
Oleh Putu Diri Adnyana
Berkunjung ke Desa Les belum lengkap rasanya jika belum melihat proses pembuatan garam tradisional dari desa ini. Apa yang menarik dari proses pembuatan garam tradisional desa ini? Apakah metode tradisional dalam pembuatan garam, mengapa demikian?
Garam merupakan salah satu bahan yang paling sering digunakan dalam penggunaan makanan. Proses pembuatan garam sudah banyak berkembang seiring dengan kemajuan teknologi tapi di Desa Les masih menggunakan cara tradisional dalam pembuatan garamnya. Pembuatan garam secara tradisonal ini merupakan salah satu kearifan lokal yang dimiliki dan sekarang dijadikan sebagai salah satu destinasi wisata oleh Desa Les yang terpilih sebagai salah satu desa wisata dari 500 desa di Nusantara.
Berlokasi di Banjar Dinas Penyumbahan, Desa Les, Kec. Tejakula, Kabupaten Buleleng, banyak terdapat petani garam di pesisir pantai yang masih membuat garam secara tradisional. Para petani ini sudah membuat garam secara tradisional dari turun temurun. Pembuatan garam secara Tradisonal dibilang lebih sulit, tetapi kualitas yang dihasikannya tidak dapat dipungkiri lagi kelebihannya mulai dari warnanya yang putih, ukuran yang dihasilkan kecil dan yang tidak kalah penting rasanya yang pas di lidah.
I Nyoman Madiasa salah satu petani garam atau sering dikenal dengan Pak Madi. Dia bisa dibilang petani garam yang paling lama menekuni kegiatan pembuatan garam, dan menjadi petani garam yang memilki panen yang paling banyak untuk sekali panennya. Panen garam tradisonal ini lebih lama dari garam yang biasanya dibuat. “Saya dalam sekali panen dapat menghasilkan 50-60 kg pertinjung dalam selang waktu 3 hari untuk sekali panen, itu kalau cahaya matahari bagus tapi kalau cuaca mendung kemungkinan pembuatan garamnya agak lebih lama atau gagal panen,” ungkap Pak Madi.
Untuk pemasaran garam tradisonal ini sebelum adanya pandemi covid-19 banyak para wisatawan asing yang mengekspor garam tradisional ini ke negara asal mereka. Untuk pemasaran tahun ini terjadi sedikit penurunan karena pandemi Covid-19 banyak wisatawan yang tidak bisa melakukan kunjungan ke Bali khususnya Desa Les.
Proses Pembuatan Garam Tradisonal
Adapun proses pembuatan garam Tradisional adalah sebagai berikut. Di hari pertama Pak Madi akan melakukan proses mengaduk tanah dengan yang namanya “Bangkrak” dalam bahasa balinya dikenal dengan istilah “Ngerik”. Lalu 10 menit kemudian, Pak Madi akan mengangkut tanah yang sudah dikeringkan tadi dengan media “Kampil dan Tulud”.
Tanah yang diangkut tadi akan dibawa keatas “Tinjung” yang bentuknya sangat unik seperti parabola yang terbuat dari bambu. Setelah diratakan, diinjak injak keliling lalu dipadatkan lagi dengan alat yang dinamakan “penggebugan”. Tujuannya adalah agar air laut yang diisi nanti tidak jebol.
Keesokan harinya jam 6 pagi Pak Madi kembali beraktivitas untuk menurunkan lumpur kelahan yang kosong atau yang sebelumnya tanahnya sudah dinaikkan ke atas tinjung. Setelah lumpurnya diturunkan ke lahan yang kosong, Pak Madi melakukan persiapan untuk menyiram lumpur dengan air laut tersebut melalui media mesin yang diberikan bantuan dari pemerintah Provinsi dan Kabupaten. Dulu sebelum menggunakan mesin, para petani garam masih menggunakan alat tradisional yang namanya “Sene”. Seperti apa yang dijelaskan, sebelum pengisian air laut Pak Madi menaruh kampil terlebih dahulu agar tidak merusak proses mengadukan lumpur dan air laut menggunakan 2 alat.
