Teks dan Foto Anton Muhajir
Foto selebar tangan orang dewasa itu digantung di dinding kusam sel nomor 9 Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) Anak Gianyar di Karangasem, Bali. Di dalamnya ada dua wajah: seorang kakek berumur 70an tahun dan anak perempuan sekitar 10 tahun. Foto itu menjadi salah satu penghias sel berukuran sekitar 5×3 meter persegi tersebut. Di sel itu, Roni dan dua temannya dikurung.
“Mereka yang menguatkan selama saya di sini,” kata Roni, 16 tahun, sambil menunjuk kakek dan adiknya di dalam foto tersebut. Remaja kelahiran Mataram, Lombok Barat, Nusa Tenggara Barat (NTB) ini mengambil foto itu dari gantungan. “Saya harus bertemu mereka kalau keluar nanti. Kalau tidak ketemu mereka, hancur hidup saya,” katanya dengan mata berkaca-kaca.
Dia menunduk. Menarik napas panjang. Dia menggantungkan kembali foto tersebut pada paku di dinding. Dia menoleh ke kotak kecil di pojok ruangan. Di kotak setinggi sekitar 30 cm itu dia menyimpan kenangan lain tentang adik dan kakeknya.
Roni mengambil secarik kertas dari bekas bungkus rokok. Ada tulisan dalam bahasa Sasak. “Ini pesan kakek. Adik saya yang menulisnya. Kalau membaca pesan ini, saya selalu ingin nangis,” ujarnya. Dalam tulisan itu Kakek Roni berpesan agar Roni tidak lupa sembahyang dan bersikap baik sama petugas.
Perceraian orang tuanya membuat Roni kini hanya menggantungkan harapan pada kakek dan adiknya. Bapak dan ibu kandungnya menikah lagi dengan pasangan baru masing-masing. Hal ini membuat Roni sulit untuk tinggal dengan salah satu orang tua kandungnya. “Kalau dengan ibu, saya takut sama bapak tiri. Kalau sama bapak, saya takut saya ibu tiri,” ujarnya.
Karena tidak ada orang tua kandung yang bertanggung jawab itu, Roni harus menjadi Anak Negara. Dia merupakan salah satu penghuni di Lapas Anak satu-satunya di Bali tersebut. Awalnya dia dipenjara di Mataramkarena kasus pencurian telepon seluler. Dia masuk penjara pada 24 September 2008. Tujuh bulan kemudian, dia dilayar ke Lapas Anak di Karangasem, Bali. Dilayar adalah istilah para napi untuk dipindahkan ke penjara lain.
“Waktu itu saya tidak tahu kenapa saya dipindah ke sini. Tahu-tahu pas tengah malam saya dibangunin petugas terus dibilang mau dilayar ke Bali. Katanya sih karena saya Anak Negara. Jadi harus dipindah ke sini,” dia bercerita.
Awal Februari lalu ada 16 napi anak di Lapas Anak Karangasem. Di antara mereka ada empat napi anak yang berstatus sebagai Anak Negara. Belum ada pengertian yang jelas tentang Anak Negara ini. Namun mengacu pada Pasal 31 ayat (1) Undang-undang (UU) nomor 3 tahun tahun 1997 tentang Pengadilan Anak, Anak Negara adalah anak yang diputuskan oleh hakim untuk diserahkan pada negara, dan ditempatkan di Lapas Anak.
Status ini sebagai Anak Negara membuat empat anak ini berbeda dengan napi lain. Salah satunya karena mereka harus menjalani hukuman hingga berusia 18 tahun berapapun hukuman yang mereka terima.
Pilihan lainnya, mereka boleh keluar Lapas kalau masa hukumannya sudah selesai selama ada yang menjamin. “Itu tidak mungkin. Saya tidak punya siapa-siapa di sini,” kata Rian, napi lain yang juga bersatus sebagai Anak Negara.
“Tidak ada keluarga yang mengurus saya selama saya di sini,” tambahnya.
Menurut Kepala Lapas (Kalapas) Anak Gianyar di Karangasem, Sjamsul Rizal, Anak Negara memang mempunya status berbeda dengan napi lainnya. Namun alasan masuknya tak jauh beda. Para penghuni masuk penjara karena beragam tindak kejahatan seperti pencurian dan pelecehan seksual.
