Talkshow inovasi teknologi rendah karbon dan kewirausahaan hijau di wantilan Muntig Siokan. Foto oleh: Dewa Kresnanta
Jumlah kendaraan di Bali saat ini sudah tidak terbendung. Sebagai masyarakat Bali, kita dapat merasakan kemacetan di setiap titik. Contohnya ketika saya pulang dari Ubud ke Denpasar pada sore hari, kemacetan tidak ada hentinya sepanjang jalan. Dari Desa Peliatan hingga Renon membutuhkan waktu lebih dari satu jam. Hal ini menunjukkan bahwa kendaraan di Bali sudah tidak terbendung jumlahnya, terutama kendaraan pribadi. Ada contoh lain yang saya temukan ketika melintasi Pusat Pemerintahan Kabupaten Badung. Saya dengan jelas melihat lalu lalang satu pegawai pemerintahan yang mengendarai satu mobil. Dalam artian, satu orang satu mobil. Satu mobil yang dapat diisi empat hingga enam orang hanya diisi satu orang.
Fenomena lonjakan kendaraan di Bali tidak kunjung menemui jalan keluar. Hal ini kemudian berdampak pada jumlah emisi karbon di Bali dan kemudian menimbulkan efek domino terhadap kondisi iklim. Sektor transportasi bukan satu-satunya penghasil emisi karbon terbesar, tetapi ada pula sektor energi yang menjadi penyumbang emisi terbesar.
Dampak dari emisi karbon ini secara perlahan sudah kita rasakan dan dampaknya akan semakin membesar dirasakan oleh generasi ke depan. Koalisi Bali Energi Nol Bersih yang didukung oleh World Resources Institute (WRI) Indonesia, Institute Essential Services for Reform (IESR), New Energy Nexus, dan Cast Foundation, berupaya untuk mengurangi emisi karbon dan menciptakan lingkungan yang lebih bersih dan sehat menuju net zero emission (NZE). Zero emission artinya beraksi menyerap kembali emisi yang kita hasilkan. Contohnya ketika kita menghasilkan emisi dari kendaraan bermotor, kita berupaya untuk menyerap emisi yang kita hasilkan dengan menanam pohon atau mengurangi konsumsi energi.
Saat ini, banyak inisiatif yang telah dilakukan oleh komunitas lokal dalam mendukung agenda NZE. Pada Rabu, 18 September 2024, beberapa komunitas lokal tersebut berdiskusi dan menyampaikan inovasi serta keresahan mereka di Muntig Siokan dalam acara Kolaborasi Bali untuk Iklim. Dalam diskusi dengan tema Inovasi Teknologi Rendah Karbon dan Kewirausahaan Hijau, hadir empat Green Entrepreneurship yang menjawab pertanyaan masyarakat, yaitu FabLab, BioSolar Farm, Griya Luhu, dan Biorock Indonesia. Secara garis besar, diskusi ini membahas mengenai teknologi rendah karbon, pendekatan ke masyarakat, dan berbagai tantangan yang dihadapi keempat wirausaha tersebut.
Teknologi untuk pesisir
Inovasi teknologi tepat guna berupa 3D printer dan diorama banjar oleh FabLab. Foto oleh: Dewa Kresananta
FabLab oleh Cast Foundation merupakan Fabrikasi Laboratorium, ruang kreatif yang dilengkapi berbagai macam peralatan digital untuk merancang dan membuat prototipe. Solusi yang ditawarkan oleh FabLab adalah teknologi yang bermakna dan tepat guna. Salah satu proyek inovasi FabLab adalah Desa Hidrogen Hijau yang diinisiasi untuk komunitas pesisir. “Jadi dengan teknologi ini kita mengambil sumber air. Kemudian struktur H2O dari air itu bisa kita pecah dengan sistem elektrolisis, kemudian dipecah menjadi gas hidrogen dan oksigen, sehingga gas hidrogen tersebut dapat dimanfaatkan menjadi energi baru,” ungkap Tafia Sabila dari FabLab.
