Melawat ke Desa Tuban, banyak sekali tempat terkenal.
Misalnya Bandara Internasional Ngurah Rai yang telah lama berdiri di sana yang menjadikan nama Tuban lebih eksis di telinga. Saat ini juga telah hadir jalan tol pertama di Bali.
Namun, hadirnya kedua fasilitas umum itu, ternyata tidak selamanya berdampak positif bagi masyarakat Desa Tuban, terutama sejak dibangunnya jalan tol. Dari zaman dahulu masyarakat Desa Tuban menyama braya dengan laut dengan menjadikan laut sebagai tulang punggung kehidupannya.
Awalnya masyarakat mencari batu kapur di dasar laut untuk dikumpulkan dan kemudian dijual. Profesi itu lambat laun berubah, kegiatan mengumpulkan batu kapur mulai berangsur-angsur ditinggalkan. Masyarakat mulai mencari ikan. Dengan menggunakan perahu, kegiatan mencari ikan tersebut mereka lakukan bisa sampai ke Selat Badung.
Pada tahun 1991 masyarakat Desa Tuban, Kecamatan Kuta, Badung terbagi dalam beberapa sekaa nelayan atau yang lebih dikenal dengan sebutan Bendega. Artinya seseorang ataupun kelompok yang mengais rezeki di laut.
Kemudian pada 2009 kelompok-kelompok sekaa nelayan tersebut dibuat kedalam satu kelompok nelayan menjadi kelompok nelayan Wanasari.
Kata Wanasari sendiri terbagi menjadi dua suku kata yaitu ‘Wana’ berarti hutan dan Saru yang berarti sumber kehidupan. Hutan yang dimaksud adalah hutan mangrove, ciri khas serta kebanggaan tersendiri bagi masyarakat Desa Tuban.
Jadi Wanasari sendiri berarti masyarakat yang memanfaatkan ekosistem hutan mangrove di laut sebagai sumber kehidupannya.
Jalan Tol
Perjalanan kelompok nelayan Wanasari ternyata tidak selamanya berjalan dengan seperti apa yang mereka harapkan. Di tahun 2011 mereka sempat mengalami penipuan. Bukan hanya itu, hadirnya jalan tol menyebabkan berkurangnya habitat dan populasi biota laut.
Akhirnya kehidupan masyarakat yang mengais rezeki di laut menjadi terhambat. Pada 2013, hutan mangrove dibabat. Proses pembabatan hutan tersebut dilakukan tanpa sosialisasi kepada nelayan. Akhirnya pada Maret 2013, secara keseluruhan masyarakat Desa Tuban tidak dapat melaut.
“Menangis rasanya”, tutur Made Sumasa selaku ketua kelompok nelayan Wanasari.
Made Sumasa menuturkan, berdirinya jalan tol yang memasang banyak beton di laut menyebabkan alur jalan ke laut menjadi terputus. “Jadinya perahu para nelayalan tidak bisa lewat.” terangnya.
Tidak bisanya melaut bukan berarti kelompok nelayan Wanasari berdiam diri. Mereka menuntut kompensasi kepada pihak pengelola sebesar Rp 1,6 miliar. Namun usaha mereka tidak menemui titik terang. Akhirnya, Made Sumasa bersama para nelayan menuntut agar para nelayan tidak menganggur.
Hasilnya dibuatlah kesepakan, selama proses membangun jalan tol, untuk keperluan membawa alat-alat bangunan digunakan perahu nelayan yang disewa sebesar Rp 300.000 per hari.
Saking banyaknya nelayan di Desa Tuban, ternyata proses tersebut tidak bisa seperti yang mereka inginkan. Dengan sistem sewa seperti itu, nelayan harus mengantre untuk mendapatkan giliran. “Jadi tidak bisa semua nelayan yang dapat berpenghasilan setiap hari,”lanjutnya.
Dengan begitu nelayan kembali menuntut agar jarak beton penujang jalan diperlebar agar perahu nelayan bisa lewat dan aliran jalan ke laut tidak terputus. Pihak nelayan sendiri mengajukan agar jarak per beton adalah 10 meter, namun yang terpenuhi hanya 7 meter.
Inovasi
Dengan terpenuhinya pelebaran jarak beton, nelayan Wanasari kembali dapat melaut. Meski demikian, para nelayan harus memperkecil perahunya karena sebelumnya berukuran sekitar 9 meter. Mereka mengubahnya menjadi 6 meter agar dapat melewati sela-sela beton yang tertancap di laut.
Namun di balik kembalinya ke laut, keselamatan para nelayan sangat diperhitungkan. Pasalnya setelah kapal-kapal diperkecil, kapal mejadi goyah karena tidak sesuai dengan ukuran. “Ternyata ukurannya sudah sangat ditentukan oleh para nenek moyang kami dulu,” jelas Made Sumasa.
Dari sana, para nelayan sempat terpuruk. Namun Made Sumasa senantiasa berfikir positif atas hadirnya jalan tol. “Di samping itu Tuban belum ada daerah pariwisatanya untuk tempat wisatawan berkumpul,” jelasnya.
Maka timbul inovasi dengan memulai usaha pembibitan kepiting bakau yang bibitnya didatangkan dari luar seperti Sulawesi dan Irian, serta terdapat pula wisata kuliner. Satu kandang kepiting yang ukurannya 1 are, kelompok bisa menghabiskan modal sebesar Rp 38 juta.
“Usaha kami sudah sampai 55 persen” terang salah seorang anggota nelayan.
Dia juga memaparkan bahwa usaha yang dijalani oleh kelompok nelayan ini tidak terlepas dari konsep Tri Hita Karana. Di mana hubungan manusia dengan Tuhan, hubungan manusia dengan manusia serta hubungan manusia dengan alam dijaga dengan baik. “Terlebih terhadap alam, perkembangan yang semakin pesat kesadaran lingkungan hidup semakin berkurang,” terang anggota kelompok lainnya.
Kini tempat usaha mereka bernama Kampung Kepiting yang berada disebelah jalan tol.
Ditanya soal jumlah anggota nelayan, Made Sumasa menjawab bahwa anggota nelayan saat ini ada sebanyak 95 orang. Jumlah tersebut telah meningkat dari dulu yang awalnya berjumlah 80 orang. Dan ke depannya kelompok nelayan ini juga akan mengembangkan budi daya ikan yang ditempatkan di bawah jalan tol. (Sui)