebelum waktunya masuk ke lokasi, Martha bersiaga di sekitar hotel.
“Kami menunggu di seberang venue, sambil nunggu check in saja,” begitu pikirnya.
Tiba-tiba panitia mendapatkan pesan WA bahwa tidak bisa menggunakan venue di Kerobokan. Dalam waktu yang bersamaan, di sekitar venue sudah banyak mobil. Panitia menduga itu adalah mobil intel. Akhirnya panitia ke lokasi untuk mengambil uang DP, yang sudah dibayarkan sebelumnya.
“Pihak hotel sempat menginformasikan bahwa pembatalan ini diminta dari kanit (kepala unit) entah dari Polres atau dari mana,” tuturnya.
Ketika itu, panitia sudah sampai di Bali semua. Rasa aman semakin terasa. Martha dan teman-temannya menyiasati dengan tidak berkumpul dalam satu kelompok. Namun, membentuk kelompok-kelompok kecil di berbagai sudut.
Pada waktu yang sama, masih tanggal 17 Mei 2024. Setelah dibatalkan di Kerobokan, panitia bergerak cepat menghubungi jaringan, sehingga dapat lokasi di Tabanan.
Pada 18 Mei 2024 malam panitia sampai di Tabanan. Situasi yang kacau membuat para panitia berhati-hati dan melakukan konsolidasi dadakan agar tetap terkoordinasi selama kondisi ini. Beberapa panitia yang dari Bali kembali ke rumah masing-masing. Namun saat itu, di luar lokasi sudah banyak mobil intel.
Kemudian, 19 Mei 2024, pagi ketika sarapan panitia didatangi intel dari Polres Tabanan. Saat itu panitia masih bisa menghadapi, karena cuma 2 orang dan ada teman-teman dari Bali. Siang hari, ada 2 orang lagi yang datang. Mereka dari Mabes TNI.
“Kenapa kami bisa tahu dari Mabes TNI, lawyer kami yang menghadapi dan ditunjukkan kartu identitasnya,” tutur Martha.
Suasana mulai agak mengkhawatirkan tapi masih bisa dihadapi. Waktu semakin sore, panitia kembali didatangi 4 orang petugas dari Mabes TNI. Mereka datang bersama petingginya (pimpinan). Saat itu sudah terjadi perdebatan. Antara panitia dan Mabes TNI sudah sama-sama tahu tujuannya.
Masih di Hari Minggu, beberapa panitia akhirnya dievakuasi. Pindah ke tempat lain. Evakuasi harus dilakukan karena panitia menilai situasi ini berbahaya. Sebagian teman sudah berangkat. Beberapa peserta akan sampai pada hari ini.
“Sembari sebagian teman berangkat mencari lokasi kegiatan yang baru, kami juga melakukan penjemputan untuk peserta yang hadir tgl 19 Mei 2024,” katanya.
Meski sudah berstrategi dengan tidak berkumpul dalam jumlah yang banyak di satu waktu, beberapa masalah keamanan sudah terjadi. Secara fisik, panitia sudah melakukan pengamanan secara berlapis yang sudah dikoordinasikan dengan panitia maupun peserta yang sudah hadir.
“Saat itu kami sudah mengalami peretasan. Tgl 19 Mei 2024 adalah babak pertama panitia mengalami peretasan,” ucap Martha sambil mengingat.
Martha menyebut, akumulasi kejadian ini sudah bagian dari intimidasi. Dari peretasan akun media komunikasi digital, disensor banyak tempat. Akhirnya pemilihan venue selanjutnya harus rahasia. Setelah semua selesai evakuasi dan penjemputan, semua partisipan diskusi ini dipecah ke beberapa hotel.
“Kami sudah capek secara fisik, karena aktivitas tanggal 19 itu sampai malam, dari Tabanan lalu mencari lokasi baru,” katanya.
Pada 20 Mei 2024, semua partisipan secara perlahan datang ke Hotel Oranjje, Hayam Wuruk. Tetap memberlakukan sistem small group. Sebab semua aktivitas terasa diawasi. Beberapa peserta menginap di luar lokasi diskusi. Bahkan untuk keamanan panitia tidak saling tahu lokasi persisnya. Hanya saja tetap bertukar kabar.
