Forum Sastra Ubud Writers and Readers 2017 juga mendiskusikan isu lingkungan di Bali.
Hujan gerimis mengiringi perjalanan saya ke Ubud. Rencananya ingin mengikuti salah satu sesi di Ubud Writers and Readers Festival 2017 (UWRF17) yang baru mulai hari ini, Kamis, 26 Oktober 2017.
Saya agak kesal, malas hujan-hujanan. Tapi kini sudah setengah jalan. Jika kembali ke Denpasar, waktu 30 menit ini terbuang sia-sia. Kalaupun melanjutkan perjalanan, rasanya kok malas.
Setelah perdebatan dalam hati beberapa menit, akhirnya saya memutuskan berhenti sejenak dan memakai jas hujan. Saya pun melanjutkan perjalanan ke Ubud, sambil berharap hujan reda sesampainya di lokasi acara.
Saya tidak memiliki rencana akan hadir pada sesi yang mana di UWRF17. Bukannya saya tak tertarik. Tapi, justru karena saking banyaknya sesi menarik yang jadwalnya bersamaan. Akhirnya saya memilih sesi Stressing the Source di Museum Neka.
Sesi ini menekankan pada isu penyelamatan sumber daya alam yang semakin berkurang akibat perubahan iklim. Para pembicara yang hadir ialah Asana Viebeke Lengkong (pendiri komunitas filantropi I’m an Angel) dan Robert Crocker (sejarawan yang tertarik pada bidang lingkungan). Dene Mullen, Editor in Chief of Southeast Asia Globe magazine menjadi pemandu diskusi ini.
Jika berbicara tentang sumber daya alam, tentu tidak akan pernah habis. Tapi, sesi ini sejak awal telah mengerucut pada penyelamatan air dan pengelolaan plastik. Sebuah video dokumenter bertajuk Water, I’m With You menjadi pembuka. Video berdurasi sekitar tiga menit ini menampilkan pandangan seniman, aktivis dan warga tentang krisis air bersih di Bali.
“Bali sedang menghadapi krisis air, salah satunya karena gempuran pariwisata massal,” ungkap Viebeke.
Viebeke menyebutkan hotel dan sarana pariwisata yang banyak mengonsumsi air secara besar-besaran. Pernyataan Viebeke ini didukung oleh hasil penelitian Stroma Cole, peneliti dari University of the West of England. Pada hotel dengan harga kamar 400 USD, turis mengonsumsi rata-rata 2000 liter perhari.
Viebeke menambahkan, pariwisata pula yang mengenalkan plastik kepada masyarakat Bali. Sebelumnya, hanya daun pisang sebagai sarana pembungkus sesuatu, terutama makanan. Semenjak masyarakat Bali mengenal plastik, apapun terbungkus plastik.
Penyebabnya beragam. Plastik bukanlah barang mahal, bahkan mudah didapatkan secara gratis ketika berbelanja di warung hingga supermarket. Plastik dapat melindungi barang atau makanan dari kotoran atau air hujan. Plastik makin digemari karena menjadi suatu barang terlihat baru. Plastik adalah penemuan terbesar yang pernah ada.
“Saya sedang tidak mengajak Anda menghentikan penggunaan plastik. Kita harus mengelola penggunaannya,” jelas Viebeke.
Penggunaan plastik secara masif di Bali belum diimbangi dengan pengelolaan yang baik. Sampah plastik masih menjadi masalah umum yang terjadi di mana-mana. Bahkan di desa terpencil pun ada plastik. Bagaimana cara terbaik untuk mengatasi masalah ini?
Viebeke menceritakan proyek perdana pengelolaan plastik yang pernah ia lakukan di sebuah desa, di Tabanan. Ia memberdayakan anak-anak untuk mengumpulkan plastik. Setiap 1 kilogram plastik, maka akan dibayar Rp 1.000 oleh perangkat desa dan ditambah lagi Rp 1.000 oleh I’m an Angel. Pada awalnya, semua anak bersemangat. Namun, energi mereka tak selamanya berkobar. Lalu, apa lagi caranya?
“Saya belajar dari pengalaman ini bahwa yang mereka butuhkan adalah edukasi (tentang plastik),” tutur Viebeke.
Edukasi yang dimaksud bukan hanya untuk anak-anak, tapi juga untuk orang dewasa. Robert Crocker menanggapi cerita Viebeke sembari menawarkan solusi. Robert mengungkapkan bahwa barang gratisan memang tidak memiliki nilai. Begitu pula dengan plastik. Menurutnya, masalah plastik harus diselesaikan bersama.
“Ada tiga komponen, pemerintah, regulasi dan ekonomi atau perusahaan. Ketiganya perlu bekerja sama untuk mengelola penggunaan plastik,” kata Robert.
Pernyataan Robert ini pun langsung ditanggapi Viebeke dengan sinis. Baginya, menggabungkan ketiga komponen itu masih sulit dilakukan. Berdasarkan pengamatannya selama ini, ada sebelas institusi yang terkait dengan bidang lingkungan tapi tak sekalipun pernah duduk bersama.
“Izin AMDAL (baca: Analisis mengenai dampak lingkungan) saja bisa dibeli,” tandas Viebeke.
Meski sulit menemukan solusi, selalu ada upaya dari mereka yang peduli. Inilah yang disampaikan oleh Robert sambil mengakhiri diskusi ini.
“Harus ada orang-orang yang tepat seperti Anda (sambil menunjuk Viebeke), untuk turut andil dalam menyelesaikan masalah ini,” tutur Robert.
Robert pun menyebutnya dengan istilah waste system atau sistem pengelolaan sampah. Jika memang ketiga komponen itu sulit bekerja sama, maka sistem ini boleh jadi solusi alternatif. Dalam sistem yang digagas Robert, dua hal yang perlu diperhatikan, yaitu anggaran dan ahli yang mengelola sampah plastik. Solusi ini masih dapat dilakukan secara mandiri, maupun melibatkan pemerintah. Kini, persoalan berikutnya: mau atau tidak?
Sesi ini akhirnya mengingatkan saya pada krisis air, juga masalah plastik di Bali. Saya justru bersyukur atas hujan yang mengguyur Bali hari ini. Saya pun masih menggunakan jas hujan berbahan dasar plastik.
Banyak orang banyak sampah dan kemana perginya?
Dibakar, buang ke sungai atau tinggalkan di tempat pembuangan yang sudah penuh. Dulu sungai banyak ikan dan orang berenang.
Kini banyak sampah dan sarang penyakit. Mungkin sampah bisa digunakan untuk yang lain.
Reuse. Reduce. Recycle dan re apalagi?