Saya sedang membaca majalah National Geographic yang membahas tentang migrasi manusia. Manusia bermigrasi karena berbagai alasan seperti menghindari konflik, tempat tinggal mereka terdampak krisis iklim, atau mencari pekerjaan yang lebih baik. Manusia selalu bermigrasi sejak nenek moyang kita. Migrasi ada dalam DNA kita.
Menurut kamus besar bahasa Indonesia, migrasi adalah perpindahan penduduk dari satu tempat ke tempat lain untuk menetap. Di tulisan ini saya ingin membahas sebuah pertanyaan yang ada di kepala saya sejak lama, yaitu sejauh mana orang Bali bermigrasi.
Saat ini kita masih berjuang untuk melawan pandemi covid-19. Pembatasan kegiatan secara besar-besaran diterapkan untuk mencegah penularan virus. Pembatasan ini juga membatasi ruang gerak kita untuk berpindah. Namun, tentu saja hal ini tidak menghentikan kita untuk berpindah karena beberapa dari kita melakukannya karena keterpaksaan.
Perekonomian Bali yang sangat bergantung pada pariwisata terdampak sangat parah oleh pandem ini. Ditutupnya pintu masuk untuk tuis asing dan dibatasinya kunjungan wisatawan domestik membuat pemasukan bagi para pelaku industri menurun drastis. Akibat dari hal ini adalah para pelaku terpaksa melakukan efisiensi dengan merumahkan sebagian atau seluruh karyawan. Tidak sedikit pula yang menutup usahanya karena bangkrut. Salah satu yang terdampak adalah teman saya, sebut saja A. Ia bekerja di salah satu hotel di kawasan Jimbaran. Sebagai langkah efisiensi, perusahaan merumahkan hampir seluruh karyawan termasuk dirinya.
A adalah seorang laki-laki yang seumuran dengan saya, sekitar 23 tahun. Ia berasal dari sebuah Desa di Kabupaten Karangasem. Sebelumnya ia tinggal di sebuah kos-kosan tak jauh dari tempat kerjanya. Tidak hanya A, banyak orang Bali yang tinggal dan menetap di sekitar tempat kerja mereka. Rumah mereka jaraknya sangat jauh dari tempat kerja, sehingga menetap di dekat tempat kerja adalah pilihan yang masuk akal. Ini adalah contoh kecil migrasi. Mereka berpindah dan menetap di kota atau desa yang berbeda dari tempat asal mereka. Meskipun tidak bermigrasi seperti yang anda bayangkan yaitu ke tempat yang sangat jauh seperti keluar negeri, beberapa orang Bali telah bermigrasi.
Tahun lalu saat sedang mengendari sepeda motor menuju rumah setelah belanja dengan ibu, saya melihat rombongan bis kosong sedang melaju ke arah bandara. Di kaca depan supir ada kertas yang bertuliskan kalau tidak salah “bus rombongan pekerja migran kabupaten Tabanan.” Setelah sampai di rumah, saya langsung mencari tahu kenapa ada banyak bis menuju bandara.
Ribuan orang Bali yang bekerja di kapal pesiar akhirnya berhasil dipulangkan setelah menunggu lama di dalam kapal tempat mereka bekerja. Perusahaan kapal memulangkan para karyawannya yang berasal dari berbagai negara. Saya kurang ingat apakah mereka dirumahkan atau hanya sekedar dipulangkan. Tentu bisa pulang tetap merupakan kabar baik bagi mereka dan keluarga masing-masing. Ditutupnya penerbangan internasional membuat mereka terjebak cukup lama di kapal tempat mereka bekerja. Beberapa menjadi stress dan sangat tertekan. Akhirnya mereka bisa kembali ke rumah masing-masing.
Ternyata orang Bali yang bekerja di kapal pesiar di berbagai negara jumlahnya cukup banyak. Menurut BP3TKI jumlahnya 3.984 orang. Bekerja di kapal pesiar merupakan sebuah profesi yang sangat diidamkan oleh banyak pemuda di Bali. Kerja dengan gaji besar dan bisa berkeliling dunia tentu diidamkan oleh siapapun. Hal ini juga dibarengi dengan banyaknya sekolah pariwisata dan masing-masing mengklaim lulusan mereka akan langsung direkrut oleh perusahaan. Ini menunjukkan antusias orang Bali untuk mencari kerja dan bermigrasi ke tempat lain. Tentu jumlahnya tidak sebanyak orang yang bekerja di industri pariwisata di Bali, namun ini sudah bisa menunjukkan keinginan orang Bali untuk bermigrasi.
Karena bekerja dari rumah, saya memiliki waktu lebih untuk membaca lebih banyak buku. Akhir-akhir ini saya membaca beberapa buku yang ditulis oleh penulis asal Bali. Saya menyukai tulisan mereka. Mereka berhasil menuliskan perspektif mereka sendiri tentang kehidupan orang-orang Bali dengan bumbu-bumbu sastra. Dari buku-buku yang sudah saya baca, mereka memiliki kesamaan dalam menggambarkan orang Bali.
Orang Bali digambarkan sebagai sebuah kelompok masyarakat yang memiliki ikatan persaudaraan yang kuat. Mereka adalah orang-orang yang siap dan wajib membantu sesama jika dibutuhkan. Ini adalah keunggulan orang Bali. Namun, di buku-buku itu juga menyiratkan bahwa ini adalah kelemahan orang Bali. Hidup sebagai orang Bali di Bali ternyata tidak seindah yang dibayangkan. Di dunia nyata ini tergambar oleh cerita beberapa teman saya.