Pihak hotel sangat terbuka dan proses penyewaan tempat langsung bersama pimpinan tertinggi hotel. Karyawan hotel juga banyak menghadapi intimidasi. Namun, pihak hotel tetap menghadapi secara profesional.
Setelah semua partisipan berkumpul di Hotel Oranjje, panitia mulai melakukan persiapan. Saat itu waktu sudah hampir siang. Para seniman yang membuat karya sudah mulai datang untuk setting tempat diskusi. Ketika itu jadwalnya konferensi pers.
“Kami melakukan konferensi pers sesegera mungkin secara online, menyiarkan soal sensor kegiatan dan beberapa perubahan agenda. Waktu kami menjalankan zoom, kami sudah merasa di depan banyak ada intel,” cerita Martha. Jumpa pers pada media di Bali juga dilakukan Roberto Hutabarat, fasilitator lokal yang mengabarkan ada intimidasi dan ini adalah forum akademis, namun banyak mengalami intimidasi.
Pertengahan zoom, Martha akan pergi ke resepsionis untuk check in kamar untuk menginap. Di tengah perjalanan ke lobbi depan, banyak ada orang-orang berpenampilan sinis.
“Rame banget. Penampilan mereka seperti preman. Mereka teriak-teriak. Lalu aku lari ke arah kamar dan bilang ke setiao kamar untuk masuk-masuk,” Martha menirukan kekhawatirannya waktu lalu.
Martha juga memberitahu para seniman dan panitia yang sedang setting tempat. Ia hanya bilang ada banyak orang yang datang tanpa tahu darimana identitas mereka. Sebab mereka tidak berseragam.
“Kenapa aku bilang preman, karena mereka tidak berseragam, masuk tidak beretika, teriak-teriak, banyak yang pakai helm, buff, masker, berkacamata. Kami tidak pernah tahu mereka bawa senjata tajam atau tidak, tapi yang kami tahu mereka tidak beretika,” jelasnya.
Ketika itu, para preman ini hanya sampai dekat lobby. Belum bisa masuk ke aula kegiatan. Kemudian mereka masuk secara bersamaan, mengambil baliho dan karya. Preman-preman itu merampas karya yang dipajang. Panitia sempat melakukan perlawanan agar baliho karya dan poster acara tidak diambil. Namun, di tengah perlawanan itu, sekring listrik hotel dimatikan.
Kondisi itu membuat panitia takut akan kejadian yang lebih fatal. “Itu yang menyebabkan kami tidak melakukan perlawanan lagi. Menurut kami itu sudah masuk perampokan,” ungkap Martha.
Para pengacau ini bahkan melakukan kerusuhan saat jumpa pers yang dihadiri perserta dari akademisi luar negeri yang mengamati tata kelola air. Tak heran, teriakan para perempuan mengusir ormas dan suara kericuhan ikut terdengar.
Pasca tindakan yang dilakukan secara langsung dan rusuh ke gedung aula penyelenggaraan PWF, kelompok preman ini melakukan blokade akses jalan keluar-masuk Hotel Oranjje. Sejak 20-22 Mei 2024 mereka berjaga lengkap dengan kostum bermasker, bertopi dan kacamata hitamnya.
Anehnya, puluhan Satpol PP juga ikut menghadang peserta diskusi dan jurnalis yang mau masuk ke hotel. Mereka di sisi yang sama dengan para ormas. Ketika dikonfirmasi, apa tugas Satpol PP pada sejumlah petugas, mereka hanya terdiam dengan postur menghadang.
Situasi ini berlangsung selama dua hari. Bahkan seorang aktivis LBH Bali nampak dikeroyok, dipukul ramai-ramai oleh ormas tersebut di depan gerbang hotel. Sejumlah aktivis perempuan dari Solidaritas Perempuan juga bersitegang dan menanyakan alasan pelarangan, namun dijawab dengan suara keras. Dalam sebuah postingan di media sosialnya, SP melaporkan video pelecehan ormas pada peserta perempuan.
