Penulis Tabitha Angelica dan Putri Santiadi
BaleBengong kembali menggelar Anugerah Jurnalisme Warga (AJW) 2023 yang mengusung tema Duang Dasa Pulau Dewata. Malam Puncak AJW 2023 akan diselenggarakan pada Sabtu, 24 Juni 2023 di Taman Baca Ubud. Anugerah Jurnalisme Warga (AJW) 2023 mengundang seluruh warga Indonesia untuk menyampaikan opini tentang lingkungan, kebudayaan, dan perekonomian yang ada di Bali. Melalui ajang ini, BaleBengong hendak membuat langkah awal untuk mengkritisi dan menajamkan potensi pulau dewata, khususnya dari anak-anak muda.
AJW merupakan kegiatan tahunan BaleBengong sejak 2016 untuk memberikan penghargaan kepada karya-karya pewarta warga dalam bentuk kompetensi ataupun beasiswa liputan. Dari tahun ke tahun, tim BaleBengong memikirkan kasus atau permasalahan yang sangat krusial namun tidak mendapat penanganan khusus dari masyarakat maupun pemerintah. Nah, tema kali diharapkan membawa perubahan yang baik terhadap Bali, dua puluh tahun ke depan.
Tema ini bukan sekedar tulisan saja, tapi memiliki makna yang besar bahwa menggali dari akarnya. Terlihat pada bagian ilustrasi yang terpampang disetiap feed instagram BaleBengong, terdapat gambar seseorang yang sedang tertidur di atas batu, air, dan tanah.
Gambar ini memperlihatkan ketenangan seseorang ketika berada di alam bebas dengan keindahan yang terjaga. Diberi warna hijau pada tubuh orang tersebut menjadi ciri khas kesejukan dengan perpaduan warna biru sebagai air, kuning sebagai batu, serta warna merah dan merah muda menggambarkan titik kerusakan. Pembuat ilustrator ini merangkai makna dalam sebuah gambar yang menarik dan unik, ia bernama Jovita Chiara.
Jovita Chiara adalah seorang arsitek yang sudah menetap di Bali sejak 2015. Dia dipilih sebagai ilustrator dalam kegiatan AJW 2023 karena karyanya yang berkarakter dan memiliki ciri khas tersendiri. Jovita memberikan dua ilustrasi kepada pihak Bale Bengong, dengan perwujudan dan makna yang berbeda. Dia mengaku bahwa ilustrasi ini dasarnya merespon tema AJW
“Respon dari tema AJW, keluar bentuk itu memang ngalir aja gitu. Bener-bener terkonsep dipikiranku. Pas aku menggambar itu, terbayang bentuk itu. Tapi pada dasarnya merespon tema AJW.” katanya saat diwawancarai.
Terlihat sederhana, Jovita hanya mengandalkan apa yang telah dilihat dan dipikirkan menjadi sebuah karya. Tidak ada alasan khusus baginya untuk menggambar dan tidak memberikan judul khusus terhadap karya-karyanya. Jovita membuat karya karena dasarnya senang. Dia tidak memikirkan timbal balik dari karya tersebut, semua itu hanya hasil kepenatan dari rutinitasnya sehari-hari. Kemudian, menemukan sesuatu yang menarik, hingga menghasilkan sebuah karya yang tak banyak orang tahu maksud di dalamnya.
Kebebasan dan keberanian untuk memikirkan sesuatu yang tidak pernah terpikirkan oleh kebanyakan orang membuat koordinator AJW, yaitu Iin Valentine tertarik mengajak Jovita untuk berkolaborasi dengan BaleBengong sebagai ilustrator AJW 2023.
“Menarik banget nuansa dan gores-goresan tangannya seperti anak kecil,” ucapnya di sela mewawancarai Jovita.
Di balik semua itu, ada cerita mengenai ilustrasi AJW 2023. Jovita mengatakan, “sebenarnya dua orang itu menggambarkan kita, human assets gitu, yang satunya itu menggambarkan serakah, gak berhenti dia mengambil apa yang ada disekitarnya, dan yang satu berusaha. Jadi, aku memposisikan gambar itu kayak seimbang, gak ada yang sepenuhnya hitam dan sepenuhnya putih gitu. Jadi kita semua hitam dan putihnya gitu.”
Semua berasal dari manusia dan kembali kepada manusia, bahwa gambar-gambar tersebut hasil pemikirannya ketika melihat hal-hal menarik seusai pulang kantor. Ketika melihat sesuatu, ia berpikir semua itu bagus untuk dijadikan karya. Bukan membuat karya karena ada keinginan dari penggemar atau adanya target.
