Oleh Luh De Suriyani, Yuko Utami, Ayu Rita, dan Ni Ketut Juniantari
Nyaris semua dari sekitar 17 pengelola media warga di Indonesia menyatakan pernah menghadapi berbagai bentuk ancaman terkait kerja-kerja mereka. Paling banyak ancaman kekerasan berbasis digital sebanyak 58% dan psikososial 16%.
Nyaris semua dari sekitar 17 pengelola media warga di Indonesia menyatakan pernah menghadapi berbagai bentuk ancaman terkait kerja-kerja mereka. Paling banyak ancaman kekerasan berbasis digital sebanyak 58% dan psikososial 16%.
Sebanyak 5% menyatakan pernah mendapat ancaman fisik, psikososial, dan digital. Sedangkan 5% lainnya belum pernah mendapatkannya.
Ini adalah hasil survei yang dilakukan media jurnalisme warga BaleBengong.id pada akhir November 2022. Menindaklanjuti diskusi terfokus yang dihelat sebelumnya, 25 November 2022.
Bentuk ancaman terbanyak adalah konten harus diturunkan/dihapus (33%), tidak bisa posting berita di media sosial (11%), dan bentuk lainnya masing-masing 5% seperti ancaman di lapangan, larangan meliput, dan WhatsApp semua pengurus dibajak.
Floresa.co, media alternatif bebadan hukum PT yang berbasis di Flores, NTT, kelimpungan ketika postingan berisi tautan (link) berita terbaru mereka menghilang di Facebook (FB) pada 10 November 2022 setelah diunggah sekitar 30 menit. Tidak hanya itu, berita bertajuk “Saudara Kembar Komodo yang Menolak Dipinggirkan Korporasi Bisnis Pariwisata” itu tidak bisa diunggah ulang lagi.
Ario Jempau, Pemimpin Redaksi Floresa heran. Tak berapa lama, beberapa warga memberitahu admin laman FB jika artikel itu hilang dan tidak bisa dibagikan. Ario mengakui jika page FB itu adalah medium yang paling banyak diakses untuk menyebar dan membahas berita-berita yang mereka publikasikan. Pengikutnya (followers) berjumlah sekitar 12 ribu akun.
Berita yang hilang dari FB itu adalah reportase usaha warga Pulau Komodo menghadapi keputusan pemerintah yang mengambil alih tanah dan membatasi ruang tangkapan laut mereka demi proyek-proyek investasi pariwisata. Hasil kolaborasi dengan Project Multatuli.
Sebelumnya, Floresa juga sudah mempublikasikan artikel-artikel lain terkait respon warga pada berbagai proyek strategis nasional di Flores, termasuk Pulau Komodo yang termasyur.
Keesokan harinya, pada 11 November, admin FB Floresa baru mendapat notifikasi bahwa unggahan itu tidak bisa dilihat oleh siapapun (no one else can see your post). “Pembaca juga dapat notif bahwa itu spam,” Ario heran. Tak hanya di FB, ketika memasang tautan berita yang sama di story Instagram (IG) pun ia gagal. FB dan IG berada dalam satu perusahaan yang sama, Meta.
“Kami awalnya berpikir dan berharap ini soal teknis saja tapi kami tidak menemukan kejanggalan. Page kami disebut melanggar standar komunitas FB. Apa yang sebenarnya dilanggar?” Ario heran. Padahal isi postingannya terkait hasil reportse kolaboratif. Floresa merasa sangat dirugikan karena FB adalah media komunikasi terbesar komunitasnya.
Ia sudah mengadu ke SAFEnet dan mengirim keluhan ke platform. Ario berharap ini hanya masalah teknis bukan intervensi terhadap kerja-kerja jurnalistik Flores. Sebagai langkah antisipasi, pihaknya juga sudah menguatkan keamanan website.
Selain masalah digital, Floresa juga beberapa kali menghadapi ancaman saat liputan. Salah satunya saat menyuarakan protes warga korban penggusuran untuk proyek strategis nasional.
Tindakan represif yang dialami jurnalis Floresa.co terjadi warga Desa Macang Tanggar, Manggarai Barat hendak menyampaikan aspirasi mereka kepada Presiden Joko Widodo. Ketika itu rombongan Presiden melintas untuk peresmian proyek Stasiun Pengolahan Air Minum (SPAM) di Wae Mese, Nggorang. Warga Macang Tanggar merupakan korban penggusuran rumah, sawah dan kebun untuk proyek jalan menuju lokasi proyek strategis nasional Golo Mori.