Alat yang pertama yang dipakai adalah Bangkrak. Tujuannya adalah untuk memecah lumpur yang sedikit keras menjadi lebih kecil. Setelah bangkrak, alat selanjutnya adalah tulud. Tujuannya agar tanah menjadi lebih halus dan lebih menyatu dengan airnya istilah balinya “Ngadukang Bletok”. Waktu pengerjaannya kurang lebih 30 menit.
Keesokan paginya Pak Madi mengambil air garam yang disebut “Yeh Nyah”. Kemudian Yeh Nyah tersebut dijemur di terpal, dulu sebelum menggunakan terpal ada alat yang namanya “ Palungan” tetapi hasil yang didapat lebih sedikit dari penggunaan terpal, maka dari itu lebih banyak yang menggunakan terpal, dan akan dipanen keesokan harinya.
Daya Tarik Pembuatan Garam Tradisional Bagi Wisatawan Asing
Selain dalam kualitas garam yang bagus, proses pembuatan garam tradisional Desa Les ini membawa daya tarik tersendiri mulai dari awal sampai akhir. “Awalnya para wisatawan asing hanya melihat saya dan ayah saya dalam pembuatan garam tradisional, dengan ramah saya mengajak para wisatawan yang melihat saya untuk ikut dalam pembuatan garam,” ungkap Gede Parartha anak dari Pak Madi.
“Para wisatawan sangat senang dengan ajakan saya, mereka sangat heran dengan saya yang sangat mudah dalam menurunkan lumpur dari tinjung, bahkan mereka beberapa kali mencoba hampir tidak berhasil,” ungkap Gede Parartha.
Para petani garam diberikan pelatihan dan ilmu baru untuk mengolah garam yang diperoleh dari kerja sama dengan Sea Communities dan ketika ada kunjungan baik tamu lokal maupun tamu asing, mereka sangat antusias. Para wisatawan sangat suka dengan kegiatan proses pembuatan garam tradisional.
Tapi sebaliknya dengan generasi muda yang ada di Desa Les, hanya sedikit anak muda yang ingin melanjutkan usaha garam tradisional ini, kebanyakan dari mereka ingin untuk bekerja di kota-kota besar. Padahal produksi garam tradisional memiliki banyak peluang untuk mendapatkan keuntungan yang sangat tinggi.
Tantangan di era digital
Di era digital saat ini sangat penting bagi para pengusaha untuk lebih mempromosikan barang jualan meraka, dengan keterbatasan ilmu yang dimiliki para petani garam tradisonal Desa Les menjadikan tantangan bagi mereka dalam mempromosikan barang yang diproduksi. Dikarenakan banyak dari mereka yang sudah tua dan pada jaman mereka masih tabu yang namanya media sosial, hal ini menjadi tantangan besar bagi mereka, tentu banyak harapan mereka agar lebih banyak media dan para muda-mudi yang mempromosikan garam tradisonal Desa Les ini.
Selain itu, para petani garam yang sudah tua memiliki banyak harapan agar para pemuda-pemudi bisa melestarikan pembuatan garam secara tradisonal ini. Seiring dengan berjalannya waktu mereka pasti tidak bisa lagi membuat garam karena usia yang sudah tua dan kondisi fisik mereka yang sudah melemah. Para petani garam sangat ingin ada yang menggantikan mereka dalam pembuatan garam secara tradisional, agar kearifan lokal ini tidak punah dimakan jaman.
Hambatan yang sering dijumpai untuk proses pembuatan garam Tasik Segara Desa les cuaca yang kadang-kadang yang tidak menentu saat musim peralihan hujan-kemarau, hal ini dapat menghambat produksi garam yang dihasilkan.
Banyak harapan petani garam tradisonal Desa Les dalam perkembangan teknologi yang sangat pesat saat ini dalam menghadapi tantangan dan hambatan tersebut. “Mungkin seiring dengan perkembangan teknologi, saya harap banyak ada media promosi dan ada alat yang bisa mengantisipasi hambatan pembuatan garam tradisional,” ujar Pak Madi.