“Aku mencoba apapun yang aku buat meskipun hasilnya jelek ataupun bagus itu bagian dari prosesnya. Aku gak mau apa yang aku buat untuk karena orang expect sesuatu,” urainya. Terlihat pada ilustrasi nenek-nenek yang menarik perhatian tim BaleBengong, itu berasal dari pengalaman dan keinginan Jovita Chiara.
“Itu aku pulang dari kantor. Trus ngelewatin salah satu jalan rumput tu kan. Trus ada memang nenek-nenek itu lagi duduk gitu, tapi sungainya itu kayak sungai kotor, neneknya itu rambutnya panjang banget. Trus aku kepikiran ih lucu deh, misalnya dia menggendong cucu atau siapapun itu yang umurnya jauh di bawah dia. Itu kayak ih kapan lagi, sampai kapan ya cucunya atau siapapun itu bisa menikmati apa yang dinikmati neneknya ini,” katanya.
Selain membuat karya dari hasil melihat lingkungan sekitar, ternyata Jovita Chiara memiliki kisah dalam setiap karyanya. Jovita merupakan kaum minoritas secara etnis. Dia mengaku memiliki ketakutan yang besar akan keberadaannya, ketakutan tidak diterima, dan ketakutan-ketakutan itu membawanya pada ilustrasi-ilustrasi yang telah dibuat. Karakter-karakter minoritas itu dituangkan dan menjadi cerminan dirinya sendiri. Maka, alam menjadi hal menarik karena ini merupakan salah satu ruang yang membuatnya merasa diterima.
Kembali lagi, ilustrasi itu tidak lepas dari tema AJW sehingga Jovita merasa pekerjaannya saat ini berpotensi memberi dampak yang besar untuk Bali. Dua tahun ke depan, dia merasa akan profesinya akan berpengaruh.
“Satu hal yang berkaitan dengan pekerjaan aku, aku bidangnya arsitektur. Yang akun konsen sekarang, mungkin karena banyak profesi ya. Banyak nih orang setiap angkatan yang dicetak sebagai arsitek, bahkan yang bukan background arsitek mereka bisa jadi arsitek sekarang. Mereka gak dituntut lagi untuk kayak melewati perkuliahan, atau apa. Pokoknya mereka bisa, ya udah mereka jadi profesi itu. Semakin banyak profesi itu kan banyak yang semakin kayak apa ya bilangnya ya gak semua sih bakal merusak, ada juga yang kayak memikirkan banyak hal kalau semisal mereka mendesain. Tapi banyak orang yang penting aku dapet cuan gitu loh, nah disisi lain ya udahlah yang penting jadi, ke depannya mereka gak mikirin. Itu sih yang agak kontradiktif mau ngerjain sesuatu,” paparnya.
Dilema yang dirasakan Jovita ketika ditanya soal perubahan Bali dua puluh tahun ke depan. Menurutnya banyak orang-orang yang berprofesi sama tetapi memiliki perspektif yang beda, bisa menghancurkan dan memperbaiki. Dalam pemikirannya bahwa Bali yang ideal tidak ada yang hitam semua dan putih semua, yang ideal itu adanya hitam dan putih. Tak hanya pintar menggambar, dia juga memiliki pemikiran yang realistis.
Semakin masif pembangunan di Bali tentunya semakin membuat kekhawatiran akan dampak yang akan terjadi pada Bali ke depannya. “Banyak yang bekerja hanya ingin cuan tapi, tidak memikirkan kedepannya seperti apa. Kalau aku sih berusaha untuk meminimalisir kerusakan yang terjadi,” lanjut Jovita ketika menjelaskan perspektifnya terhadap pembangunan Bali.
Hal yang perlu diperhatikan ketika maraknya pembangunan di Bali tidak luput dari regulasi atau aturan yang ada. Jovita merasa kalau dirinya adalah “orang terpilih” untuk bisa lebih peduli terhadap dampak dari proyek yang Ia kerjakan “Sebenarnya regulasi itu sudah ada. Bagaimana cara membangun di pesisir pantai tapi, balik lagi, yang menjawab bukan itu. Kadang sebesar apa kuasa orang tersebut terhadap pembangunan.”
Sebagai orang yang telah tinggal di Bali selama 7 tahun, Jovita merasa hal yang perlu diperbaiki dan dikembangkan di Bali adalah akses air. Masih banyak keinginan Jovita untuk mengeksplorasi berbagai media. Yang awalnya berbasis digital hingga oil pastel yang Ia gunakan pada ilustrasi AJW 2023 sehingga, menimbulkan goresan-goresan yang memiliki tekstur tersendiri. Karya Jovita selanjutnya pastinya akan ditunggu oleh kawan-kawan BaleBengong ya.