Apa saja topik yang terlupakan dalam pandemi ini? Solidaritas sosial penting, tapi kontrol sosial kebijakan akan membawa perbaikan lebih cepat.
Diskusi bertajuk Saya Persma #3 dilaksanakan dengan narasumber khusus yakni mentoring bersama Ahmad Arif (Wartawan Kompas, salah satu inisiator @LaporCovid19 yang konsisten menulis topik bencana termasuk pandemi ini pada 27 Mei 2020.
Arif memberi beberapa catatan penting. Pertama, sebelum menulis tentang pandemi, perlu dipahami bahwa bencana itu adalah siklus yang harus dipahami secara signifikan. Bencana menurutnya dibagi 3, pra bencana, ketika bencana, dan pasca bencana. “Saat ini kita sudah berada di masa krisis, yaitu sudah pada tahap bencana. Yang diperlukan adalah update dari masyarakat,” ujarnya.
Nah, topik seperti apa yang memenuhi kebutuhan saat masa krisis ini? Ia mengajak membedakan laporan jurnalistik soal bencana dengan research bencana. Kalau riset sifatnya timeless sedangkan bencana itu aktualitas. “Jangan sampai menulis laporan jurnalistik bencana menulis hal-hal yang useless, tidak kontesktual, cenderung tidak dibaca oleh pembaca,” ajaknya.
Pada pra-bencana Arif sudah menulis soal pentingnya mitigasi atau pengurangan dampak, dan pemeriksaan kesehatan. Ia menyimpulkan, Indonesia terlambat mengantisipasi risikonya. Banyak dugaan bahwa wabah ini sudah masuk pada periode Januari-Februari kemungkinan sudah masuk,” jelasnya.
Menurutnya Bali salah satu daerah yang dikhawatirkan virusnya sudah masuk lebih awal. “Kalau boleh saya kritik mungkin media dan masyarakat tidak cukup kuat untuk melakukan gugatan pengabaian resiko terkait dengan pengabaian risiko oleh pemerintah waktu itu, denial the risk dengan narasi kekebalan,” lanjutnya.
Gugatan publik di masa pra bencana menurutnya masih minim dan kebanyakan media-media di Indonesia masih membahas omongan pejabat. “Menurut saya mengalihkan dari hal yang harus dilakukan terkait mitigasi, persiapan dan lainnya,” ujarnya.
Saat ini, Arif menilai, Indonesia masuk di fase kritis. Apakah benar akan bisa menghentikan wabah ini dengan lebih baik? Lebih baik itu ukurannya 2 hal, minimnya korban jiwa dan minimnya dampak sosial ekonomi. Bencana bisa memicu bencana baru. Misalnya, gempa bumi bisa memicu penjarahan, bisa memicu masalah sosial. Demikian juga pandemi ini menurutnya bisa lebih parah lagi, bisa memicu bencana sosial, kemiskinan, dan kelaparan.
Juga bisa memicu ledakan wabah lebih besar lagi. Ia menyontohkan pandemi influenza Spanyol 1918-1919, gelombang wabah bisa terjadi berulang-ulang dan salah satu yang terbesar adalah yang gelombang kedua, setelah yang pertama dianggap mereda. Ketika orang beraktivitas seperti biasa. Kalau sekarang diistilahkan sebagai new normal.
Pada titik inilah menurutnya jurnalisme berperan. Melakukan edukasi ke publik. Misalnya bagaimana berhadapan dengan pandemi, menjaga kesehatan, dan dampak sosial. “Yang paling penting dari media adalah fungsi sebagai watchdog, sebagai kontrol sosial terhadap masyarakat maupun pemerintah,” sebutnya. Peran watchdog ini dinilai sangat penting dalam kondisi seperti ini, terlebih massa atau publik bisa terbelah karena persoalan politik. Media independen yang memiliki analisis yang kritis semakin dibutuhkan. Agar ada yang mengingatkan bahwa bencana ini bisa menjadi lebih parah lagi, bisa menimbulkan dampak yang lebih besar lagi.
