Film menjadi salah satu media kampanye antikekerasan.
Enam Belas Film Festival Bali yang diselenggarakan YLBHI-LBH Bali bekerja sama dengan Enam Belas Film Festival telah diselenggarakan selama satu minggu di Denpasar dan Badung. Festival ini dibuka pada Sabtu, 2 Desember 2017 lalu oleh Direktur YLBHI-LBH Bali, Dewa Putu Adnyana, S.H., bertempat di Uma Seminyak, Jalan Kayu Cendana Nomor. 1, Oberoi.
Acara dilanjutkan dengan talkshow bersama Ni Kadek Vany Primaliraning, pengacara publik dari YLBHI-LBH Bali serta Oka Negara, seorang dokter sekaligus seksolog. Talkshow ini sendiri berbicara mengenai pentingnya mendorong RUU Penghapusan Kekerasan Seksual di Indonesia.
Selain talkshow acara pembukaan minggu lalu juga diisi oleh hiburan akustik oleh Nindya Nabillah, open mic yang membuka kesempatan bagi siapapun untuk tampil baik itu membaca puisi, bernyanyi, stand up comedy maupun berorasi. Ditutup dengan pemutaran dua film pendek berjudul Angka Jadi Suara karya Dian Septi serta Lanang karya Abe Kusuma.
Seluruh pemutaran Enam Belas Film Festival Bali terbuka untuk umum dan dibuka kesempatan berdonasi. Dimana hasil donasi akan digunakan untuk bantuan hukum bagi perempuan korban kekerasan yang akan disalurkan melalui YLBHI-LBH Bali.
Pemutaran diadakan selama 5 hari, mulai Minggu, 3 Desember 2017 hingga Sabtu, 9 Desember 2017 dengan menggandeng beberapa venue partner mulai dari Cush Cush Gallery, Griya Musik Irama Indah, Taman Baca Kesiman, hingga Uma Seminyak. Deretan film yang diputar selama Festival adalah Tanah Mama, Kisah 3 Titik, Kebaya Pengantin, Pertanyaan Untuk Bapak, Ca Bau Kan, Madame X, On Friday Noon dengan
jumlah penonton mencapai 200 orang.
Pada Minggu malam, 10 Desember 2017 dan bertepatan dengan Hari Hak Asasi Manusia (HAM) Internasional mengambil tempat Cush Cush Gallery, Jalan Teuku Umar Gang Rajawali No. 1 A, Denpasar telah digelar Malam Penutupan Enam Belas Film Festival Bali. Pada penutupan diputar film omnibus berjudul Perempuan Punya Cerita serta puncak acara yaitu produksi kedua belas oleh Teater Kalangan dengan judul Buah Tangan dari Utara.
Buah Tangan dari Utara sendiri bermula dari ketertarikan penggiat Teater Kalangan terhadap ide cerita yang diketengahkan YLBHI-LBH Bali. Ketertarikan tersebut kemudian dilanjutkan dengan studi lapangan di Celukan Bawang bersama-sama YLBHI-LBH Bali. Ditemukan banyak kekerasan yang dapat direspon melalui
penampilan teatrikal terutama mengenai perubahan sosial ekonomi yang saat ini tengah dihadapi masyarakat Celukan Bawang berkaitan dengan dibangunnya infrastruktur Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) berbahan Batu Bara.
Samsul Arifin bagian Sumber Daya Alam, YLBHI-LBH Bali dampak lingkungan di Celukan Bawang bukan hanya persoalan masyarakat di daerah itu saja melainkan berdampak bagi masyarakat di Pulau Bali. Karena hanya dengan satu pembangkit listrik yang sudah berdiri dapat menimbulkan dampak lingkungn ke warga Celukan Bawang seperti sekarang ini, apalagi kedepannya akan dilakukan pembangunan pembangkit listrik tahap kedua dan ketiga.
“Tentu akan menimbulkan dampak lebih besar dan luas baik dampak di udara, darat dan di laut. Termasuk juga dampak sosial dan ekonomi yang pasti akan pertama kali mempengaruhi kelompok rentan, baik itu perempuan, anak-anak, lansia hingga difabel,” tandas Samsul di sesi diskusi usai pementasan bersama Sutradara pementasan Buah Tangan dari Utara, Santiasa Putra. [b]