Kasus kekerasan yang menimpa Arya Wedakarna viral di media sosial.
Saya lihat di Instagram, awalnya peristiwa bermula ketika massa aksi berhadapan dengan Arya Wedakarna (AWK) di Kantor DPD Bali pada Rabu, 28 Oktober 2020. Dugaan saya, aksi ini disulut ucapan sang senator yang menyinggung sebagian Umat Hindu di Bali karena soal cara sembahyang dan tujuannya.
Saat berhadapan ini, ada tangan yang mengemplang kepala sang raja. Aduh,,,! Kejadian ini pun bermuara laporan ke polisi.
Entah apakah ini jadi panggung baru buat beliau, atau akan jadi seperti apa? Setahu saya masih ada persoal yang menyerempet AWK, kalau tidak salah kasus penganiayaan. Apakah ini sudah tuntas, saya juga tidak tahu.
Mengutip penulis Made Supriatma di Tirto.id, menyebutkan AWK adalah politisi lihai. Terutama memainkan media sosial. Saya perhatikan memang begitu. Postingannya banyak dan sangat aktif di Instagram. Sepertinya Facebook juga begitu.
Postingannya sederhana, bahkan bisa dibilang apa yang dilakukannya sehari-hari itu yang ditampilkan. Tapi layaknya artis, selalu ada banyak penggemar yang memberikan respon.
Kadang, setiap unggahan tidak selalu dilakukan AWK, kadang ada adminnya juga.
Saya teringat ketika ia berhasil lolos sebagai Dewan Perwakilan Daerah (DPD) pada 2014. Saat itu saya masih bekerja di sebuah perusahaan media plat merah. Saya datang ke sebuah hotel di Nusa Dua untuk liputan rekapitulasi hasil Pemilu. Salah satunya hasil pemilihan DPD.
Ketika itu saya berjumpa dengan seorang kawan, dan ternyata dia ikut dalam tim AWK. Saat itu, saya lihat ada sekitar empat orang lain yang ikut dalam tim tersebut.
Padahal ini hanya untuk memantau hasil rekapitulasi saja. Sementara meja untuk calon lainnya paling banyak ada dua orang, malah ada yang kosong.
Pada periode 2014 ini Arya Wedakarna memperoleh 178.934 suara disusul I Kadek Arimbawa (Lolak) 161.607 suara, Anak Agung Ngurah Oka Ratmadi 150.288 suara, dan Gede Pasek Suardika 132.887 suara.
Apakah ada hubungan banyaknya orang yang dilibatkan AWK untuk memantau hasil rekapitulasi dengan hasil yang dia peroleh? Menurut saya iya.
Karena waktu ini, bahkan sampai sekarang masih sedikit politisi yang tampil mengusung citra berbeda hingga “berbahaya” di media sosial. Sangat mungkin orang-orang AWK yang saya temui adalah bagian dari tim ini.
Selain AWK, ada Joko Widodo yang dari walikota hingga sekarang dengan ciri blusukannya. Bisa juga bisa dilihat dari Ahok dengan gaya berapi-api dan tidak “pandang bulu”. Ditambah lagi, Tri Rismaharini yang tampil dengan kesan langsung turun ke masyarakat.
Apakah semua kesan tadi lepas dari sorot kamera? Tentu saja tidak. Citra-citra tadi mulainya dari ujung lensa kamera berkembang ke media sosial hingga sampai pada genggaman kita.
Masyarakat terutama semeton di Bali, harusnya bisa melihat lebih jeli dengan pola seperti ini. Tampil dengan citra di media massa dan media sosial tidak salah, tapi lebih mulia jika kesan yang dibangun itu berjalan seirama dengan kerja nyata.
Oh ya, kembali ke AWK. Jika tindakan atau ucapan beliau dinilai melanggar aturan, bawa lah kasusnya ke ranah hukum atau jangan pilih lagi. Sedernaha dan santai seharusnya.
Tapi entah apa penyebabnya banyak yang emosi hingga melakukan demo sampai-sampai ada kekerasan fisik. Ini sungguh bukan mencitrakan orang Bali yang sopan, santun, ramah, pokonya oke lah. Hehehe..
Jika bisa melihat lebih luas dari citra yang ditampilkan oleh politis di media, pasti kita akan menjadi lebih slow dan santai dalam menyikapi fenomena. Apalagi soal AWK ini.
Mari kita tunggu, atraksi apa lagi yang akan dipertontonkan “raja” kita ini selanjutnya. [b]