Tak mudah bagi waria dan gay di Bali untuk mengakses layanan JKN.
Salah satunya dialami Tariska, nama panggilan seorang transpuan atau waria asal Gresik, Jawa Timur yang kini tinggal di Kuta, Kabupaten Badung, Bali. Namun, dia tak sendiri. Ratusan waria dan gay lain juga mengalami kesulitan mengakses Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) yang diselenggarakan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan.
Tariska belum terdaftar sebagai peserta BPJS Kesehatan karena belum memiliki e-KTP. Dia datang dengan tampilan laki-laki menggunakan motor tua saat bertemu saya di kantor Dinas Pendudukan dan Pencatatan Sipil (Disdukcapil) Kabupaten Badung, Senin akhir Oktober lalu.
Transpuan kelahiran 1972 menuturkan telah berupaya membuat e-KTP di Gresik pada November 2016 silam. Petugas telah merekam sidik jari dan matanya kala itu. Namun, ia tidak mendapat kabar tentang e-KTP miliknya hingga 2020 kini. “Dibilang selesai 2-3 bulan lagi, tapi saya harus keluar kota,” tutur Tariska pagi itu.
Tariska mengatakan pernah berupaya mengurus e-KTP ke Dinas Pencatatan Sipil dan Kependudukan (Disdukcapil) Kabupaten Badung dan Kota Denpasar. Namun, usahanya nihil karena petugas mengatakan pembuatan e-KTP harus di kota asal.
Tariska yang bekerja sebagai pendidik sebaya (peer educator/PE) LSM di Bali kini ingin mendaftar JKN. Namun, lagi-lagi terkendala ketiadaan e-KTP. “Sejauh ini belum pernah sakit parah, tapi ingin punya BPJS Kesehatan,” ucap Tariska.
Biaya kos Tariska menunggak sejak April 2020 karena penghasilannya berkurang. Sebagai PE, tugasnya menjangkau kawan-kawan waria yang belum terakses kesehatan dan pengetahuan dalam pencegahan HIV AIDS. Ia juga aktif di komunitas pemberdayaan perempuan Pertiwi yang melakukan pendampingan napi di Lembaga Pemasyarakatan dan edukasi publik. Tak hanya itu, Tariska juga berusaha menambah penghasilan dengan mengojek dan membuka jasa belanja.
Kondisi ini membuat Tariska ingin membereskan persoalan haknya atas identitas penduduk pada masa pandemi Covid-19. Meskipun hari itu Tariska kembali gigit jari karena petugas Disdukcapil Badung yang memiliki akses data ke database nasional sedang bekerja dari rumah.
Hingga esoknya pada Selasa (27/10/2020), Tariska mendapat konfirmasi data rekaman Tariska bisa diakses dan dicetak di Badung. Karena cuti bersama selama 4 hari, ia harus menunggu Senin (2/11) untuk kembali ke Dukcapil Badung dan akhirnya mendapat eKTP yang didambanya.
Wayan Arta Yasa, Kepala Bidang Pengolahan Informasi Administrasi Kependudukan Disdukcapil Badung mengatakan pencetakan KTP elektronik luar domisili kadang terkendala jaringan untuk akses data. Sementara pihaknya sudah siap dengan keping (lembar untuk cetak) KTP. Dengan syarat perekaman data sudah dilakukan di lokasi asal domisili.
Jumlah waria dan gay di Bali mencapai belasan ribu
Komisi Penanggulangan AIDS (KPA) Provinsi Bali mengestimasikan pada 2014, jumlah gay atau laki-laki suka laki-laki (LSL) dan waria di Bali mencapai belasan ribu. Sekitar 650 orang di komunitas waria dan 14.098 orang untuk kelompok gay/LSL. Terbanyak di Kota Denpasar, Kabupaten Badung, dan Buleleng.
