Usia tak menjadi penghalang bagi Ni Luh Menek.
Maestro tari Bali ini masih enerjik menari di berbagai tempat dan kegiatan. Dia dulu menjadi langganan menari Bali di depan Presiden pertama Indonesia, Soekarno. Penari kelahiran Buleleng ini juga menerima berbagai penghargaan.
Sebagaimana ditulis media budaya Akar Media, Ni Luh Menek lahir di Desa Jagaraga, Kecamatan Sawan, Kabupaten Buleleng Bali pada 1939 silam. Sejak masih kecil, dia sudah belajar menari dengan bimbingan Wanres dan I Gede Manik. Keduanya adalah pencipta tari kebyar yang termasyhur itu.
Saat berumur 15 tahun, Ni Luh Menek untuk pertama kalinya menari Tarian Teruna Jaya di depan, sesuatu yang publik menjadikannya sebagai penari yang ahli. Pada tahun 1954 Luh Menek menari bersama Gong Jagaraga ke seluruh pelosok bali.
Karena kemampuan menarinya, Ni Luh Menek kemudian diundang menari di Istana Tampak Siring pada zaman Presiden Soekarno. Presiden pertama Indonesia ini mengaku sangat menikmati tarian tiap kali Ni Luh tampil membawakan Tarian Teruna Jaya di Istana Tampak Siring.
Sejak 1983, Ni Luh Menek mengembangkan Tari Palawakya dengan dukungan dari Sardono Waluyo Kusumo, penari dan koreografer terkemuka Indonesia. Tarian Palawakya memang memerlukan beberapa keahlian seperti olah gerak, olah suara dan memainkan instrumen musik. Untuk olah suara beliau mendapat dukungan dari Gede Putu Tirta Ngis.
“Saya menari untuk kepentingan orang banyak, untuk menghibur penonton,” kata Ni Luh Menek sebagaimana ditulis Akar Media.
Tak hanya menari, Ni Luh Menek juga mengembangkan seni tradisi tari klasik. Dia terus mengajarkan seni tari ini kepada anak-anak muda maupun orang asing.
Tak heran, kedua anaknya pun mengikuti jejaknya sebagai penari.
Komang Sriwahyuni belajar di Sekolah Tinggi Seni Indonesia (STSI) Denpasar sedangkan anak kedua, Made Suyatni, adalah sarjana seni tari yang menjadi pengajar di ISI Denpasar Bali.
“Harus dan akan tetap ada penari dari Desa Tejakula yang akan meneruskan dan mewarisi seni tari klasik Bali,” ujarnya.
Ni Luh Menek dikenal karena ketekunan dan kuat semangatnya dalam seni tari tradisi Bali. Dia berhasil mengangkat nama Desa Tejakula sebagai sebuah ikon yang identik dengan spesialis tari yang beliau tarikan.
Dia juga dikenal sebagai penari yang memiliki kekhasan gaya tari Buleleng, seperti Teruna Jaya, Palewakya, dan Cendrawasih. Cirinya yang paling menonjol adalah gerakannya yang enerjik, agresif, serta perpaduan antara gaya yang manis dan kelembutan.
Bagi Luh Menek, tari merupakan saudara yang baik dan hingga sekarang tak pernah berpisah.
Tarian adalah saudara yang baik, tidak pernah berpisah sampai sekarang.
~ Ni Luh Menek ~
Penghargaan atas Pengabdian
Atas pengabdiannya itu, Ni Luh Menek pun mendapatkan Penghargaan Pengabdi Seni Budaya dari Bentara Budaya pada 26 September 2017 lalu. Pemberian penghargaan itu diberikan dalam rangkaian ulang tahun ke-35 Bentara Budaya.
Selain Ni Luh Menek, tokoh budaya lain penerima penghargaan itu adalah penggerak teater Rudolf Puspa, pelestari topeng Samadi, penggiat akapela “mataraman” Pardiman Djoyonegoro, penghidup wayang potehi Toni Harsono, penelaah sastra Betawi Abdul Chaer, dan tokoh ludruk serta ketoprak Kirun.
Sebelumnya, Luh Menek juga telah menerima berbagai penghargaan dari Pemerintah Daerah Bali.
https://youtu.be/reb4tp0buio
Sabtu, 24 Februari 2018 besok, Luh Menek akan tampil di Bentara Budaya Bali. Bersama penerima penghargaan lainnya, Samadi, Ni Luh anak hadir dalam Pameran Topeng dan Pertunjukan Tari di Bentara Budaya Bali di Jalan Prof. Ida Bagus Mantra, No. 88 Ketewel, Gianyar.
Turut memaknai pembukaan, akan tampil Pertunjukan Tari Teruna Jaya oleh Luh Menek, diiringi Sekaa Gong Pinda pimpinan Ketut Cater serta pemutaran dokumenter.
Samadi yang bernama lengkap Mardi Yitno Utomo, merupakan pembuat topeng dari Bobung, Putat, Patuk, Gunungkidul. Sedari muda ia telah menekuni kerajinan di Bobung. Dia salah satu penerus tradisi pembuatan topeng Panji yang masih tetap berkarya. Dia berharap tetap bertahan untuk melestarikan pembuatan topeng klasik.
Menurut Samadi mengabdi pada seni topeng klasik itu susah, terlebih di era serba modern seperti sekarang. Saat ini, banyak orang-orang di daerahnya yang memilih jalan pintas membuat topeng lebih sederhana (modern). Untuk tetap bertahan di jalur topeng klasik diperlukan dedikasi tinggi.
“Paling penting itu komitmen untuk tetap melestarikan budaya dari nenek moyang agar tidak punah. Karena tidak semua orang bisa membuat topeng klasik,” ujar Samadi.
Pemilihan Luh Menek dan Samadi untuk tampil karena dengan kesenian dan aktivitas masing-masing, mereka menyuarakan suara rakyat. “Mereka berkesenian yang berorientasikan pada rakyat tetapi tetap berupaya memberi makna pada kehidupan bagi orang-orang di sekitarnya,” ungkap Frans Sartono, Direktur Program Bentara Budaya.
Selain di Bali, program penghormatan serupa digelar pula di empat venue lain: Bentara Budaya Jakarta, Bentara Budaya Yogyakarta dan Balai Soedjatmoko Solo berupa pertunjukan, pameran, diskusi, workshop, pemutaran dokumenter dan lain-lain yang mengedepankan capaian seni dan dedikasi mereka selama ini.
Adapun Pameran Topeng karya Samadi di BBB akan diresmikan oleh I Wayan Dibia. Hadir pula pameran foto sosok Luh Menek karya fotografer Doddy Obenk. Pameran akan berlangsung hingga 3 Maret 2018 mendatang, disertai juga workshop & demonstrasi membuat topeng, Minggu (25/2) dan Senin (26/2), pukul 14.00 WITA.
Anugerah Bentara Budaya sebelumnya juga pernah diberikan pada 10 Pengabdi Seni Budaya, tahun 2012 lalu, antara lain kepada pelukis Sulasno (Yogya), Ni Nyoman Tanjung (Bali), Anak Agung Ngurah Oka (Bali), Pang Tjin Nio (Jakarta), Rastika (Cirebon), Sitras Anjilin (Magelang), Mardji Degleg (Jawa Timur), Dirdjo Tambur (Yogyakarta), Hendrikus Pali (NTT) dan Zulkaidah Harahap (Sumut). [b]