Selain menulis, Arif juga ikut menginisiasi sebuah gerakan mobilisasi partisipasi warga lewat Laporcovid19 sejak awal April. “Kita khawatir terjadi under reporting cases atau kematian yang tidak dilaporkan. Ternyata ini terjadi, padahal data mengenai kasus, data mengenai kematian, data mengenai covid secara menyeluruh, itu sebenarnya salah satu kunci penting untuk menghadapi wabah ini. Tanpa data yang baik, konsekuensinya macam-macam,” paparnya.
Tanpa data kasus yang akurat atau tanpa data mengenai kematian yang akurat inilah yang menurutnya bisa menyebabkan salah satu implikasi yang sekarang terlihat yaitu, penyepelean wabah. Misalnya, data resmi pemerintah terkait kematian sekitar seribuan, tapi data yang dikumpulkan di Laporcovid19, sudah sekitar 3,5 kali lipatnya lebih banyak dari data yang dilaporkan pemerintah pusat tiap hari. Data Laporcovid19 ini pun direkap dari pemerintah daerah, belum data dari warga langsung.
Jika kasus underestimate atau under-reporting kematian, konsekuensinya adalah masyarakat menjadi cenderung menyepelekan krisis. Salah satunya pengabaian PSBB. “Kalau kita lihat sekarang, di Jakarta masyarakat abai yang di jalanan, di pasar, di mall, salah satunya karena masyarakat belum sepenuhnya memahami skala dari wabah ini. Karena laporan yang disampaikan pemerintah under-reporting, tidak mewakili dampak yang nyata dari wabah,” lanjutnya.
Data ini menjadi kunci memahami persoalan. “Ini baru data jumlah ya, belum data kualitatif, bahwa yang mati ini bukan hanya sekadar angka-angka tetapi mereka memiliki relasi sosial, memiliki riwayat, memiliki ketertautan dengan orang lain, inilah yang juga absen dalam pendataan di Indonesia. Kalau diperhatikan tiap hari pemerintah hanya mengumumkan, pertambahan korban, tetapi kita ini buta dengan siapa sebenarnya yang meninggal, apa penyakitnya, apa komoditasnya, apa kerentenannya, apa riwayatnya,” jelas Arif.
Sementara di sejumlah negara lain seperti Singapore, Taiwan, dan Amerika, korban disebutkan, ada penjelasannya siapa mereka, umur, jenis kelaminnya. Menurutnya, itu informasi sangat penting yang sangat berguna dalam analisis klinis, dan analisis kerentanan mengenali risiko. Siapa sebenarnya yang paling rentan, siapa yang harus lebih berhati-hati.
Ketiadaan siapa yang terinfeksi, ada di mana, membuat masyarakat ada di rimba penyakit, tapi tidak tahu posisinya di mana. Dampak keterbukaan peta korban ini membuat publik bisa melihat di mana sebaran kasus dan posisinya seperti apa, apakah sudah sembuh dan sekarang di mana. Sehingga partisipasi masyarakat untuk mengidentifikasi risiko di sekitarnya terbangun dengan baik.
“Masyarakat di Indonesia kita seperti buta, kita tidak tahu sekarang ada di mana, di zona mana, dan seperti apa yang kita lakukan. Gugatan seperti ini penting untuk diwacanakan, terutama teman-teman media lokal karena sebenarnya memiliki kedekatan,” ajaknya. Dalam masa pandemi ini yang paling penting dan punya power menurutnya pemerintah daerah, karena berhubungan langsung dengan publik. Jika pemerintah pusat bermasalah, seperti sekarang terjadi, namun pemerintah daerahnya bagus, dampaknya mungkin bisa diminimalkan.
Melalui Anugerah Jurnalisme Warga, ia berharap banyak karya bagaimana media sebagai kontrol sosial. Jika kontennya hanya positif seperti pentingnya semangat untuk saling membantu, dan memang penting dalam konteks sekarang, tapi juga penting diketahui jika wabah tidak bisa diselesaikan hanya dengan social capital.
