Di antara ramainya Jalan Teuku Umar, tiga tukang sedang menyiapkan toko baru.
Ada yang membersihkan lantai, mengecat dinding, juga menyiapkan meja kasir. Dinding toko tiga lantai tersebut dominan hitam. Mereka bersiap membuka toko baru.
Di lantai satu nanti akan jadi toko. Adapun di lantai dua akan jadi tempat nongkrong. Di lantai dua ini terdapat pula ruang khusus untuk studio.
Pertengahan September lalu, suasana masih berantakan. “Targetnya Oktober nantilah kami buka,” kata manajer toko Ady Hydrant tengah September lalu.
Toko di Jalan Teuku Umar, salah satu jalan tersibuk di Denpasar, merupakan cabang kelima bagi Rumble. Berdiri pertama kali di Kuta sepuluh tahun silam, kini Rumble telah memiliki cabang antara lain di Ubud, Batubulan, dan bahkan Yogyakarta.
RMBL, nama merek Rumble, kini menjadi salah satu produk fashion terkenal di kalangan anak muda Bali. Namun, dari sekadar produsen fashion, kini Rumble juga menyasar lain, kepedulian anak-anak muda pada isu lingkungan. Bersama organisasi advokasi lingkungan terkemuka Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Bali, Rumble menyebar kepedulian tersebut melalui program Eco Defender.
Adi menceritakan ide munculnya Eco Defender berasal dari diskusi antara dia dengan dua musisi lain, Prima Yudhistira vokalis band hip metal Geeksmile dan Ary Astina yang biasa dipanggil Jerinx, drummer band punk Superman is Dead (SID). Mereka ingin terlibat lebih banyak pada isu-isu sosial di Bali melalui musik.
Dari situ muncul nama Eco Defender. “Itu si Prima yang punya ide nama. Menurut kami bagus juga,” tambah Adi.
Jerinx mengatakan lahirnya Eco Defender adalah untuk memadukan antara fashion dengan perlawanan (rebel). “Banyak anak muda yang ingin terlihat rebel melalui pakaiannya. Namun, mereka justru tidak tahu bagaimana menyalurkan perlawanan tersebut di dunia nyata. Kami ingin menjembatani mereka,” kata Jerinx.
Salah satu kampanye aksi sosial saat itu adalah Siu Ajak Liu, urunan Rp 1.000 secara berkala untuk membantu murid-murid kurang mampu. Setiap Rp 1.000 dari uang pembelian pakaian kemudian disumbangkan ke anak-anak tidak mampu tersebut.
Dalam perjalanannya, menurut Jerinx, isu lingkungan di Bali ternyata lebih penting. “Lingkungan Bali mengalami eksploitasi akibat pariwisata berlebihan,” kata Jerinx.
Sejak itulah Rumble kemudian menggandeng mitra tetap, Walhi Bali. Alasannya, Walhi selama berjuang langsung di depan dalam isu advokasi lingkungan di Bali. “Mereka tidak main aman. Mereka melawan langsung di lapangan untuk membela lingkungan,” tambah Jerinx.
Meskipun berganti mitra, pola penggalangan dukungan oleh Eco Defender tetap sama. Mereka menyisihkan pendapatan dari setiap pembelian barang-barang di Rumble.
Produk-produk fashion ini beragam. Ada jeket, celana pendek, baju, kaos kaki, topi, kaca mata, hingga minyak rambut (pomade). Harga produk ini bervariasi. Sepotong baju misalnya sekitar Rp 300.000. Kaca mata Rp 700.000. Pomade Rp 150.000 per kaleng.
Besarnya uang yang disumbangkan tersebut Rp 4.000 untuk tiap pomade yang terjual dan Rp 2.000 untuk baju. Dalam sebulan, menurut Adi, Eco Defender menyumbangkan Rp 1 juta hingga Rp 2 juta kepada Walhi Bali.
Bentuk penggalangan dana juga dilakukan melalui konser-konser oleh para musisi. Akhir Agustus lalu misalnya ada konser yang diikuti para musisi punk dan indie Bali di mana seluruh hasilnya disumbangkan kepada gerakan advokasi lingkungan.
Bagi Walhi Bali, sumbangan ini sangat berpengaruh terhadap gerakan mereka. “Kami bisa mendapatkan suntikan logistik untuk advokasi-advokasi terhadap lingkungan,” kata Suriadi Darmoko, Direktur Walhi Bali.
Menurut Moko selama ini Walhi Bali bergerak dengan keterbatasan. Sumber dana mereka hanya dari sumbangan individu yang dibatasi maksimal Rp 300.000 per orang serta dari Walhi Nasional. Dengan sumber daya terbatas, mereka harus melakukan kerja-kerja advokasi secara intensif dan berkelanjutan.
“Hal terpenting dari dukungan Eco Defender ini adalah untuk membantah tuduhan bahwa Walhi Bali selama ini ditunggangi pihak tertentu dalam advokasinya,” Moko menambahkan.
Walhi Bali merupakan organisasi advokasi lingkungan terkemuka di Bali. Mereka paling bersuara keras jika ada rencana pembangunan yang dianggap rentan mengeksploitasi Bali. Misalnya privatisasi Taman Hutan Rakyat (Tahura) Ngurah Rai atau reklamasi Teluk Benoa.
Dalam advokasi tersebut, Walhi Bali kadang dituding telah ditunggangi kepentingan politik atau bisnis kelompok lain. “Eco Defender membuktikan bahwa Walhi Bali bisa didukung oleh pendanaan dari publik secara terbuka,” ujar Moko.
Sumbangan dari Eco Defender, biasanya diserahkan secara rutin oleh pihak Rumble kepada Walhi.
Namun, Eco Defender tak melulu tentang uang dan lingkungan. Menurut Jerinx, penggalangan solidaritas terhadap advokasi lingkungan juga untuk mengarusutamakan isu lingkungan di kalangan anak-anak muda.
“Kita bisa melihat sekarang bagaimana anak-anak muda di Bali merasa bahwa peduli lingkungan itu keren. Lihat saja anak-anak muda yang ikut aksi tolak reklamasi (Teluk Benoa). Mereka itu kan anak-anak muda yang ingin tampil keren dengan pakaian tapi juga ingin melawan,” ujar Jerinx.
Isu Eco Defender pun bisa lebih luas, tentang kemanusiaan. Juli lalu misalnya, Eco Defender membuat konser kemanusiaan bertema Love for Gaza. Pengisinya SID, Bintang, Nymphea, dan band-band lokal lain. Tiap pengunjung konser harus membayar tiket Rp 20.000. Seluruh hasil penjualan tiket kemudian disumbangkan untuk anak-anak Palestina korban serangan Israel.
Melalui musik, Eco Defender telah melintas batas isu dan agama. [b]