Istilah gay terkait orientasi seksual, dan LSL digunakan dalam bahasa program penanggulangan HIV AIDS merujuk aktivitasnya. Persoalan identitas pada komunitas gay dan waria diperkirakan salah satu pemicu hambatan mengakses KTP yang berdampak pada administrasi lainnya seperti pendaftaran jaminan sosial.
Pada 2014 mulai diberlakukan pilihan sistem mandiri bagi peserta kategori Pekerja Bukan Penerima Upah (PBPU) yang sistem pembayarannya ditagihkan secara per individu. Namun sejak September 2016, BPJS Kesehatan mengubahnya dengan pembayaran iuran secara kolektif yang mencakup seluruh nama dalam satu Kartu Keluarga yang terdaftar. Artinya, setiap bulan, peserta mandiri harus membayar total tagihan seluruh anggota keluarga secara kumulatif.
“Inilah yang menyebabkan komunitas waria dan gay di Bali enggan mengurus BPJS Kesehatan,” kata Direktur Kapelata Christian Supriyadinata.
Yayasan Kasih Pelangi Dewata (Kapelata) merupakan salah satu LSM yang mendampingi gay dan waria di Bali. Kapelata bersama Ilmu Kesehatan Masyarakat (IKM) Universitas Udayana kemudian melakukan penelitian berjudul “Studi kepemilikan Kartu Identitas dan BPJS pada komunitas Gay dan Waria di Kota Denpasar, Kabupaten Badung, dan Kabupaten Buleleng serta hambatannya.” Pengumpulan data dilakukan Mei-Juni 2020, diikuti sejumlah diskusi.
Tiga puluh persen gay dan waria tak punya JKN
Hasil survei Kapelata dan Universitas Udayana menemukan 123 waria dan LSL tidak mempunyai jaminan kesehatan. Dari 123 orang ini, 51 persennya adalah waria. Sedangkan yang punya sebanyak 275 orang dan sisanya ragu-ragu.
Peneliti dari Universitas Udayana Ni Made Sri Nopiyani mengatakan 81 responden yang tidak punya JKN menyatakan ingin mendaftar, sisanya tidak. Namun mereka mengalami kesulitan karena proses yang lama, berbelit dan tidak punya e-KTP. Ada juga yang mengurus jauh di luar Bali, harus bolak-balik, dan hambatan harus mengikutsertakan semua daftar anggota dalam KK.
“Banyak yang tidak tahu ada layanan mobile, termasuk perpindahan faskes. Perlu intervensi. Paling signifikan harus mendafarkan anggota keluarga di KK, namun tidak mampu membayar,” jelas salah satu peneliti Ni Made Sri Nopiyani dalam seminar daring pada 24 September 2020.
Hasil survei juga menemukan 13 orang tidak memiliki KTP dan pernah punya tapi hilang tujuh orang. Hampir semua pernah mengurus KTP namun ada kesulitan. Alasan ingin mengurus KTP beragam misalnya takut razia pecalang, tidak bisa mengurus JKN, SIM, masalah perbankan, waswas, atau tak bisa beli tiket pesawat.
“KTP prasyarat dasar warga, perlu dibantu upayanya agar punya. Mereka lebih banyak tinggal di Denpasar dan dari kelompok waria. Lebih 90% tidak punya atau hilang adalah pendatang,” imbuh Nopi.
Menurut para responden kesulitan pembuatan e-KTP beragam mulai dari prosedur panjang dan berbelit, tidak boleh diwakilkan sehingga harus pulang kampung dan data tidak sesuai.
Survei ini melibatkan 400 responden yang terdiri dari 300 gay/LSL dan 100 waria dengan usia rata-rata 30 tahun. Lama mereka tinggal di Bali beragam mulai dari 6 bulan hingga 50 tahun. Status perkawinan terbanyak belum kawin, dan pendidikan dominan SMA (60 persen). Padahal sebagian besar responden atau 335 orang (83 persen) menilai JKN penting, dan 45 orang (11 persen) menilai cukup penting, sisanya kurang dan tidak penting.
