Oleh Kadek Didi Suprapta
Beberapa waktu yang lalu, warga masyarakat Desa Buahan Kecamatan Kintamani, salah satu desa yang bertetangga dengan desaku mendapatkan penghargaan tertinggi di bidang pelestarian lingkungan hidup, Kalpataru. Antusiasme masyarakat Buahan nampak dari semangat mereka mengarak trofi Kalpataru sepanjang perjalanan dari Bangli menuju Desa Buahan. Kebanggaan terpancar dari wajah-wajah polos mereka. Guratan-guratan ketuaan di wajah bapak-bapak itu laksana lenyap tatkala mereka merasakan kegembiraan dan kebanggan mengarak trofi Kalpataru itu.
Wajarlah jika mereka berbangga diri. Penghargaan itu diserahkan langsung oleh Presiden SBY kepada salah seorang perwakilan warga Buahan. Dan, prestasi itu merupakan prestasi yang jarang bisa didapatkan oleh sebuah kelompok masyarakat. Mereka dianggap mampu melestarikan hutan lindung yang berada di sekeliling desa Buahan.
Desa Buahan merupakan salah satu desa yang masuk ke dalam wilayah Bintang Danu Berada di antara Desa Kedisan dan Abang. Berada di sebelah selatan Danau Batur, di bawah tebing pinggiran kaldera Batur sebelah selatan. Tebing ini ditumbuhi beraneka jenis tanaman tropis yang cukup lebat. Mungkin karena mampu mempertahankan kelestarian hutan lindung di sebelah selatan dan barat desa inilah yang akhirnya mengantarkan masyarakat Desa Buahan mendapatkan penghargaan ini.
Jika Desa Buahan mampu membuat saya ikut merasa bangga sebagai warga Kintamani, tidak demikian halnya dengan Desa-desa lain yang juga masuk kawasan Bintang Danu. Di Batur misalnya, daerah sekitar Pura Jati yang harusnya menjadi bagian dari hutan lindung Gunung Batur kini bopeng, karena maraknya galian C dan banyaknya bangunan darurat yang dibuat masyarakat disana guna keperluan menginap hanya untuk beberapa hari ketika ada piodalan di Pura Jati.
Demikian pula di Songan, tidak jauh berbeda. Di Banjar Tabu, sebuah sekolah hampir nyemplung ke dasar tanah. Pinggiran sekolah sudah dikeruk habis oleh masyarakat untuk digali pasirnya. Akibatnya, sebuah sekolah menjadi korban. Toh masyarakat cuek saja. Asal masih bisa gali pasir, dan menghasilkan uang, peduli amat. Sekolah urusan pemerintah. Begitu sering saya dengar… Menyedihkan.
Di Trunyan, sama saja. Hutan di areal Gunung Abang tiap tahun terbakar. Entah kebakaran itu disengaja, atau tidak. Yang jelas kebakaran itu bukan saja menimbulkan dampak bagi kawasan Gunung Abang saja, tapi meluas sampai ke daerah-daerah sekitarnya.
Sebagian besar memang alam Kintamani, yang konon dulu merupakan kawasan wisata kaldera terindah di dunia sudah dikorbankan untuk keserakahan manusia. Semuanya memang atas nama materi. Ketika perut sudah menununtut isi, siapa yang akan peduli terhadap masalah yang akan timbul 50 tahun lagi?
Kebijakan pemerintah terkadang terasa aneh. Ketika alam sudah rusak parah, yang terjadi bukannya reboisasi atau upaya pembenahan, malah di sekitar Pura Jati, tanah hutan terkesan dibagi-bagi. Hutan yang harusnya menjadi penyangga kelestarian ekosistem kini beralih fungsi mnenjadi lahan pertanian.
Setiap kali pulang kampung, saya melihat semakin berkurang pohon-pohon tinggi itu, karang-karang sisa letusan itu yang dulu menjulang memberi pemandangan yang khas daerah pegunungan kini telah menjadi bagian dari tembok-tembok rumah.
Apakah ketika nanti saya punya anak dan saya ajak pulang ke Kintamani, akankah masih mendapatkan pemandangan yang indah itu?
Kalpataru, semoga bukan cuma penghargaan dan trofi cantik. Kintamani perlu perubahan.