Hal ini juga diadukan ke Komnas Perempuan dan Komnas HAM yang memberikan pernyataan sikap.
Secara umum, mereka menjawab, “Kenapa buat acara diskus barengan dengan di Nusa Dua (World Water Forum), kan bisa tunggu itu selesai.”
Apakah hanya pemerintah yang boleh buat acara diskusi?
Selain menutup jalan, semua narasumber yang akan mengisi di diskusi juga dihadang dan tidak diizinkan masuk lokasi diskusi. Beberapa narasumber yang akan hadir yaitu Direktur LBH BWCC, Nengah Budawati. Ada juga Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi, Dewa Palguna dan tim LBH Bali. Termasuk Pelapor khusus PBB atas Hak Air dan Sanitasi, Pedro tak luput diajak berdebat dan tidak diizinkan masuk oleh kelompok penghadang itu.
Dewa Palguna yang kesal juga kecewa karena dia berniat menyampaikan keputusan penting MK soal penolakan judicial review UU sumber daya air yang mengarah ke privatisasi. Ia pun haru sbalik kanan dihadang ormas.
Jaringan solidaritas masyarakat sipil di Indonesia pun mengutuk intimidasi ini melalui pernyataan sikap.
I Nyoman Mardika, salah satu peserta PWF beberapa kali melakukan negosiasi justru dianggap menjadi salah satu aktor yang menunggangi acara ini.
Pada 22 Mei 2024, menjadi kali kedua Mardika mencoba masuk ke Hotel Oranjje. Namun, tak juga berhasil. Meski ia sudah menunjukkan berita terkait arahanMenteri soal tidak ada pelarangan diskusi PWF. Namun, I Nyoman Iwan Pranjaya, salah satu penghadang akses menuju hotel mengatakan ketidakpercayaannya pada pemberitaan itu.
“Saya tidak percaya apalagi berita bisa dibuat-buat. Silakan bapak percaya berita itu, yang jelas saya menjalankan tugas,” pungkas Iwan yang mengakui dirinya dari organisasi PHDI Provinsi Bali.
Dalam perdebatan bersama Mardika, ia kekeh akan menghentikan diskusi PWF sebab itu adalah tugasnya. Selain karena ada himbauan agar tidak melakukan diskusi ketika momen WWF 2024 berlangsung, Iwan juga menjelaskan bahwa dirinya harus membuat Bali aman. Iwan juga menyebut Mardika membuat ricuh di setiap pertemuan internasional yang digelar di Bali.
“Tiap aksi bapak selalu ada, jadi wajar dong kami berbuat seperti itu pak,” jelas Iwan.
Menurutnya pengadaan diskusi saat bersamaan dengan momen WWF dapat membahayakan umat Hindu di Bali. Sebab tidak ada koordinasi dari pihak kementerian terkait diperbolehkan mengadakan diskusi ini. Ia menyebut pihaknya berjaga sampai 25 Mei 2024.
Saat ditanya terpisah, Iwan menyebutkan dirinya untuk membantu pengamanan WWF 2024. Namun, ketika ditanya siapa yang menugaskan dirinya, Iwan tidak memberitahu.
“Masalah itu, kami off the record,” tutup Iwan sembari kembali berjaga menghadang jalan masuk hotel.
Larangan peliputan ini membuat AJI Denpasar dan IJTI menyampaikan protes, inilah pernyataan sikapnya. Akademisi muda Bali, puluhan warga Bali yang prihatin dengan kekerasan dan intimidasi ini juga urun sikap dan meminta warga mendukung kegiatan diskusi untuk penyelamatan air ini.
Ditemui di lokasi terpisah pada waktu yang sama, Irjen (Purn) Sang Made Mahendra Jaya, PJ Gubernur Bali menyebut pemerintah Bali tidak pernah melarang adanya diskusi saat WWF 2024. Menurutnya justru PWF itu memiliki dasar yang sama. Sama-sama menjaga kesediaan untuk kelangsungan kehidupan. Apalagi kegiatan itu dilaksanakan dalam forum akademis.
