Belakangan ini, kaum remaja urban Indonesia mulai berbondong-bondong menekuni fotografi analog. Seperti namanya, fotografi analog merupakan teknik fotografi dengan kamera yang dioperasikan secara manual (dikokang). Tren ini kembali muncul karena fotografi analog terkesan menghadirkan nostalgia dengan tone foto jadul yang dihasilkan.
Kamera analog termasuk jenis fotografi dengan teknik manual karena mengandalkan cahaya yang masuk dan ditangkap dengan film yang dikaitkan pada bagian dalam kamera ini. Film adalah sejenis kertas tipis yang peka terhadap cahaya.
Nostalgia dan kecintaan remaja terhadap kamera ini muncul karena berbagai faktor. Pertama karena harga kamera yang cenderung murah dibanding kamera digital. Kedua, hasil foto ala-ala zaman dulu. Ketiga, tantangan saat memotret tanpa bisa melihat hasilnya. Jadi, kita harus menunggu hingga film dicuci (develop) pada lab yang menyediakan jasa cuci film.
Di Indonesia, tren analog dapat ditelusuri melalui akun Instagram @jellyplayground yang sangat progresif dalam merawat dan menumbuhkan kembali kecintaan anak-anak muda terhadap old school photography ini. Tak dapat dipungkiri bahwa media sosial seperti Instagram menjadi perantara bagi tren fotografi analog di Indonesia.
Tren analog juga muncul di Bali dan dapat dilacak dari kolektif yang dibangun oleh The Film Collective Bali di Instagram, misalnya. Kolektif ini hadir seolah menghidupkan dan mengumpulkan lebih banyak orang yang ingin bernostalgia terhadap fotografi analog. Kegiatan yang dilakukan pun bermacam-macam, seperti hunting foto bersama dan pameran foto analog.
Kamera analog yang teknik penggunaannya cenderung manual, justru menjadi budaya populer yang kini mulai digemari remaja urban. Minat remaja pada fotografi analog ini dapat ditelusuri melalui tagar #indo35mm misalnya, atau maraknya online shop yang menjual kamera analog dengan segala aksesoris pendukungnya.
Kamera analog menjadi tren yang secara sadar atau tidak sadar mempengaruhi pencinta fotografi dan publik secara luas.
Munculnya tren kamera analog sebenarnya menjadi udara segar bagi pecinta fotografi. Analog menjadi alternative pilihan bagi orang-orang yang ingin merasakan sensasi memotret tanpa melihat hasil, karena kamera ini berbeda dengan kamera digital yang dapat dihapus apabila jepretan yang dihasilkan tidak sesuai keinginan. Banyak hal dapat dirasakan ketika bersentuhan dengan kamera analog. Salah satu contohnya adalah kita dapat menghargai proses memotret hingga proses mencuci film sampai film berubah menjadi foto dalam bentuk digital maupun cetak.
Jika saat ini analog menjadi tren bagi kaum urban Indonesia, tentu banyak kekurangan dan kelebihan yang ditimbulkan. Kelebihan tersebut dapat dilihat dari munculnya komunitas pecinta analog yang menjadi lebih kuat dan tidak kehilangan peminatnya. Namun, hal ini berbarengan pula dengan meningkatnya permintaan yang membuat harga-harga kamera analog second dan film semakin naik. Meningkatnya permintaan terhadap kamera analog tentu membuat sebagian orang harus merogoh kocek lebih banyak lagi.
Maraknya kecintaan orang-orang pada kamera analog juga menjadi validasi bagaimana budaya populer (pop culture) seperti yang dikatakan Andy Warhol, membuat setiap orang mendapatkan panggungnya dalam beberapa menit. Dalam kasus ini, pernyataan tersebut seolah relevan, karena tren yang berkembang terindikasi untuk populer dan meredup secepat kilat. Pernyataan tersebut membuat saya berpikir bahwa tren analog dapat begitu cepat merebut hati kaum remaja, tetapi juga berpotensi besar untuk dilupakan.
Maraknya kecintaan terhadap kamera analog juga menjadi pembuktian bagaimana sebuah tren sebenarnya beralih dengan sangat cepat. Ini menjelaskan bahwa budaya populer bertumbuh dengan begitu dinamis.
Tren analog sebagai budaya populer tentu tidak dapat dipisahkan dari era yang kita lalui hari ini. Melimpahnya informasi dan media yang mumpuni membuat kita dengan mudahnya mengakses dan menemukan jawaban tentang apa itu fotografi analog, bagaimana cara penggunaannya, atau di mana dapat kita temukan kamera-kamera yang istilah jadul ini. Tingginya permintaan terhadap kamera ini tentu akan meningkatkan produksi barang yang beredar di pasaran. Terlebih lagi tersedianya market place membuat konsumsi terhadap suatu barang menjadi lebih cepat.
Di sinilah menurut saya kapitalisme bekerja, Shoshana Zuboff dalam bukunya The Age of Surveillance Capitalisme menjelaskan bahwa dalam era digital ini data personal menjadi komoditas bagi perusahaan digital raksasa. Mereka melakukan pengawasan dan menganalisis apa saja yang sudah kita klik. Dengan kata lain, mereka mengetahui keinginan kita dengan suatu barang melalui jejak digital kita di sebuah media sosial.
Dalam sistem yang demikian, pengawasan bukan saja dilakukan oleh negara melainkan perusahaan-perusahaan besar yang tumbuh dengan motif ekonomi. Dalam menyikapi tren analog (bahkan tren lainnya) kita mestinya cukup bijak dalam melimitasi keinginan kita agar tidak terjebak dalam euphoria yang sifatnya sementara. Dengan begitu, kita harusnya dapat lebih aware pada sebuah tren di tengah sistem yang kapitalistik.
Tren analog menjadi contoh kecil bagaimana budaya populer dalam sistem kapitalisme dipandang sebagai konsumsi semata, dan penikmatnya adalah konsumen. Sehingga, permintaan yang tinggi terhadap kamera analog akan memunculkan produksi-produksi yang menempatkan manusia sebagai pembeli, tak kurang dan tak lebih. Di mata para kapitalis, konsumsi terhadap suatu hal adalah yang terpenting.
Hal tersebut berlaku pada skala konsumsi yang lebih luas, tren analog hanya menjadi contoh kecil bagaimana kita sebagai konsumen sekaligus pecinta kamera analog mestinya lebih bijak dalam melihat sebuah tren yang sedang berkembang. Sebagai pecinta analog, wajib bagi kita untuk merawat nostalgia yang dimunculkan dari kamera ini. Bijak dalam memaknai tren juga penting untuk menampik pertanyaan klasik seperti; apakah tren ini akan bertahan lama atau malah menciptakan euphoria yang sifatnya sementara. [b]