Oleh Anton Muhajir
Sabtu (2/8) lalu saya ikut perayaan mengenang dr AA Made Djelantik, pangeran dari Puri Karangasem yang meninggal September 2007 lalu. Perayaan ini digelar di Taman Ujung Sukasada, taman air sisa kejayaan Kerajaan Karangasem. Sebenarnya saya tidak terlalu tertarik untuk datang. Tapi karena istri saya ngotot ingin hadir di sana, jadi ya kompromi saja.
Satu hal yang membuat saya tetap mau datang, meski tidak terlalu antusias, adalah karena bedah buku yang akan menghadirkan Goenawan Mohamad, biasa dipanggil GM atau Mas Gun. GM bukan hanya wartawan dan sastrawan tapi, bagi saya, juga salah satu filsuf yang sering memberi perspektif alternatif ketika melihat masalah. Maka, kami pun tetap ke Karangasem untuk hadir pada perayaan tersebut.
Sabtu sore, sekitar pukul 15.15 Wita kami (saya, istri, anak, dan dua teman yang kami di mana kami nebeng di mobilnya) sampai di Taman Ujung. Soal taman ini, nanti saya bikin tulisan tersendiri. Kali ini ceritanya soal acara peringatan itu saja.
Ada beberapa acara di peringatan dokter mantan direktur Rumah Sakit Umum Sanglah Denpasar Bali ini. Di antaranya bedah buku, peringatan itu sendiri, serta pentas tari dan musik. Masing-masing digelar di titik berbeda meski masih di kawasan tersebut. Bedah buku digelar di bawah tenda pas matahari masih agak terik, sekitar pukul 15.30 Wita.
GM ternyata tidak jadi hadir untuk membedah buku berjudul memoar tentang dr Djelantik yang berjudul Menepis Segala Rintangan itu. Saya kecewa. Jauh-jauh, sekitar 1,5 jam perjalanan dari Denpasar, untuk ikut diskusi dengan GM, ternyata dia tidak datang. Kata panitia, GM tidak bisa datang karena harus menemani kakaknya yang stroke.
Sore itu saya pilih jalan-jalan sama anak di Taman Ujung, tidak jadi ikut diskusi.
Usai bedah buku, saya nimbrung lagi di tengah acara peringatan di titik lain. Tidak jauh membosankannya. Saya duduk-duduk saja sama istri dan dua teman lain.
Lalu makan malam tiba. Dan inilah yang menyenangkan malam itu. Ada Tropical Transit yang main musik ketika ratusan tamu itu menikmati menu khas ala Bali. Sebenarnya saya sudah beberapa kali melihat penampilan band ini. Tapi, malam itu sangat berbeda dari yang pernah. Mungkin karena mainnya di tengah eksotisnya Taman Ujung. Juga karena penampilan mereka mengobati kekecewaan saya malam itu.
Karena penampilannya malam itu, maka saya bersemangat untuk menulis soal Tropical Transit.
Malam itu, bagi saya, penampilan Tropical Transit memang keren banget. Band ini tak sekadar main musik tapi juga menyebarkan mantra-mantra perdamaian dan keragaman. Dengan pakaian personel yang semuanya putih-putih, auranya sudah terasa teduh. Lalu, musikny, aiiih, benar-benar melenakan.
Keragaman bagi Tropical Transit memang tak sekadar lip service. Oke. Dari latar belakang personelnya dulu. Lihatlah personilnya. Campuran orang Buleleng, Negara, Palembang, Jakarta, Jogjakarta, dan aku lupa dari mana lagi yang lainnya. Saya lupa namanya satu per satu. Saya cari di Google juga tidak ketemu. Jadi pakai ingatan saja. Kalau tidak salah Ayu Laksmi (vokalis), Made Riwin (gitar), Amy Rosady (vokal dan kendang), Eko Sumarsono (bass), Monos (perkusi), dan Rico (keyboard). Nama drummernya lupa sama sekali.
Ada tiga personel yang penampilannya menarik saya. Semua memakai pakaian putih atas dan bawah. Tapi Ayu, Monos, dan Riwin agak berbeda. Ayu berpakaian ala kain sari India dengan selendang yang dibiarkan menjuntai ke bawah. Monos memakai semacam sorban khas kyai dalam Islam yang diikatkan di kepala. Riwin memakai pakaian seperti pemangku. Sebelum mereka tampil, ketika melihat Riwin menghaturkan canang di sanggah kecil di pojok Taman Ujung, saya bahkan menyangka Riwin adalah pemangku.
Lalu gaya bermusik mereka. Sayangnya saya tidak terlalu ngerti soal musik. Jadi saya menulis apa yang saya tahu saja. Musik Tropical Transit lebih banyak aroma etniknya. Ada kendang, perkusi, dan gitar akusitik yang dimainkan Riwin dengan sangat jernih. Instrumen musik tradisi ini bertemu dengan keyboard, drum, dan bass. Olah suara ini menghasilkan harmoni yang sinergis.
Ada satu lagu di mana Monos memainkan wayangnya. Sambil memainkan boneka-boneka pipih ini, Monos melantunkan syair-syair dalam bahasa Jawa halus tentang dunia yang makin rapuh dan acak adut.
Tempo lagu-lagu mereka dominan lambat, tidak cepat, tapi kadang tiba-tiba menghentak. Naik turun. Ayu Laksmi dengan pintar memainkan sensualitasnya menyanyi dan menari di antara tempo-tempo itu. Dia menjelajah nada-nada itu naik turun. Panjang. Pendek. Ayu sangat interaktif di antara penonton yang sebagian besar sibuk dengan sendok garpu dibanding menikmati keindahan suara Ayu.
Sembari menyanyi dia menyebarkan mantram keragaman itu.
Inilah bagi saya yang paling keren. Corak musik mereka lahir dari beragamnya latar belakang personelnya. Aduh, gobloknya, saya tidak mencatat semua lagu-lagu itu. Di antara sekitar 10 lagu yang saya ingat malam itu adalah Tat Wam Asi, Reincarnation, Tri Karya Parisudha, dan One Earth. Hampir semuanya berbahasa Inggris dengan lirik yang mudah dicerna.
Ada juga lagu berirama Arabic dengan lirik campur aduk. Arab, Bali, Inggris. Monos yang menyanyi pada lagu berirama padang pasir ini seperti orang kesurupan (trance) saking menghayatinya.
Kesurupan itu seperti menular ke saya dan istri. Kami ikut berteriak, bertepuk tangan, di antara ratusan penonton yang miskin apresiasi itu. Ini memang tipikal penonton musik di Bali, jarang bertepuk tangan atau menyambut ajakan pemain musik. Sebagian bahkan melirik kami dengan tatapan agak sinis.
Ah, cuek gen. Kalau kesurupan, kita memang tidak peduli sikap orang lain. Apalagi kalau kesurupan karena mantram yang disebarkan Tropical Transit. Kami mau dah sering-sering kesurupan begini.. [b]
Foto diambil dari kiriman Sugi Lanus di milis bali-bali@yahoogroups.com
pengen kesurupan juga.
akhirnya nyolek mbah gugel buat dengerin musiknya.
nggak dapet..
akhirnya ketemu blognya.
sayang nggak ada music yang bikin kesurupan juga.
padahal sudah pengen kesurupan. he.he..
ini blognya http://tropicaltransitmusic.blogspot.com/