Mari mulai dengan sejarah kelahiran Komunitas Pojok.
Sejarah ini sebagai landasan untuk mengisahkan aktivitas mereka lebih lanjut termasuk wilayah bermainnya.
Pada awalnya adalah beberapa mahasiswa STSI Denpasar jurusan seni rupa, bagian dari Keluarga Mahasiswa Seni Rupa (KAMASRA). Mereka melontarkan teriakan “Mendobrak Hegemoni” yang membuat mereka dipandang miring oleh praktisi seni rupa (senior) dan juga kampus (seni rupa) yang menaungi mereka.
“Mendobrak Hegemoni” semacam aksi tandingan terhadap (salah satunya) wacana seni (rupa) Bali yang terlalu mengagungkan romantisme keberhasilan Sanggar Dewata era Erawan dan kawan-kawan. Aksi ini selain memamerkan karya-karya “subversif” juga diikuti penyebaran pamflet tentang betapa Sanggar Dewata telah menghegemoni dunia seni (rupa) Bali sampai-sampai menutup mata “dunia” pada “kemajuan” seni (rupa) Bali.
Era “Mendobrak Hegemoni” diisi dengan karya-karya konvensional yang secara garis besar mengkritik dunia seni (rupa) Bali.
Pasca era “Mendobrak Hegemoni” mereka mengadakan pameran keliling bertema “Fuck Seni Kapitalis”. Pameran ini sebagai bab lanjutan dari protes terhadap lingkaran dan ikatan dominasi seni di Bali.
Belum berhenti sampai di sana, untuk merespon hajatan besar Pesta Kesenian Bali (PKB) mereka membuat tandingan yang diplesetkan menjadi Pesta Kapitalis Bali (dan Pemerintah Kolonial Bali).
Pasca PKB tandingan itulah studio mereka di kampus STSI diobrak-abrik. Beberapa lukisan hilang. Tak sedikit pula yang ditemukan telah habis terbakar. Beberapa orang dari aksi kontra PKB ini mendapat ancaman skorsing dari kampus.
Karya-karya yang ditampilkan masih berupa karya konvensional seperti karya lukis di atas kanvas dan dipamerkan di pinggir jalan seberang Kampus Sastra Universitas Udayana. Saat itu memang belum ada karya yang merespon jalanan dan atau karya-karya yang bisa dinikmati publik luas.
Dengan kata lain masih penuh dengan simbol dan slogan seni (rupa) yang asing untuk publik yang tidak mengakrabi dunia seni (rupa).
Pada era inilah beberapa orang membentangkan kanvas besar di lantai dua studio lukis STSI yang bergambar tokoh komik dan bertuliskan Komunitas Pojok. Disadari atau tidak, pembentangan kanvas itu telah menjadi tanda kelahiran Komunitas Pojok.
Hal tersebut saya gunakan sebagai tanda kelahiran mereka karena ini pertama kalinya dalam sejarah perjalanan mereka menorehkan satu nama untuk kolektif tempat mereka bernaung. Kebanyakan individu dalam Komunitas Pojok sendiri tidak menyadari hal ini.
Ketika saya menanyai kapan tepatnya Komunitas Pojok lahir, hampir semua individu kebingungan dan tidak bisa memberikan jawaban tepat. Malah ada yang menjawab dengan pertanyaan, “Kapan ya?”.
Era pasca kontra PKB adalah era ”ketenangan”. Individu-individu yang pernah berdiri tegap menantang, ”merayap” (sejenak). Tepat seperti prinsip Konstansi Freudian. Ketika ketegangan semakin bertambah, seseorang cenderung menarik diri untuk meredakan ketegangan-ketegangan tersebut.
Ketika individu-individu dalam Komunitas Pojok sedang ”merayap” mereka bukan tidak melakukan apa-apa. Salah satu aktivitas yang dilakukan adalah pameran keliling. Dalam pameran keliling tersebut mereka mengikat beberapa karya (masing-masing satu di depan, samping kiri belakang dan samping kanan belakang) pada sepeda gayung dan mengendarainya keliling Denpasar.
Pada tahun 2002, Komunitas Pojok menggelar pameran bersama perdananya di bawah judul ”Tentang Manusia”. Kemudian dua tahun setelahnya, tepatnya 2004 Komunitas Pojok untuk pertama kali berpameran di luar Bali, yaitu di Kedai Kebun Forum Jogjakarta.
Setelah pameran berjudul Under Attack dan beberapa kali bertemu dengan Samuel Indratma (banyak orang yang menyebutnya Bapak Mural Jogja), mereka sepakat untuk meninggalkan kenang-kenangan di Jogja. Dengan kesepakatan bersama Samuel, mereka ber-mural di Jalan Katamso, Jogjakarta (sekarang sudah ditimpa mural lain) dengan judul Under Garbage.