Ngayah atau kegiatan gotong royong adalah praktik manusa yadnya atau korban suci yang tulus ikhlas kepada sesama manusia. Tradisi ini sangat melekat di kehidupan orang Bali. Ngayah biasanya dilakukan di bale banjar, area pura, maupun rumah salah satu warga yang sedang mengadakan acara. Sudah menjadi kewajiban sosial bagi warga sekitar maupun keluarga untuk datang membantu. Bagi yang tinggal di sekitar tempat acara atau tidak jauh dari sana tentu ini bukan sebuah masalah. Ini juga bukan sebuah hambatan bagi mereka yang pekerjaannya tidak banyak tuntutan dan waktu kerja yang fleksibel. Bagi mereka yang tidak memiliki privilese seperti itu, datang ngayah rasanya berat sekali.
Kalau datang ngayah, tentu akan memperkuat tali silaturahmi dengan keluarga dan warga sekitar. Jika ada apa-apa saya bisa dengan mudah dapat bantuan. Tapi kalau terlalu sering izin dari kantor, performa akan dianggap menurun sehingga menghambat karir. Kalau jarang ikut ngayah, ada kemungkinan saya akan menjadi bahan omongan orang-orang. Nanti kalau ada apa-apa saya sulit minta bantuan. Mungkin tidak hanya saya, keluarga saya juga bisa jadi bahan omongan. Sebagai orang Bali, kita pasti sering memikirkan hal ini. Mana yang harus dikorbankan berikutnya.
Apakah orang Bali mau bermigrasi? Sebenarnya mereka ingin, namun niat itu kerap kali mereka urungkan. Saya kenal beberapa orang yang ingin kuliah di luar Bali. Mereka ingin mendapat ilmu dan memperluas jaringan pertemanan. Tentu mereka saja ingin menambah pengalaman dengan bertemu banyak orang dan pergi ke tempat baru. Ada salah satu orang teman saya yang mengatakan ia tidak diberi izin oleh ibunya. Sebagai laki-laki ia punya kewajiban terhadap merajan di rumah. Akhirnya ia tidak menjadi mendaftar di PTN impiannya di pulau Jawa. Beberapa teman lainnya juga tidak mendapat restu untuk kuliah di luar Bali karena orang tua mereka menganggap di sana terlalu jauh.
Bisa dibilang saya beruntung. Keluarga saya di desa banyak yang bermigrasi, mungkin hampir seluruhnya. Tentu kebanyakan dari mereka tinggal di Denpasar. Beberapa termasuk saya tinggal di Jakarta. Bahkan ada juga yang tinggal di luar negeri. Keluarga saya selalu mengadakan rapat setiap enam bulan sekali yang biasanya dihadiri oleh setiap kepala keluarga. Saat sedang absen, saya ingat beberapa nama tidak hadir karena tinggalnya jauh atau berada di luar negeri. Semua memaklumi, tidak yang julid dengan mereka yang absen. Mungkin karena kami semua sudah terbiasa dan bahkan kami memang bermigrasi dari desa. Tentu kami tidak melupakan tradisi di keluarga dan masyarakat.
Salah seorang teman saya sebut saja J juga cukup beruntung. Ia tahu orangtuanya tidak akan memberikan izin untuk berkuliah di Jawa. Maka J diam-diam mendaftarkan dirinya saat pendaftaran dibuka. Ia baru memberitahu orangtuanya setelah ia diterima di salah satu PTN terbaik. Sekarang ia bekerja dan mengabdi untuk masyarakat sekitar di tempat tinggalnya. Ia mengatakah kuliah di luar Bali merupakan sebuah privilese. Selain membutuhkan biaya yang tidak sedikit, dirinya yang merupakan seorang perempuan tentu akan menjadi sumber kekhawatiran orang tuanya. Entah itu alasan keselamatan atau takut kepincut laki-laki yang beragama selain Hindu.
Apakah orang Bali mau bermigrasi? Saya yakin banyak teman muda yang ingin melakukannya. Mereka yang haus akan pengetahuan dan sudah jenuh dengan kehidupan di Bali pasti memiliki keinginan terpendam untuk bermigrasi. Sayangnya, keraguan muncul karena mereka tidak mendapat dukungan. Bayang-bayang konsekuensi yang akan terjadi di masa depan karena mereka merantau juga menjadi bahan pertimbangan.
Apakah orang Bali akan bermigrasi? Sampai saat ini ekonomi Bali masih bertumpu pada pariwisata. Setiap hari orang makin sadar bahwa industri pariwisata sangat rapuh. Pandemi covid-19 yang berlangsung sangat lama dan masih berlangsung menyadarkan banyak orang untuk mencari sumber pencaharian lain yang lebih aman dan stabil. Industri di Bali tentu tidak hanya pariwisata. Ada industri pertanian yang telah terbukti tahan dari serangan pandemi dan perikanan yang saya yakin keduanya memiliki potensi untuk mengimbangi pariwisata sebagai industri yang dianggap paling menyejahterakan. Namun jika kedua industri ini tidak dikembangkan dengan baik, mungkin saja dorongan untuk mencari pekerjaan yang lebih baik akan semakin kuat. Saat itu dorongan untuk bermigrasi akan semakin tinggi.