Warga sudah memberi tahu aparat soal rencana pembentangan spanduk protes ini pada 18 Juli 2022 dengan menemui aparat TNI di Koramil Komodo. Kala itu aparat meminta tidak melakukan aksi, tetapi dengan cara bersurat resmi di mana pihak TNI berjanji untuk memfasilitasinya. Warga pun menuruti dan ditandatangani tetua desa. Namun warga merasa memiliki hak untuk bersuara langsung.
Warga pun akhirnya membentangkan spanduk pada 22 Juli 2022. “Ini cara kami paling putus asa supaya Bapak Jokowi tau ada persoalan di proyek jalan strategis nasional, rumah orang dibongkar dan tidur di tenda sampai hari ini. Tidak ada tanda-tanda ganti rugi. Semua pejabat yang kami datangi katakan tidak ada ganti rugi,” ujar Doni kepada salah seorang aparat. Pernyataan ini yang direkam jurnalis Floresa.
Doni, Nalis, dan Tua Adat Cumbi ditarik oleh beberapa aparat dan dibawa ke Polsek Komodo menggunakan mobil Avanza putih. Peristiwa ini terekam jurnalis, termasuk Ario Jempau, Pemimpin Umum Floresa.co.
Aparat memerintahkan Jurnalis Floresa.co membuka masker dan memeriksa identitas pers. Sejumlah aparat kemudian mengerumuni dan memaksa mengambil handphonenya. Berkali-kali jurnalis Floresa menolak, tetapi kemudian tak kuasa karena dalam tekanan. Jurnalis ini dipisahkan dari kelompok jurnalis lain, digiring ke kebun jati.
Pemeriksaan isi HP oleh aparat berlangsung sekitar 15-20 menit. Sebelum dikembalikan sejumlah foto dan video dihapus antara lain Foto Gubernur NTT sedang bersalaman dengan Presiden Joko Widodo. Juga foto, video, dan rekaman suara aksi warga yang protes. Aparat juga menginterogasi jurnalis Floresa, termasuk menanyakan tempat tinggal dan tempat asal. Jurnalis diminta menunjukkan KTP dan SIM untuk difoto sebelum dilepaskan.
Ario mengatakan proses advokasi tidak berlanjut karena proses pengaduannya tidak memungkinkan. “Alasannya kurang bukti saksi karena waktu itu saya sendiri, ada teman tapi dari jauh,” ceritanya.
Ia berharap untuk memitigasi peristiwa kekerasan lain, berencana mendaftarkan diri ke organisasi jurnalis seperti AJI. Namun, hambatannya adalah AJI terdekat berada di pulau lain, yakni AJI Kupang di Pulau Timor. Sedangkan Floresa di Labuan Bajo, Pulau Flores. Karena itu isinya banyak mengkritisi sejumlah pembangunan yang digenjot saat ini sebagai destinasi pariwisata Bali baru.
Kebutuhan lain adalah pelatihan keamanan digital karena serangan jenis ini makin beragam pada karya jurnalistik dan media sosial medianya. “Bagaimana caranya bisa hidup dengan spirit jurnalistik dan secara de jure masuk,” harapnya.
Intimidasi pada media warga di Pekalongan
Berbagai ancaman juga dialami Warta Desa, media berbasis jurnalisme warga di Pekalongan, Jawa Tengah. Media ini berbadan hukum Yayasan Gema Desa Nusantara dengan visi terciptanya kebebasan berpendapat dan tersuarakannya kepentingan masyarakat marjinal.
Didiek Harahab, Pemimpin Umum Warta Desa mengaku sering mengalami ancaman fisik maupun psikis.
Ia mencontohkan 3 peristiwa, 2 berdasarkan berita dan satu ancaman saat sedang mengumpulkan data. Berita pada 2017 ini https://www.wartadesa.net/benar-benar-terjadi-nomor-plat-motor-anggota-polisi-persis-warga-kepatihan/ berujung ancaman aparat. Warta Desa menulis dan menindaklanjuti postingan warga di media sosial tentang keanehan ada plat kendaraan yang sama persis dengan motornya. Anehnya, plat itu digunakan oleh seorang polisi.