Menurut UU Pengadilan Anak, Anak Negara ini boleh keluar setelah ada penjaminnya. Namun bagi Roni dan Rian ini penjamin adalah hal mustahil. Mereka tidak punya keluarga ataupun penjamin di Bali.
Rian adalah penghuni paling lama di Lapas Anak Gianyar. Dia masuk sejak 11 Januari 2007 setelah sebelumnya menjalani tahanan di Sumbawa selama hampir satu tahun. Artinya dia sudah menjalani hukuman selama empat tahun. Menjalani hukuman sebagai Anak Negara, dia harus tinggal di sana selama dua tahun lalu hingga 28 Oktober 2012 nanti.
Di dalam sel tersebut, Rian tinggal bersama Roni dan Yunus. Seperti penghuni lain, mereka juga tidur menggunakan kasur tipis tak lebih tebal dibanding telapak tangan orang dewasa. Selain kotor dan dekil, kasur itu juga bau. Tapi itu lebih baik dibanding penghuni lain yang hanya tidur beralas karpet di atas lantai tegel yang dingin. Di pojok ruangan ada kamar mandi kecil untuk semua penghuni.
Mereka tinggal di dalam sel selebar sekitar 5×3 meter persegi yang dibagi untuk tiga penghuni. Sebagai semacam penanda kepemilikan ruang di sel itu ada kasur tipis. Ada juga lemari kecil tak lebih dari 1×1 meter persegi sebagai penyekat antarruang pribadi tersebut. Lemari kecil ini sekaligus menjadi tempat menyimpan kenangan dan hiburan. Selain foto keluarga, ada juga gambar artis sinetron, pemain bola, ataupun pembalap idola.
Hidup di dalam ruang dan karena alasan yang sama, anak-anak itu mempunyai cara sendiri. Tidak ada kepemilikan di antara mereka. “Kalau satu orang punya, itu harus dibagi. Dengan cara itu kami saling peduli,” kata Rian. Kepemilikan ini terutama untuk makanan dan rokok. Siapa yang punya makanan lebih, misalnya karena membeli dengan uang dari hasil memijat petugas Lapas, maka dia akan membaginya dengan teman sekamar. “Karena kalau saya tidak punya makanan, saya juga bisa meminta pada teman lain,” tambahnya.
“Kalau semua tidak punya, ya, sabar dulu,” timpal Roni. Mereka bertiga tersenyum.
Menurut Roni, tidak enak tinggal di penjara. “Kalau lagi makan sering ingat adik-adik dan ibu bapak. Di sini cepat stress,” tambahnya.
Makanan mereka sehari-hari nasi dengan lauk berbeda tiap jam makan. Kalau sarapan hanya nasi dengan seiris tempe tipis. Makan siang berganti lauk telur atau ayam. Sedangkan makan malam hanya sayur, tanpa daging atau tempe sekalipun.
Tanpa banyak kegiatan di Lapas, rokok menjadi salah satu tempat pelarian. Rian, dengan badan agak tegap dan kulit lebih gelap dibanding dua temannya di ruangan, Roni dan Yunus, mengambil rokok tiga batang rokok kretek dari lemari kecilnya. Dia membaginya untuk Roni dan Yunus.
Mereka menghisap dalam-dalam sebelum menghembuskan asap dengan nafas panjang dan mata menerawang. “Bagus untuk mengurangi stres,” kata Yunus. Dibanding dua temannya di sel, Yunus terlihat lebih modis. Siang itu dia bersepatu padahal Roni dan Rian bahkan tidak menggunakan sandal.
Merokok memang jadi salah satu masalah bagi anak-anak tersebut. “Kalau mereka baru datang merokoknya kayak kereta,” kata Sjamsul. Menurut Sjamsul, merokok memang jadi salah satu cara menghilangkan ketegangan bagi anak-anak tersebut selama di penjara. Tidak ada aturan tegas yang melarang. “Kami hanya menerapkan pendekatan bapak dan anak. Kalau ketauan melanggar, paling ya ditegur. Sifatnya hanya imbauan, bukan perintah,” tambahnya.
Ketua Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) Bali Sri Wahyuni menyatakan hal sama. Meski tidak bagus untuk kesehatan, menurut Wahyuni, perilaku anak-anak yang merokok itu bisa dipahami. “Itu salah satu cara untuk merasa lebih nyaman dengan situasi yang mereka hadapi saat ini,” ujarnya.