Pandemi ini dalam catatan Arif, menguji dalam 3 hal. Pertama, sistem layanan kesehatan. Kedua, kepemimpinan dan birokrasi yang baik, dan ketiga adalah social capital. Tanpa birokrasi yang baik, tanpa layanan kesehatan yang baik, publik sangat rentan, dua hal di atas ini perlu kontrol sosial dari publik, dan inilah yang bisa dilaporkan media.
Contohnya saat memasuki new normal, apa syarat-syarat yang ditetapkan oleh WHO, apakah pelayanan kesehatan sudah disiapkan untuk mengantisipasi kemungkinan munculnya kasus baru?
Terkait anjuran non medis seperti ritual oleh pemerintah dalam pencegahan, menurut Arif, kebudayaan selalu bergerak dan dinamis. Selalu ada tantangan dan kesempatan. Narasi seperti itu haru dilengkapi dengan narasi kritis untuk membentengi bahwa jangan sampai upaya baik yang dilakukan masyarakat nanti tidak berjalan dengan baik, atau bahkan menjadi “harapan kosong” ketika ketemu banyak tantangan yang lain.
Anton Muhajir, moderator dari Balebengong membahas komentar warga bernada dikotomis seperti mending mati karena covid dibanding mati karena kelaparan.
Menurut Arif, dikotomi itu terjadi karena keputusan politik yang buruk, terutama sejak awal. “Menurut saya kegagalan pemerintah memprioritaskan keselamatan dan kesehatan itu membuat masyarakat menyederhanakan syarat hidup. Orang akhirnya mengabaikan risiko hidup mati untuk ekonominya,” katanya. Ini tidak akan terjadi kalau dari awal prioritas pemerintah jelas. Ketika wabah itu belum membesar, ketika wabah baru mulai masuk, pemerintah tegas menyatakan bahwa prioritas kita adalah keselamatan orang. Kalau itu dilakukan dengan baik, skala wabah ini bisa jadi tidak menimbulkan dampak ekonomi sebesar sekarang.
Jika bergulir terus, semakin terlambat dan salah repositioning, akan terus membesar. “Kita harus belajar dari negara lain. Lihat saja Thailand dan Vietnam yang memiliki postur ekonomi mirip Indonesia. Sama-sama Vietnam sudah menutup penerbangan mereka, menutup perbatasan dengan China sejak awal. Mereka tidak peduli, padahal saat tahun baru Imlek, sejumlah wisatawan China ke Vietnam, tapi mereka tidak peduli.
Prinsipnya, wabah ini harus dikarantina sebelum membesar. Mereka melakukan isolasi di wilayah dekat bandara. Akhirnya medan pertarungan wabah itu tidak meluas seperti di Indonesia. Indonesia dinilain mirip dengan Amerika, gamang memilih ekonomi dengan kesehatan. “Saya lebih percaya begini, orang yang mati tidak bisa dihidupkan kembali tapi ekonomi bisa dipulihkan asal orangnya selamat dulu. Semakin kita gamang memilih, antara ekonomi dan kesehatan, kita akan gagal kedua-duanya. Kita akan gagal ekonomi juga gagal kesehatannya,” sebutnya.
Siapa yang mau datang ke Indonesia dengan kondisi yang tidak jelas seperti sekarang? Menurutnya turis khawatir juga untuk datang ke Bali kalau belum ada kejelasan bahwa wabah ini bisa terkendali. Orang akan memilih ke Vietnam karena memang kurva epideminya secara scientific sudah jauh menurun dibanding yang masih abu-abu.
Ia khawatir jika masyarakat dibenturkan pada situasi, lebih baik mati kelaparan karena ekonomi daripada kesehatan. Negara lain memberikan subsidi ekonomi bisa sampai 10%. Indonesia hanya sampai 2-3% dan siapa yang mendapat subsidi ini? Sektor-sektor yang produktif yang sangat penting seperti pertanian, pangan, menurutnya belum ada dukungan yang maksimal.