“Kita buat berita konfirmasi ke oknum aparat tersebut namun dia tidak memberikan keterangan, akhirnya kita posting beritanya dan boom viral, selang setengah jam web kita gak bisa diakses,” kisahnya. Mereka berupaya memulihkan website keesokan harinya. Didiek ditelpon mengaku dari Polres untuk menurunkan berita, dan dipersilakan menggunakan hak jawab.
Setelah itu ada ancaman lain juga datang jika tidak menurunkan berita. Sampai akhirnya kepolisian mau memberikan hak jawab. Peristiwa intimidasi ini diakui sangat menguras energi dan membuat takut. Apalagi di saat bersamaan Warta Desa juga menulis soal pembangunan jalan Tol di Pekalongan khususnya keluhan warga yang belum mendapat kompensasi ganti rugi. Ada juga ancaman lewat telpon, dan ini dinilai berdampak secara psikis.
Berita lain yang menuai ancaman adalah tentang keanehan dari bantuan Program Keluarga Harapan (PKH). Seorang warga harus menandatangani tanda terima rapel padahal baru menerima sekali, bahkan dari data ia menjadi penerima sejak 2015 namun baru menerima pada 2020.
https://www.wartadesa.net/susilowati-mana-penerima-pkh-desa-wiroditan/
“Kami investigasi ternyata itu dimainkan oleh oknum PKH-nya. Jumlah korban cukup banyak bukan hanya 1-2 orang tapi kita hanya menampung aduan dari masyarakat berkaitan dengan hal tersebut,” jelas Didiek.
Redaksi juga menerima ancaman lewat telepon. Si pengancam akan melaporkan ke presiden dan pihak lain. Namun redaksi terus mengawal kasus ini sampai warga yang melapor itu mendapat haknya, semua nilai PKH. Inilah yang membasuh pengorbanan mereka.
Terkait kekerasan fisik, pengeroyokan hampir terjadi pada 2021 saat redaksi sedang menelusuri sejumlah kasus pungutan liar di desa dan dilakukan oleh oknum kecamatan dan kabupaten secara sistematis. Saat mengumpulkan data, rumah Didiek didatangi sekelompok orang mengaku ormas yang cukup besar di Indonesia dengan seragam loreng-loreng. “Saya didatangi ke rumah lebih dari 50 orang. Saya diancam untuk tidak meneruskan. Pokoknya disuruh jangan mengurusi masalah seperti itu,” tuturnya.
Kabarnya setiap pencairan dana desa maupun alokasi dana desa harus ada setoran ke oknum-oknum tersebut. Usut punya usut orang itu anggota ormas itu. Akibatnya, berita pungli diurungkan naik. Didiek menindaklanjuti dengan membuat laporan ke Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo dan direspon langsung oleh inspektorat provinsi kemudian turun ke inspektorat kabupaten.
Beberapa hari kemudian redaksi kembali dapat ancaman lewat telepon untuk mencabut laporan itu. “Selama ini kita hanya memang modal nekat aja sih. Selama berpendirian berprinsip bahwa menyampaikan kebenaran yo kita nggak ada takutnya. Walaupun sebenernya dalam hati kecil ada takutnya karena kita tidak punya perlindungan hukum. Secara hukum kita kan lemah,” ia prihatin.
Menurutnya media jurnalis warga istilahnya tidak ada yang backing secara perlindungan lembaga karena mandiri. Didiek menimbang ia lebih takut ancaman hukum dibanding fisik, karena memikirkan keluarga yang ikut repot memikirkan ancaman pidana jika digugat.
Di sisi lain, Warta Desa yang sudah berusia 6 tahun ini cukup berani bersuara karena memiliki mekanisme keanggotaan untuk jurnalis warganya, dan menggunakan kode etik jurnalistik.
Didiek mengatakan belum pernah minta mediasi ke Dewan Pers karena merasa tidak punya akses. Secara personal, ia juga tertarik menjadi anggota AJI kota terdekat dan sudah menyampaikan hal ini ke AJI kota di Jawa Tengah.