Sebenarnya para penghuni berharap ada banyak kegiatan lain. Misalnya membaca buku atau koran. “Kalau ada koran pasti tidak stress,” kata Roni. Tapi koran menjadi barang mahal. Susah didapatkan di penjara. Mereka hanya kadang-kadang mendapat koran bekas dari petugas Lapas. Roni mengambil tabloid bekas dari dalam lemarinya. Sebuah tabloid tentang telepon selular edisi Januari yang sudah dibacanya berulang kali.
Pilihan bacaan lain selain koran adalah buku. Tapi ini juga susah. Buku di perpustakaan Lapas tidak mudah untuk dipinjam. Maka anak-anak itu menyimpan apa pun jenis buku yang mereka baca. Roni menyimpan buku Pelajaran Bahasa Indonesia. Yunus menyimpan Buku Pintar tentang pengetahuan umum. Buku-buku itu sudah mereka baca berulang-ulang.
Ada dua blok di Lapas Anak tersebut dengan 10 kamar untuk 16 penghuni. Untuk penghuni yang baru datang, mereka harus menempuh masa orientasi selama 1-2 minggu. Tempatnya di sel tikus berukuran sekitar 2×5 meter persegi. Persis setelah pintu dengan jeruji di bagian atas, ada tempat tidur lantai yang tingginya sekitar 0,5 meter. Di ujung tempat tidur ini ada kamar mandi sekaligus toilet. Praktis hanya tersisa sekitar 1×0,5 meter persegi ruang lapang di sel.
Bagi anak-anak tersebut, sel tikus adalah sel paling menakutkan. Hal ini karena sel tikus inilah yang mereka tempati ketika pertama kali masuk. Setelah sebelumnya mereka hidup di dunia luar tanpa batas, mereka lalu harus tinggal di dalam penjara. Itu pun hanya ruangan sempit dan pengap dengan minim cahaya.
Sel tikus ini tak hanya untuk mereka yang baru datang tapi juga untuk penghuni yang sedang menjalani isolasi atau hukuman. Mereka yang diisolasi ini biasanya karena melanggar aturan. Misalnya berkelahi atau bertengkar. Siang itu salah satu penghuni baru saja melanggar aturan karena bertengkar dengan temannya.
Bayangan tentang penjara sebagai tempat para penjahat membuat mereka takut duluan. “Saya nangis tiap hari ketika baru masuk. Saya takut dipukuli anak-anak lain di sini,” kata Kadek Suaramerta, 16 tahun. Remaja dari Desa Selat Duda, Kecamatan Selat, Karangasem ini masuk penjara 28 November lalu. Dia harus menjalani hukuman selama 5 bulan gara-gara tertangkap mencuri uang Rp 250.000.
Wajah Kadek terlihat lebih muda dibanding umurnya yang sudah 16 tahun. Dia juga terlihat agak takut dengan penghuni Lapas yang lain. Siang itu dia lebih sering menyendiri dengan tangan menyilang dada bersedekap. Tatap matanya agak kosong, tanpa keberanian. Karena uang Rp 250.000 dia harus menghabiskan sebagian masa remajanya di penjara.
Kadek, Roni, Yunus, dan Rian hanyalah sebagian gambaran tentang anak-anak yang terpaksa kehilangan masa remaja karena perilaku yang tak jarang karena lingkungannya. Tak sedikit pula yang melakukan masuk penjara karena alasan yang bagi sebagian orang mungkin tak pernah mereka pikirkan. Roni masuk penjara karena ingin membelikan baju baru untuk adik kandungnya.
Toh, Negara hanya mau gampangnya saja. Menghukum mereka dalam penjara meski itu tak selamanya menyelesaikan masalah. Misalnya, kenapa tidak memberikan mereka hukuman seperti kerja sosial daripada mengurung mereka di dalam penjara.
“Kalau tahu penjara seperti apa, kami tak akan pernah mau masuk di dalamnya,” kata Kadek. Menurutnya, tiap detik di penjara baginya terasa sangat lama.
Itu pula yang dirasakan Rian. Delapan tahun di penjara seolah merenggut seluruh hidupnya. “Mungkin sampai kiamat saya baru pulang,” kata Rian dengan wajah datar. [b]
apakah boleh bila ada yg menjamin mereka tp bkn orng tua y,,,knp ukum indonesia merugikan warga sendiri????