Teks Luh De Suriyani, Ilustrasi Internet
Sekitar 1000 anak dan remaja longmarch keliling Desa Tegalalang mengusir roh-roh jahat ala Halloween.
Ribuan warga Tegalalang, sekitar 8 kilometer arah Utara Ubud ini menyaksikan parade ribuan setan kecil yang berjalan kaki mengelilingi 7 banjar di desa ini. Ada yang bertanduk, membebat wajah dengan perban, dan wajah-wajah seram lainnya. Berbagai imajinasi tentang mahluk gaib dan kekuatan jahat.
Sebagian menggunakan parade ini sebagai panggung fashion. Mereka mengecat wajah dengan cat air, menggunakan beragama aksesoris, dan mengenakan aneka jenis pakaian vintage.
Tiap peserta membawa penjor, sebilah tongkat dari bamboo atau dahan pohon salak yang dihias dengan janur. Penjor ini berfungsi seperti senjata yang kadang dibunyikan dengan memukulkan satu sama lain. Desa ini dibuat riuh dan macet sekitar 3 jam. Mereka ngrebeg desa.
Orang dewasa dan turis melihat dari pinggir jalan dengan antusias. Karena jarak parade yang cukup jauh, sedikitnya 10 kilometer mengelilingi desa, warga memberikan minuman atau permen pada rombongan Gerebeg Tegalalang ini.
Di tiga pura yang dilalui sepanjang jalan, sejumlah peserta bersembahyang untuk minta ijin dan keselamatan. “Ini yang paling saya tunggu. Bisa bikin hiasan apa saja dan rame-rame,” seru I putu Ambara, anak laki-laki 10 tahun.
Ambara dan lima temannya kompak menganakan baju bekas sekolah yang dicorat-coret, dipadu kamen, dan wajah yang ditempelkan kapas dengan noda darah. Menceritakan kebiasaan anak sekolah yang suka ngebut dan tabrakan. Mungkin itulah salah satu personifikasi hal jahat yang ada di benak mereka.
“Dulu, waktu saya kecil, kami menghias diri seperti tonya atau jin desa. Wajah dicat arang dan pake daun-daunan,” kata I Made Windia, 32 tahun, mengingat masa lalu. Menurutnya symbol-simbol setan seperti itu mungkin tak dikenal lagi oleh anak-anak sekarang.
Demikian juga lagu-lagu yang didendangkan saat parade. Beberapa orang tua yang menonton tertawa mendengar lagu pop berbahasa Bali dengan lirik lagu cewek kafe yang dinyanyikan peserta parade. “Dulu lagunya “ngayahin pura duur bingin” (melayani Pura Duur Bingin),” sahut seorang nenek menyebut nama pura yang menjadi pusat piodalan ini.
Anak perempuan yang mengikuti parade ini bisa dihitung dengan jari, padahal tak ada larangan. Menurut warga hanya soal kebiasaan, jika Ngrebeg biasa diikuti anak lelaki.
Dalam catatan sejarah Ngrebeg Tegalalang yang disimpan pengurus desa, tertulis jika ritual ini adalah bagian dari upacara besar enam bulan sekali. Piodalan di Pura Duur Bingin. Alkisah ketika desa di bawah Kerajaan Sukawati, seorang tokoh masyarakat Dalem Made Tjokorda Ketut Segara kaul atau berjanji untuk ngrebeg desa agar terhindar dari kemurkaan alam.
Masyarakat sekitar percaya ada 288 jenis jin atau wong samar di desa yang mukim di sejumlah sungai seperti Tukad Petulu dan aliran Sungai Empul. Karena itu, tiap piodalan, desa mempersembahkan 288 jenis segehan atau banten nasi.
“Wong samar tak diusir tapi agar tak mengganggu warga desa. Agar kita bisa hidup harmonis,” ujar I Wayan Karsa, Kelian Dinas Banjar Tengah, yang menjadi tuan ruah piodalan ini. Piodalan di Pura Duur Bingin ini dilaksanakan oleh warga lima banjar di Tegalalang. Lainnya Banjar Triwangsa, Tegal, Panusuan, dan Tegalalang.
Karsa juga berharap, desa terhindar dari bencana alam. Tegalalang, sebagai kawasan penangkap air untuk Ubud dan sekitarnya kini berisiko longsor dan banjir. Pohon besar dan terasering sawah yang indah makin jauh berkurang.
Pada saat curah hujan sangat tinggi, beberapa kali kawasan Tegalalang ini banjir kecil, walau kontur jalan menurun ke arah pusat Ubud. Saluran air yang kecil dan jalan yg penuh sesak dengan bangunan tak kuat menampung debit air. [b]
Ilustrasi dari sini. Tulisan ini dibuat dengan dukungan Hotelku.
endi kamare brow