Selama ini, barang kerajinan lebih banyak diminati pasar internasional. Namun, Pandemi Covid-19 membuka peluang pasar lokal .
Peluang pasar lokal ini dirasakan I Gusti Ketut Agung. Akrab disapa Jik Alit salah satu pengusaha yang juga exportir industri kerajinan di Bali. Sejak 6 bulan lalu, Jik Alit menutup toko kerajinannya di Ubud selain karena sudah tidak ada wisatawan juga faktor masa kontrak tempat sudah habis.
Selanjutnya ia berinisiatif membawa produk-produk di bawah naungan Mitra Bali ini untuk dibuatkan outlet di Taman Baca Kesiman. Sebuah perpustakaan terbuka di kawasan Kesiman, Denpasar. Dengan pengunjung dominan warga lokal. Sejak dipajang beberapa bulan ini ternyata mendapat sambutan.
“Di luar dugaan kami, ternyata pasar lokal itu ada. Dulu, saya pesimis sekali. Sepertinya tidak ada orang Indonesia yang akan beli, atau orang Bali. Tapi semenjak membuka toko di situ, ada respon,” kata Jik Alit.
Dari respon ini juga, Jik Alit mulai mempelajari selera pasar lokal terhadap barang kerajinan. Produk kerajinan yang disukai orang-orang lokal adalah barang yang fungsional. Bukan yang bersifat dekoratif. Seperti keben dan keramik. Inilah menariknya dunia industri kerajinan di tengah pandemi.
Meskipun itu produk sekunder bukan produk primer seperti makanan. Di situasi pandemi, pasar lokal memberikan respon yang baik untuk produk kerajinan. Pasar lokal bisa dijadikan pelajaran, bahwa pasar lokal ini not bad. Dengan menyajikan barang yang bagus, orang lokal membeli dengan harga lumayan. Harga yang diberikan termasuk harga turis. Ternyata itu dibeli oleh pasar lokal.
Orang yang berkunjung ke outlet Taman Baca Kesiman datang tak hanya melihat contoh produk, juga untuk membeli. Meski belum banyak, tapi bisa terjual. Dari sana Jik Alit belajar, barang yang selama ini sebanyak 95% export mampu menarik minat pembeli lokal. Seperti keben, dimodifikasi agar warnanya berbeda dari yang ada di pasaran. Kerajian dari keramik misalnya tempat garam dan merica, dan keperluan dapur lainnya.
Respon pasar lokal menjadi motivasi Jik Alit untuk mengembangkan produknya dengan mengutamakan produk fungsional. Kerajinan berpacu pada desain. Sehingga produk ini tidak pernah kehilangan pasarnya. Meskipun permintaan ketika pandemi menurun, Jik Alit bersyukur sebagai pelaku exportir karena masih menerima orderan.
Awal pandemi permintaan jauh menurun. Kendalanya bukan di barang kerajinan, tapi infrasturktur pengiriman. “Kesulitan kontainer, jadwalnya tidak pernah jelas. Di pelabuhan semua macet, jadwal terganggu. Secara barang otomatis orderan menuru,” keluhnya.
Satu sisi, pelanggan juga menurunkan order karena takut pengiriman tidak seperti sebelumnya. Mata rantai kerajinan pun terganggu, karena biasanya mengirim melalui laut, tapi jadwalnya kacau. Jika dikirim melalui udara akan mahal. Penurunan level PPKM menjadi angin segar untuk para pelaku exportir seperti Agung Alit ini. Secara perlahan orderan mulai banyak dikerjakan perajin Mitra Bali karena proses pengiriman mulai lebih mudah.
“Orderan sebenarnya tidak bisa putus. Pengerajin lebih suka diberi order, kalau diajak membuat yang baru mereka ragu sekali. Kita sempat mengajak, bahwa sekarang suasana pandemi, kita harus membuat barang baru, lama sekali dibuat. Malah jadi problem,” tungkasnya.
Industri kerajinan sangat tergantung pada pengerajin. Kesanggupan perajin itu yang utama, kalau tidak sanggup akan susah. Mensiasati persoalan ini, Jik Alit akhirnya bermain dengan barang lama yang diputar kembali. Beberapa barang lama, selama pandemi ini dirawat dengan dicat ulang dan dilap. Tidak memaksakan pengerajin untuk membuat barang baru. Karena mereka lebih suka menerima orderan berulang. Mereka disediakan sarana sanitasi, masker, handsanitiser.
“Meski desain lama, kami tetap gencar mengirim sampel. Syukur, sekarang sudah kembali normal,” jelas Agung.
Sekarang saat kondisi sudah stabil, pelanggan mulai memberikan orderan. Tapi buyer sangat ketat dengan deadline. “Agung, kalau barangmu tidak bisa sampai 1 Oktober, maka semua barangmu akan kami tolak,” Jik Alit menuturkan. Sedangkan saat masa pembatasan atau lockdown, keterlambatan masih bisa ditolerir.
Fair Trade untuk Pengerajin
Pelanggan loyal tak terlepas dari usaha yang menerapkan model fair trade. Pembeli di Mitra Bali sudah memiliki ideologi yang sama karena tujuannya tidak hanya menumbuhkan bisnis saja tapi juga membantu rakyat produsen kecil.
“Pembeli sangat peduli dengan pengrajin kita. Yang dihormati oleh pembeli kami karena kami berani memberikan upah 50% sebelum pengerajin bekerja. Pembeli kami juga orang-orang fair trade. Karena kita sama tujuannya ingin menumpas kemiskinan. Sehingga syukur, sampai saat ini kita tidak pernah sampai tidak dapat order,” lanjutnya. ?Penyampaian ideologi ini dikomunikasikan dan dibentuk sudah sejak lama. Setiap bertemu atau penerimaan order selalu ditekankan, bahwa ini bukan sekadar bisnis. Namun, mencari keuntungan untuk kesejahteraan pekerja dan pengerajin.
Contoh yang diterapkan Mitra Bali selain uang muka 50% adalah upah pengerajin tidak pernah dibon. “Bekerja dengan pengerajin seperti mancing, sudah berani membuat bumbu duluan, pasti dapat ikan. Roh bisnis itu di pembayaran. Tidak boleh main-main. Kita membayar pengerajin, pengerajin membayar hasilnya,” tandasnya.
Untuk menghindari pekerja anak-anak, Jik Alit memastikan, siapa yang bekerja harus menyerahkan KTP, untuk mengetahui umurnya. Menurutnya harus punya kesadaran ke situ. “Kami tidak mau kalau barang kita dibuat oleh anak-anak. Kami bayar tukang juga tidak pernah membedakan, tukang perempuan atau laki-laki, tapi mempertimbangkan dari skill yang mereka punya,” tutup Jik Alit.
Nilai ekspor impor produk dari Bali mengalami penurunan tajam selama pandemi pada 2020, kemudian ada peningkatan pada 2021. Selengkapnya di data BPS berikut ini.