Seekor harimau tersesat di tengah belantara kota.
Bukan harimau sungguhan tapi harimau yang disimbolkan oleh seseorang memakai topeng harimau. Dia kadang bersembunyi dan takut pada kerumunan, dia berlari ke sana ke mari.
Dia menyampaikan pesan tentang rusaknya hutan sembari bertanya, ““Do you care I’m longing for home? As I face the future all alone..”
Tepat ketika lirik tersebut dibacakan, si harimau itu sedang berada di depan Istana Negara di Jakarta. Dia seperti menggugat kepada penghuni istana di mana presiden bekerja itu, “Pedulikah kamu pada kami yang akan punah ini?”
Tak hanya lewat lirik lagi berjudul Harimau! Harimau! Raja hutan dari rimba di Sumatera itu pun mengajukan pernyataan-pernyataan tentang kritisnya kondisi lingkungan di mana dia dan kawanannya kini tersisa.
“Indonesia forests disappear at 500 olympic size pools per hour.”
“Endangered.”
“Sumatra 1998 – 2011: 72 people – 52 tigers died in conflict.”
“Palm oil. Palm wood – massive expansion”
“Less than 400 sumatran tigers left in the wild.”
Fragmen-fragmen tersebut merupakan bagian dari video klip band grunge dari Bali yang juga aktif terlibat dalam kampanye lingkungan, Navicula. Video klip tersebut resmi diluncurkan di YouTube pada 1 Juli lalu.
Sabtu malam kemarin di Denpasar, peluncuran secara resmi baru dilakukan. Peluncuran di Denpasar ini diikuti pula dengan diskusi dan nonton bersama debat calon presiden – wakil presiden yang membahas tema tema pangan, energi, dan lingkungan
Navicula merupakan band psychedelic grunge dari Bali yang berdiri sejak 1996. Personel band ini adalah Gede Robi Supriyanto (vokal, gitar), Dadang S Pranoto (gitar), Made Indria Dwi Putra (bass), dan AA Ngurah Rai Widya Adnyana alias Gembul (drum).
Sejak awal berdiri, band yang terpengaruh Nirvana, Pearl Jam, dan semacamnya ini konsisten membawa isu-isu sosial dan lingkungan melalui lagu-lagu mereka. Tak hanya lewat lagu tapi juga terlibat dalam kampanye lingkungan, termasuk bersama organisasi lingkungan terkemuka Greenpeace atau Forum Rakyat Bali Tolak Reklamasi (ForBali).
Akhir tahun 2013 lalu mereka meluncurkan album ketujuh berjudul Love Bomb. Secara fisik, album ini kental nuansa pro keberlanjutan lingkungan. Tak hanya dari lagu tapi juga kemasan album yang menggunakan bahan daur ulang.
Sekadar contoh tiga lagu dalam album ini adalah Bubur Kayu, Orangutan, dan Harimau! Harimau!. Ketiganya menyampaikan pesan yang kurang lebih sama, kian hancurnya hutan di Indonesia.
Pesan itu pula yang disampaikan dalam video klip yang mereka luncurkan pekan lalu lewat saluran media sosial YouTube ataupun minikonser di Denpasar.
Video berdurasi 2 menit 25 detik ini merupakan hasil kerja sama antara Navicula dengan Greenpeace. Mereka menggandeng sutradara Riri Riza dan produser Mira Lesmana, dua nama penting di dunia film Indonesia.
Menurut Robi, frontman dan vokalis Navicula, lirik Harimau! Harimau! sudah ditulis sejak 2009. Namun, ketika akan diluncurkan, mereka berpikir perlu untuk berkolaborasi dengan organisasi yang memiliki perhatian sama. “Pada waktu itu, kami juga tertarik dengan kampanye Greenpeace tentang Mata Harimau,” kata Robi.
Greenpeace dan Navicula kemudian bekerja sama terutama dalam kampanye penyelamatan hutan. Menurut Robi, hutan harus menjadi perhatian penting karena tingginya laju deforestasi di Indonesia sepuluh tahun terakhir.
Padahal, lanjut Robi, jika hutan hilang, maka tidak hanya masyarakat di dalam hutan yang akan kena dampak tapi seluruh bumi. ”Karena bumi ini seperti tubuh kita yang berukuran raksasa, integral dan saling berhubungan,” tambah Robi.
“Bumi adalah manusia raksasa. Kalau hutan Amazon sekalipun punah, yang kena dampak adalah semua manusia di bumi,” lanjutnya.
Riri Riza dalam video di balik pembuatan klip Harimau! Harimau! Menuturkan hal sama. “Klip ini menarik karena dia bicara seolah-olah ancamannya hanya harimau. Padahal ancaman pada harimau adalah ancaman terhadap kehidupan. Memperluas lahan demi ekonomi semata adalah ancaman bagi kita sendiri di masa depan,” kata Riri Riza.
“Saya berharap setelah melihat video ini kita sadar jangan dia lihat sebagai hama atau pemangsa tapi bagian dari mata ranta hidup sehingga kalau dia tidak ada maka kehidupan kita juga hilang,” ujarnya.
Adapun menurut Mira Lesmana, harimau dalam klip ini hanya pengantar. Pesan utamanya bahwa harimau itu kehilangan rumah akibat keserakahan manusia. “
Sebagai orang kreatif, kita berkewajiban harus bersuara untuk menyelamatkan lingkungan kita. Orang kreatif harus jadi motor utama,” ujarnya.
Kolaborasi yang menjadi kritik terhadap deforestasi itu terwujud apik dalam klip Harimau! Harimau! tersebut. Dengan gambar hutan-hutan rimbun ditebang, kawasan hutan dibakar, dan seekor harimau kehilangan rumahnya yang kini tersesat di belantara kota sambil bersuara, “I need someone to love. As I face the future all alone..”
Lirik dan gerak dalam klip itu kemudian ditutup dengan fakta memprihatinkan.
“Indonesia rainforests contain 10-15% of all world biodviersity.”
“The palm oil sector was the single largest driver of deforestation from 2009-2011. Expansion of oil palm and pulpwood plantations was responsible for nearly two-thirds of the destruction of tiger habitat from 2009-2011.” [b]