Banyak petani kesulitan menjual komuditinya. Di sisi lain negara justru melonggarkan bea masuk impor pangan. “Jadi aneh menurut saya, saat pandemi ini mendorong ekonomi produktif berbasis kemandirian, tetapi uang yang terbatas dialokasikan untuk hal-hal anti-tesis. Menurut saya persoalannya bukan hanya terbatas uang, tapi kegagalan mengelola anggaran dengan baik,” sebutnya.
Misalnya, triliunan uang untuk kartu pra kerja dan rapid test masih bermasalah. Ada juga obat-obatan yang tidak teruji secara klinis dan tidak direkomendasikan teman-teman medis. Ia mengingatkan negara dibentuk dan bertanggungjawab untuk keadilan sosial. Kalau situasi ini dibiarkan semakin berlarut, masyarakat dibiarkan gamang memilih antara ekonomi atau kesehatan, akan semakin parah.
“Masyarakat seharusnya tidak dihadapkan pada pilihan itu. Masyarakat seharusnya dihadapkan pada pilihan bahwa saya harus selamat,” tukasnya.
Dengan kebebasan media di Indonesia yang lebih baik, yang menentukan adalah kualitas jurnalistiknya. Pada periode pra pandemi media dinilai justru dilarut ke dalam narasi clickbait dan tidak memposisikan narasi kritis. Hal yang memperdalam krisis di Indonesia juga karena pembelahan sosial yang dipicu oleh sosial media. Itu mengalihkan kritik yang rasional menjadi emosional. Sehingga narasi kritik yang harusnya wajar, malah tidak terjadi.
Media warga menurutnya bisa berperan menciptakan tandingan wacana mengawal isu ini.
Selain kualitas wacana juga pada fase krisis literasi. Tak hanya soal kuantitas berita tapi kualitasnya. Pengguna media sosial sangat banyak, dan kadang produk jurnalistik yang dibuat sangat sungguh-sungguh, malah dikaburkan oleh buzzer. Jika kualitas literasi masih buruk, tidak bisa membedakan mana karya jurnalistik dan mana propaganda, itu makin merepotkan.
“Seolah-olah kebijakan diukur dengan tagar. Pilihan-pilihan publik itu sering kali irasional. Di sini peran jurnalisme jadi penting, termasuk jurnalisme warga,” ujarnya.
Kontribusi LaporCovid19
Sejumlah peserta diskusi juga bertanya bagaimana metode mengumpulkan informasi laporcovid?
Secara umum dengan 2 cara. Dari warga langsung, laporan tentang kondisi mereka, pelanggaran yang terjadi via WA. kemudian diverifikasi tim IT. Untuk validasi laporan yang aneh dan tidak masuk akal. Kedua, mengumpulkan data yang sudah ada, tapi tidak dilaporkan resmi. Misalnya di daerah ada PDP dan ODP. Tapi data ini tidak ada di data pemerintah pusat.
Saat ini ada lebih dari 100 relawan yang fokus memasukkan data dari pemerintah daerah yang mengupdate data tiap hari di lamannya. Dengan cek peta LaporCovid19, ada sebaran PDP dan ODP yang meninggal di seluruh Indonesia.
“Cuma di Bali relatif minim datanya, padahal data bisa dipakai siapa saja. Data kematian ini sangat penting. Kalau Under reporting kematian, akan sangat fatal,” ingatnya. Data di LaporCovid19 ini bisa digunakan untuk penelitian. Data juga bisa dilaporkan ke pemerintah sebagai rekomendasi.
Sebagai penutup diskusi, Arif mengajak memproduksi informasi yang variatif. Dari solidaritas yang memberikan harapan dan sosial kontrol kebijakan untuk keseimbangan informasi serta mitigasi.