“Saya sangat menyayangkan. Kami tidak pernah melarang dan membatasi siapapun warga negara kita untuk berekspresi. Saya tidak kenal juga, tidak tahu ada PGN, tidak pernah bertatap muka. Itu tidak benar,” katanya saat ditemui di Kantor DPRD Bali.
Terkait adanya satpol PP yang turut berjaga di lokasi PWF, ia mengklarifikasi dirinya memang mendapat laporan satpol PP ada di sana (Hotel Oranjje). Satpol PP hadir di sana karena dikabarkan ada keributan. Namun ketika dilihat di lapangan tidak terjadi apa-apa, peran satpol PP hanya mencegah.
“Jadi sekali lagi saya tegaskan, kami mengapresiasi forum. Itu (pelarangan dan penutupan) tidak boleh terjadi, apalagi ini negara hukum,” tutupnya sembari meninggalkan wartawan.
Setelah pemberitaan klarifikasi PJ Gubernur naik di media, sore hari (22/05) kelompok penghadang itu membubarkan diri. Para partisipan PWF secara perlahan mencoba keluar hotel, benar tak ada penjagaan lagi. Malam harinya, beberapa kawan-kawan solidaritas menengok dan memastikan kondisi partisipan PWF di hotel. Memang benar tak ada penjagaan di depan pintu masuk Hotel Oranjje.
“Sekitar jam 5 sore saya sempat keluar hotel untuk memastikan kondisi di luar, ternyata sudah sepi. Saya justru merasa aneh dan menjadi was-was,” ungkap Putu Yuli, salah satu peserta dari Bali.
Kejadian pertama kali yang dialami Yuli cukup membuat dirinya tidak tenang selama tertahan di hotel. Memang tak ada kekerasan fisik yang ia terima, tapi intimidasi itu menurutnya benar-benar membuat perasaan panik, kekhawatiran dan menimbulkan kecurigaan pada setiap orang baru yang mendatanginya ke hotel.
Selama dijaga dan tertahan di hotel, panitia PWF tak banyak melakukan agenda diskusi. Memperketat pengamanan adalah hal utama yang terus dilakukan selama tidak bisa keluar dari hotel. Mereka berjaga secara bergilir, berkeliling memantau situasi sekitar hotel. Sesekali mengadakan diskusi dalam small group. Sebab menurut Martha, para intel itu masih berjaga sekitar hotel, sehingga apapun aktivitas yang dilakukan harus lebih awas.
“Malam hari ketika tanggal 21, kami dipantau dari atas tower, bangunan yang berada di dekat hotel,” jelas Martha menunjukkan tower itu.
Momen itu diabadikan oleh LBH Semarang yang sudah diunggah di media sosialnya. Kejadian itu pun membuat panitia PWF tak benar-benar tenang meski saat 22 Mei 2024 malam tidak terlihat ada penjagaan di depan hotel.
Esok harinya, 23 Mei 2024 semua partisipan PWF memutuskan untuk pindah lokasi penyelenggaraan. Sejumlah warga memberikan solidaritas di malam seni di Muntig Siokan, Mertasari, Sanur.
Sembari menunggu jemputan perpindahan dari Hotel Oranjje ke lokasi yang baru, panitia PWF mengadakan konferensi pers. Atas kejadian ini, mereka sudah melaporkan ke Komnas HAM. Total peserta yang mengikuti PWF sekitar 130-200 peserta yang diundang. Namun, ada sekitar 30 orang yang tertahan di hotel.
Sejak diganggunya jalur komunikasi, banyak hal yang tidak diketahui panitia di luar hotel. Panitia akan segera menyiarkan kejadian yang sudah dirangkum, mulai dari pembatalan lokasi kegiatan, dipersulit visa, laporan barang hilang dan pelecehan seksual. Ada sekitar 3-4 hal materi pidana akan digugat. Semua itu sudah ada dokumentasinya, dan proses pelaporan diwakili LBH Bali.