Teks Rofiqi Hasan, Foto Anton Muhajir
Beratnya beban kerja jurnalis tak sepadan dengan gaji di bawah standar upah minimum.
Menjelang tutup tahun 2010, rendahnya upah dan kesejahteraan jurnalis masih menjadi catatan Aliansi Jurnalis Independen (AJI). Berdasarkan survei AJI Indonesia terhadap 192 jurnalis dari 48 media di tujuh kota—Jakarta, Banda Aceh, Medan, Lampung, Bandung, Solo, dan Palu—Maret lalu, masih ditemukan jurnalis yang digaji di bawah standar Upah Minimum Kota/Kabupaten (UMK).
Survei di Bali dilakukan terhadap 10 media lokal di Bali, cetak, televisi maupun online. Masing-masing media melibatkan dua orang dengan status karyawan tetap dan kontrak. 10 media lokal itu diantaranya Radar Bali, Bali Post, Nusa Bali, Warta Bali, Fajar Bali, Global FM, Dewata TV, Bali TV, BeritaBali.Com, dan JurnalBali.Com.
Dari survei upah layak jurnalis 2011 ini dapat diperoleh gambaran besaran upah layak berdasarkan versi Dewan Pengupahan, gaji jurnalis yang dibayarkan oleh pemilik media, dan besaran upah layak berdasarkan versi AJI Denpasar. Ada enam kesimpulan yang didapat.
Pertama, upah layak berdasarkan Dewan Pengupahan pada 2010 adalah Rp 829.500, sementara pada 2011 adalah Rp 893.000.
Kedua, gaji (take home pay) para jurnalis media lokal Bali didapat angka yang bervariasi. Itu tergantung di mana para pekerja jurnalis bekerja. Untuk media lokal Bali, jumlahnya bervariasi antara Rp 1-2 juta. Pada beberapa media, nilainya bahkan di bawah Rp 1 juta. Semisal pada kasus media online media BeritaBali.Com yang rata-rata perbulan hanya mendapat upah Rp 450 – 800 ribu.
Ada juga bebeberapa media yang tidak menyebutkan nilai gaji yang diperoleh dengan berbagai alasan.
Ketiga, gaji (take home pay) Rp 1-2 juta adalah gaji di luar asuransi, tunjangan prestasi dan bonus tahunan. Hanya saja, pada beberapa media, gaji yang mereka peroleh adalah gaji murni. Artinya, dalam setahun bekerja mereka hanya mendapatkan gaji pokok. Sementara asuransi, tunjangan dan bonus tahunan yang seharusnya mereka peroleh berdasarkan UU Tenaga Kerja, tidak mereka dapatkan.
Keempat, selain tidak mendapatkan tunjangan dan bonus, ada juga beberapa jurnalis dari media tertentu yang tidak mendapatkan pelatihan secara regular untuk meningkatkan kemampuan jurnalistiknya. Juga ada yang tidak mendapatkan hak cuti 12 hari dalam setahun sebagaimana amanat UU Tenaga Kerja.
Kelima, berdasarkan survei upah layak jurnalis 2011 diperoleh angka Rp 3.894.583. Nilai ini diperoleh dari hasil survei di tiga lokasi berbeda. Yakni di Pasar Kumbasari, Robinson Mall dan Tiara Dewata.
Keenam, berdasarkan hasil survei upah layak bila dibandingkan dengan besaran gaji yang didapat para jurnalis, diperoleh angka yang njomplang. Karenanya perlu ada langkah bersama untuk mendesak pemilik media memenuhi hak para jurnalis mendapatkan kesejahteraannya.
Dalam survei tersebut sebenarnya juga ditemukan ada media yang bisa memberikan upah layak kepada jurnalisnya. Namun, faktanya terdapat media yang hanya memberikan upah secara pas-pasan bahkan di bawah UMK. Hal ini tentu sangat memprihatinkan.
Upah dan kesejahteraan yang rendah dikhawatirkan bisa membuat jurnalis menjadi pragmatis, rentan terhadap suap, dan tidak independen terhadap kekuatan di luar profesinya. Dengan kata lain, dapat disimpulkan: semakin rendah upah, semakin besar toleransi jurnalis terhadap amplop.
Bagi AJI, menghitung standar upah jurnalis menggunakan UMK, seperti ditetapkan Dewan Pers, jelas tidak memadai. Sebab, standar UMK sangat jauh untuk mememenuhi kebutuhan minimal orang yang bekerja sebagai jurnalis. Inilah yang membuat AJI mendorong adanya standar yang berbeda dalam pengupahan jurnalis. Argumentasi untuk menetapkan standar tersendiri ini cukup rasional, yakni besarnya tanggung jawab dari profesi ini.
Pasal 10 UU Pers memberi mandat kepada segenap perusahaan media untuk meningkatkan kesejahteraan pekerjanya. Bentuk kesejahteraan itu bisa berupa kepemilikan saham, kenaikan gaji, bonus, serta asuransi yang layak. Pendek kata, menuntut kebebasan pers tanpa menyertakan kesejahteraan jurnalisnya, sama halnya dengan mereduksi UU Pers itu sendiri.
Karena itulah sejak 2007, AJI mendorong adanya standar upah layak untuk jurnalis. Kampanye ini awalnya dimulai dari Jakarta. Pada saat itu, upah layak yang disodorkan AJI Jakarta adalah Rp 3,1 juta. Tahun 2008, AJI Indonesia mendorong AJI-AJI Kota menghitung standar upah layak di berbagai kota. [b]