Musim kemarau tahun ini sungguh menyiksa.
Tidak hanya manusia yang dibuat gerah, melainkan juga alam. Sumber air diberbagai wilayah di Bali beberapa bulan belakang kian menyusut. Bahkan ada pula yang kering kerontang.
Parahnya lagi, stok air minum kemasan galon pun sulit didapat.
Akhir pekan lalu saya bersama sejumlah teman berkunjung ke rumah Komang Saba di daerah Banjar Babung, Desa Gunaksa, Klungkung, Bali, Minggu (22/11). I Luh, puteri pertamanya baru saja berulang tahun yang ke-4. Sudah jadi agenda rutin kami habiskan waktu di sana tiap tahun. Menghibur hatinya meski bentuknya amat sederhana.
Bagi saya pribadi, tempat tinggal Komang Saba terasa istimewa. Ada kedekatan batin tersendiri yang sulit dijelaskan. Selain warganya yang ramah dan murah senyum, alam sekitar pun seperti menyambut kedatangan saya dengan tangan terbuka.
Untuk sampai ke sana bukan perkara mudah. Posisinya terpencil. Masuk perbukitan. Kontur jalan tidak mulus, berkerikil, penuh lubang serta berpasir. Belum lagi keadaannya menanjak terjal sementara sisi kanan-kirinya terdapat jurang. Jika tidak pandai menguasai kendaraan bakal celaka.
Akan tetapi, kunjungan saya kali itu menyisakan rasa getir mendalam yang menyayat hati.
Saya menjumpai seorang bocah lelaki yang sedang berjongkok, mengisi ketiga jerigen yang ia bawa disebuah sumber mata air di daerah sana. Yang membuat hati ini semakin terenyuh adalah, debit air yang mengucur keluar amat kecil. Kelewat kecil.
Menurut perkiraan saya, satu jerigen kosong seukuran itu bisa terisi penuh perlu waktu sekitar 10 – 20 menit. Berarti tiga jerigen menghabiskan waktu kurang lebih satu jam.
Itu baru satu orang yang mengambil air. Berapa banyak kepala keluarga yang menghuni di sana? Bisa dibayangkan seperti apa kondisinya jika sejumlah orang mengambil air dalam waktu bersamaan.
Ironisnya lagi, jerigen-jerigen yang terisi penuh itu harus ia pikul dengan berjalan kaki. Dua jerigen ia ikat pada ujung kayu bambu sementara satu lagi ia tenteng dengan tangan kirinya. Jarak rumahnya lumayan jauh untuk ukuran bocah seumuran itu. Ditambah lagi bobot yang harus ia bawa. Sungguh menangis hati ini melihat keadaannya.
Saya belum sempat meluangkan waktu untuk bertanya hal detail ke beberapa penduduk sekitar. Kalau tidak repot, saya berencana main ke sana besok, Minggu (29/11).
Stok Galon Kosong
Terakhir beli galon Aqua, dua minggu lalu, saya dibuat kelimpungan. Banyak toko kecil maupun sekelas minimarket kehabisan stok. Mereka (penjual) bilang belum menerima kiriman. Padahal tempat saya nge-kost di jalan Tukad Badung, Denpasar, tidak jauh dari lokasi distributor.
Saya terpaksa ‘berburu’ air minum ke berbagai tempat. Di luar perkiraan, ternyata sulit sekali mendapatkan sisa stok. Dari Tukad Badung saya menyusuri jalan Tukad Yeh Aya, Tukad Yeh Aya IX, Tukad Balian, Mertasari, Sidakarya dan terakhir Tukad Pakerisan. Di sana saya baru dapat. Itupun toko kecil yang menjual jamu.
Lebih mengejutkannya lagi, harga yang dipatok pun mahal. Biasanya dibanderol seharga Rp 16 ribu. Kali itu saya harus membayar Rp 18 ribu.
“Saya hanya mengikuti harga dari sales-nya, Mas. Stoknya memang lagi sedikit. Ini juga saya baru dapat kiriman,” kata bapak penjual sewaktu saya tanya kenapa harganya naik signifikan.
Belakangan saya juga mendapat informasi bahwa stok Aqua sulit didapat. Iwan, salah seorang rekan kerja, menuturkan di daerahnya di kawasan Kuta pun demikian. Ni Wayan Mustiari, rekan kerja lain, yang tinggal di daerah Ubud juga begitu.
Menariknya, sewaktu kantor tempat saya bekerja memesan 5 galon sekaligus, kurir Aqua yang menggunakan truk langsung datang mengganti galon-galon kosong tersebut.
Melihat peristiwa itu, saya lantas menarik kesimpulan bahwa Aqua lebih mementingkan korporat ketimbang pengecer. Kalau benar begitu keadaannya, kasihan sekali kami-kami ini. Pontang-panting kesana-kemari demi memenuhi kebutuhan air minum.
Saya tidak dapat berbuat banyak. Selain berharap lekas hujan. Biar bencana kekeringan ini segera berlalu. Semoga. [b]
Comments 2