Pengalaman mural di Jalan Katamso tampaknya meninggalkan bekas yang tak luntur oleh waktu. Sehingga ketika tawaran mural datang dari Diego, Ari Diyanto dan Klinik Seni Taxu datang, mereka langsung menyambarnya. Mural bersama itu dilakukan di Jalan Akasia Denpasar. Masih bisa dilihat sampai sekarang, meski sudah ditimpa coretan-coretan lain.
Dalam tahun yang sama, mereka mendapat undangan Street Art Festival di Jakarta dan memamerkan beberapa lembar Baliho yang dipasang di seputaran Menteng. Setelah kejadian-kejadian inilah Komunitas Pojok ”meluaskan” namanya. Jika sebelumnya mereka hampir selalu melekatkan kata STSI atau Denpasar setelah Komunitas Pojok, maka saat ini mereka melekatkan kata Bali.
Yang menarik, kata Bali hanya dilekatkan ketika mereka berada di luar Bali, yang ternyata hal itu dilakukan karena di Jogjakarta ada komunitas dengan nama sama.
Tahun selanjutnya, 2005, Bali ”digemparkan” oleh hajatan seni rupa besar-besaran: Bali Bienalle yang dalam pandangan beberapa orang hanya sebuah proyek jor-joran yang tidak jelas arah dan tujuannya. Dan memang, Bali Bienalle hanya berlangsung sekali saja.
Merespon hal ini Komunitas Pojok bersama KSDD (Komunitas Seni Di Denpasar, kata seninya sering kali diplesetkan menjadi suka-suka), mengadakan pesta seni yang tak kalah meriah: Bali yang Binal. Hampir semua unsur (ke) seni (an) mendapatkan tempat pada hajatan ini, mulai dari pagelaran musik sampai video art.
Kemudian dua tahun sekali, meski dengan dana patungan pas-pasan, hajatan Bali yang Binal digelar dengan komposisi hampir selalu sama: semua hal mendapatkan tempat.
Dengan tidak langsung hajatan ini memberikan ruang pada para perupa (muda) untuk berkumpul dan melakukan sesuatu tentang (ke) seni (an), ataupun hanya sekadar bertegur sapa setelah sekian lama tak bertemu dan berbincang tentang apa saja.
Bali yang Binal #3 menarik perhatian saya, setelah dua kali perhelatan digelar di dalam ruangan, Bali yang Binal #3 digelar di alun-alun kota Denpasar, dengan memajang karya-karya besar dan ”sederhana” yang bisa dinikmati oleh banyak kalangan.
Sebelum digelar, beberapa individu dalam Komunitas Pojok sedang tergila-gila dengan seni publik, mulai dari mural, wheatpaste, stensil dan seterusnya. Puncak ”kegilaan” ini mereka salurkan dalam Bali yang Binal. Pasca Bali Binal #3, aktivitas ini tidak terhenti. Selanjutnya, pada Bali Binal #4 mereka masih melakukan hal sama.
Dan dari rencana Bali Binal #5 (yang akan digelar beberapa bulan lagi) mereka masih akan tetap melakukan hal yang sama. Satu hal menarik adalah tidak semua individu dalam komunitas ini beraktivitas sebagai street artists, namun secara keseluruhan mengamini ide seni adalah milik publik dan sudah semestinya ada di ruang publik. Aktivitas ini seakan seperti langkah awal untuk mengokupasi ruang publik.
Untuk mengamati lebih jauh, selanjutnya saya akan mengisahkan beberapa potong cerita dari individu-individu dalam Komunitas Pojok tentang bagaimana mereka memaknai ruang dan seni publik.
Salah satu hal yang mungkin menarik dan luput dari pengamatan adalah keanggotaan komunitas ini. Komunitas Pojok adalah sebuah komunitas yang tidak pernah memiliki struktur, misalnya tanpa pemimpin, tanpa sebuah ruang yang bisa dikatakan sebagai (katakanlah) head quarter, tanpa (katakanlah) landasan ideologi yang jelas, dan tidak memiliki apa yang dimiliki oleh komunitas-komunitas lain sejenis, seperti keanggotaan yang jelas, semuanya serba kabur.
Apa yang dilakukan secara individu menjadi tanggung jawab individu. Menarik, karena tanpa memiliki apapun mereka sanggup bertahan sampai tahun ke 13 (jika dihitung mulai dari mereka sering nongkrong bersama).
Mereka yang bermain di Komunitas Pojoks adalah Slinat, Wild Drawing, Peanutdog, Warcd, dan 735art. [b]