Kebanyakan tinggal sendiri, pekerjaan terbanyak karyawan swasta, dan mengalami dampak pandemi seperti PHK dan dirumahkan. Selama pandemi, penghasilan jatuh di bawah Rp1 juta dialami 15 orang sebelum pandemi, dan setelah pandemi menjadi 181 orang. Demikian juga kelompok penghasilan di atas 1 juta, turun drastis dari semula.
Tanggapan BPJS dan Tawaran Solusi Dukcapil Bali
Kepala Bidang Pelayanan Peserta dan Kepesertaan BPJS Kesehatan Cabang Denpasar Ariasto Bau mengatakan kenaikan iuran disesuaikan dengan perubahan regulasi pusat. Menurutnya, kebijakan tersebut diambil untuk keberlanjutan program. “Karena prinsip gotong royong, saling membantu,” sebut Ariasto, saat diskusi publik 24 September kemudian dikonfirmasi lagi pada 27 Oktober 2020.
Ariasto menyarankan warga yang tidak mampu untuk melapor ke Dinas Sosial agar biayanya ditanggung pemerintah. Menurutnya, untuk warga di luar Bali juga dapat mendaftar secara online asalkan memiliki e-KTP. “Kalau di PHK dan tak mampu, lapor ke Dinkes. Kalau di-acc, lapor BPJS Kesehatan, bisa kami tambahkan ke sistem dan kartunya aktif,” sebutnya.
Sementara Kasi Monitoring, Evaluasi, dan Dokumentasi Dinas Dukcapil Provinsi Bali, Pung Purwanto mengatakan, perekaman dan pencatatan e-KTP sudah di atas 97 persen. Sistem Informasi Administrasi Kependudukan (SIAK) bisa diakses bisa di mana saja oleh Dukcapil kabupaten/kota.
Menurutnya pendaftaran di luar wilayah juga bisa dilakukan dengan syarat jaringan Adminduk bisa diakses dan ketersediaan blanko KTP. “Beberapa tahun lalu blanko kurang, diadakan pusat. Blanko khusus dengan chip identitas penduduk,” lanjutnya.
Solusi untuk hambatan daftar JKN sesuai anggota KK, menurutnya bisa dengan buat KK sendiri atau KK tunggal sehingga isinya satu orang. Syaratnya yaitu meminta surat pindah domisili dengan mengurus surat di daerah asal dan disampaikan ke Disdukcapil yang dituju. Sementara untuk KK sendiri yang menggunakan alamat orang lain, harus ada persetujuan yang ditumpangi jadi alamat KK.
“Akses Adminduk kami tak ada diskriminasi, semua sama. Perekaman KTP elektronik karena sakit atau penyandang cacat kami datangi, tapi tak bisa semua penduduk,” sebut Pung.
Pung menjelaskan anggota KK tidak harus keluarga kandung melainkan juga bisa orang lain. Semisal di panti asuhan yang anggotanya bisa lebih dari 10 anggota.
Para peneliti menyarankan sejumlah perbaikan untuk meningkatkan akses bagi kelompok minoritas. Misalnya untuk LSM, perlu mengadvokasi fasilitas layanan kesehatan agar tercipta layanan kesehatan yang berkeadilan tanpa memandang cara pembayarannya, JKN atau non JKN.
Sementara untuk komunitas waria dan gay/LSL, memfasilitasi secara aktif anggota komunitas yang membutuhkan bantuan lebih intensif dalam pengurusan e-KTP dan JKN. Selain itu mengadvokasi pemerintah dan BPJS Kesehatan untuk mengembangkan kebijakan atau program meningkatkan kepemilikan e-KTP dan BPJS Kesehatan pada komunitas gay/LSL dan waria dalam rangka mencapai Universal Health Coverage. [b]