Oleh: Abror Torik Tanjilla & Yohanes Wisnu Dharmesa (Mahasiswa Pascasarjana Ilmu Politik Universitas Indonesia)
Pada 16 Oktober 2023, ketakutan kita akan bangunnya hantu Orde Baru kembali muncul. MK mengabulkan sebagian dari permohonan pengujian materiil terkait UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum, yang dilakukan oleh Almas Tsaqibbiru sebagai mahasiswa asal Surakarta. Pengujian materiil itu dilayangkan untuk menguji pasal yang berbunyi bahwa calon wakil presiden (cawapres) “berusia paling rendah 40 (empat puluh) tahun atau pernah/sedang menduduki jabatan yang dipilih melalui pemilihan umum termasuk pemilihan kepala daerah.”
Putusan yudikatif ini perlu kita telaah dan renungkan. Kami menganggap bahwa ada tendensi dari pihak pemohon, terutama dari Almas Tsaqibbiru. Almas seperti tidak memperhatikan implikasi dari gugatan ini terhadap kelangsungan demokrasi kita. Tanpa pemahaman konteks politik yang lebih luas, putusan ini akan menjadi karpet merah bagi dinasti politik ke depan, apalagi jika kita tidak mendekatinya dengan kritis dan hati-hati.
Secara ideal, Almas mencoba memberikan ruang kepada anak muda untuk aktif dalam kontestasi politik nasional. Namun secara realita, apa yang ia bawa merupakan pembajakan lingkaran intelektual untuk kepentingan dinasti politik. Alasan ini dapat kita lihat dengan adanya kepentingan pemenuhan syarat Gibran Rakabuming Raka yang merupakan Wali Kota Solo sekaligus anak sulung Presiden Joko Widodo. Disebut-sebut, Gibran akan dipasangkan menjadi cawapres Prabowo Subianto. Catatan kami, momentum pengujian materiil yang diajukan tampak tergesa-gesa, dan seperti ada kasak-kusuk elit menjelang momen pemilihan umum 2024 yang kian hari kian panas.
Tuduhan dinasti politik ini bukan argumentasi kosong belaka. Anak bungsu Jokowi, Kaesang Pangarep, menjadi Ketua Umum PSI dalam kurun waktu dua hari setelah menjadi anggota. Menantunya, Muhammad Bobby Afif Nasution menjabat Wali Kota Medan sejak 2021, yang digadang-gadang menjadi calon terkuat Gubernur Sumatera Utara. Jangan lupakan juga Anwar Usman, Ketua MK yang juga merupakan adik ipar dari Joko Widodo. Kesempatan masuknya Gibran masuk ke dalam lingkaran istana otomatis membuat Jokowi mendapatkan ruang kuasa yang semakin luas. Dinasti ini akan mampu menyaingi dinasti Soeharto, yang bahkan anak-anaknya tidak mendapatkan kursi kekuasaan paska Orde Baru.
Hari ini kami mempertanyakan, bagaimana para intelektual dan pembela demokrasi menanggapi peristiwa ini? Kenapa para agent of change bukannya menolak perubahan UU no 7 tahun 2017, namun justru terjebak dalam dinamika politik dinasti tersebut? Kami mempertanyakan komitmen para intelektual dan pembela HAM yang tidak hadir dalam proses politik dan cenderung abai mengambil sikap dalam melawan dinasti politik? Padahal, sikap pasif mereka sebagai barisan terdepan demokrasi akan berkontribusi mencederai demokrasi itu sendiri. Minimnya pembahasan serius di kalangan akademia juga patut dicurigai menjadi dalang diloloskannya gugatan ini. Lingkungan intelektual yang harusnya menjadi mitra kritis pemerintah malah membuat nepotisme merajalela.
Pada akhirnya kami mengamini bahwa kita sendiri yang membiarkan politik dinasti ini lahir. Apakah kita adalah arsitektur dari lahirnya Orde Baru yang baru? Ataukah reformasi kita sedang mati suri?
Sejak 25 tahun Indonesia keluar dari cengkraman Orde Baru, kita mengira telah keluar dari kekangan dinasti politik dan dwifungsi aparat. Namun, sadar atau tidak sadar, hantu-hantu Orde Baru mencoba mempertahankan warisan 32 tahun otoritarian ala Soeharto. Kemenangan hantu-hantu itu menjelma lewat dikabulkannya gugatan dari mahasiswa bernama Almas Tsaqibbirru.
situs mahjong