Teknologi yang diusung oleh FabLab dilihat dari potensi Indonesia sebagai negara maritim yang dikelilingi oleh lautan. Teknologi tepat guna untuk pesisir juga dilakukan oleh Biorock Indonesia. Biorock merupakan struktur buatan yang menggunakan arus listrik untuk mempercepat pertumbuhan karang dan organisme laut.
Cara kerja biorock adalah mengalirkan arus listrik ke air laut, sehingga terjadi reaksi di air laut. Reaksi yang terjadi di laut menghasilkan tegangan rendah yang berhasil menarik kalsium dari air laut. “Dia menarik karbondioksida di air laut. Kita membantu seluruh makhluk hidup yang ada di laut, terutama yang bercangkang,” ungkap Prawita Tasya Karissa dari Biorock Indonesia.
Pendekatan berbeda setiap daerah
Salah satu masalah yang digarisbawahi dalam diskusi yang dilaksanakan di Muntig Siokan tersebut adalah kesalahan pemerintah dalam pendekatan ke masyarakat. Selama ini, pemerintah memberlakukan satu regulasi dan satu program untuk semua lapisan masyarakat, baik masyarakat perkotaan maupun pedesaan. Padahal, dilihat sekilas pun kita dapat mengetahui bahwa perkotaan dan pedesaan memiliki masalah yang berbeda.
Pentingnya pendekatan yang berbeda pada setiap lapisan masyarakat diungkapkan oleh Tasya. Ketika mendengar konsep yang dibawa oleh biorock, masyarakat banyak yang tertarik dan menganggap teknologi ini keren. Namun, semangat untuk merawatnya seringkali hilang seiring berjalannya waktu. “Dari sekian puluh yang meminta biorock dipasang, tinggal 16 titik yang kelihatan. Artinya teknologi tidak langsung ces pleng, tergantung siapa yang pakai,” jelas Tasya.
Pendekatan yang berbeda ini juga berlaku dalam hal pengolahan sampah. Selama ini pemerintah selalu merencanakan pemilahan sampah, tetapi tidak ada pendekatan yang tepat ke masyarakat. Setiap daerah memiliki keresahan dan potensi yang berbeda-beda. Hal ini diungkapkan oleh Alfina Febrilia dari Griya Luhu. Ia menyampaikan pengalamannya ketika melakukan pendekatan ke setiap desa. “Kalau di Bali, di Gianyar khususnya. Di Gianyar masih banyak lahan, biasanya sampah itu mereka kelola sendiri. Nah, kadang TPS3R-nya nganggur dan mesin pencacah sampahnya nganggur,” ungkapnya.
Tenaga kerja pengolah sampah tidak sejahtera
Rendahnya kesejahteraan tenaga kerja pengolahan sampah juga menjadi masalah utama di Bali. Selama ini, pemerintah dan masyarakat pelaku pengolahan sampah sebagai tenaga kerja yang ada di bawah. Hal ini disampaikan oleh I Gusti Muryayasa dari BioSolar Farm. “Ketika orang pintar yang menulis proposal digaji Rp2 juta, sedangkan yang mengambil sampah hanya Rp50 ribu per hari. Itu bisnis yang tidak normal dan akan berdampak besar,” ungkapnya.
Ketidaksejahteraan tenaga kerja pengolahan sampah juga disampaikan oleh Alfina Febrilia dari Griya Luhu. “Seringkali tim pengangkut nyampur sampah gitu, dari regulasi tidak jelas dan pengelola sampah tidak sejahtera. Jadi jangan salahkan petugasnya kenapa mereka nggak ngangkut sampah, mungkin aja mereka nggak dibayar tiga bulan,” ungkap Alfina.
Inovasi dan keresahan yang disampaikan oleh keempat pembicara tersebut perlu mendapatkan dukungan dari berbagai pihak, baik itu dari masyarakat, pemerintah, hingga stakeholder terkait. Dengan adanya dukungan dari berbagai pihak, Bali net zero emission tidak hanya menjadi mimpi belaka, tetapi dapat menjadi kenyataan.