Tak hanya redaksi, juga advokasi
Suka duka mengelola media warga tak hanya sekadar menjalankan redaksi. Juga advokasi, terutama pendampingan warga. Dian, pengelola radio Marsinah FM yang fokus pada hak-hak pekerja pernah mengalami kekerasan digital ketika sejumlah nomor whatssapp pengelola diambil alih. Radio dan website memuat berita-berita terkait regulasi dan kasus-kasus buruh. Ia belum bisa memastikan apakah upaya pengambilalihan WA ini terkait berita atau kasus pendampingan.
Mereka kerap mendapat intimidasi dari pelaku kekerasan atau suami korban kekerasan dalam rumah tangga pada buruh perempuan. “Kami terbiasa dengan ancaman psikis. Untuk kesehatan mental kami masih awam,” ujarnya. Jika korban membutuhkan layanan konseling, dirujuk ke lembaga terkait seperti Yayasan Pulih. Marsinah FM membuat Posko Layanan Perempuan dan materi podcast untuk menindaklanjuti pemberitaan dan pelaporan.
Media-media warga yang berbasis komunitas marjinal lainnya juga rentan. Sri dari Solider.id, media yang dikelola dan fokus pada pemberitaan isu disabilitas beberapa kali merasa didiskriminasi saat liputan. Terutama di lembaga-lembaga publik. Ia kerap diminta kartu pers yang dikeluarkan Dewan Pers. Kartu ini biasanya diterbitkan jika sudah lulus uji kompetensi wartawan oleh Dewan Pers.
Diskriminasi lain adalah tidak diperbolehkan liputan karena menulis dari sudut pandang korban. “Lokasinya dipindahkan, saya merasa dibohongi. Kenapa media lain yang pro bisa. Saya ditanya legalitas dan dintrogasi dari awal,” keluh Sri.
Ada juga berita yang diminta diturunkan, tentang difabel yang tidak bisa masuk universitas padahal ada jalur khusus difabel. Berita ini menarik perhatian warga dan Solider mendapat dukungan. Kampus mau memperbaiki, Solider diundang untuk meliput.
Kasus-kasus diskriminasi ini membuatnya merasa tidak percaya diri 100% meliput. Selain pengakuan, Sri membutuhkan perlindungan yang sama dengan media lain. “Walaupun kita medianya ini masih berbasis komunitas tapi kami di lapangan seperti media lainnya. Isu-isu yang di kalangan mereka belum terdengar kita sudah dengar,” lanjutnya.
Di Bali, ada media berbasis jurnalisme warga, Tatkala.co.id yang juga pernah diminta menurunkan artikel karena konten ini di medsos mendorong pro kontra. Kami melihat bagaimana redaksi Tatkala bekerja di sekretariatnya Singaraja, Kabupaten Buleleng, sekitar 3 jam berkendara dari Kota Denpasar.
Adnyana Ole, Pemimpin Redaksi Tatkala merasa sejumlah orang tidak bisa membedakan artikel opini dengan berita. Sementara jika bentuknya berita dan ditulis warga mengabarkan masalahnya, Ole berhati-hati mempublikasikan karena riskan.
Ia mencontohkan beberapa berita terkait guru yang tidak puas dengan kinerja kepala sekolah atau warga yang mengkritisi kepala desanya. Ole menyebut medianya cukup “cari aman” karena lebih fokus ke gerakan literasi dan kepenulisan sastra. “Kalau kamu kritis harus bisa menulis kritik dengan bagus,” sebutnya terkait kelengkapan data.
Untuk mendorong warga percaya diri menulis di tengah perasaan terancam jika diprotes, ia menjelaskan kemungkinan yang terjadi jika tulisan itu dipublikasikan. “Ada proses pembelajaran ketimbang saya memaksa mereka mengahdapi persoalan itu kan saya yang berdosa itu. Misalnya meminta jurnalis warga itu memikul persoalan dan jadi beban,” jelas Ole.
Tulisan lain yang diminta diturunkan adalah artikel soal gender yang menyinggung persoalan perempuan Bali dan laki laki Bali. Ini sempat menimbulkan polemik sekitar 2016 dengan ancaman mau dilaporkan ke Polda.
Ia menyayangkan pembaca yang marah karena tidak membaca utuh namun komentarnya di media sosial memprovokasi warga lain. Misalnya tulisan di-screen shot, dipotong satu paragraf saja lalu disebarluaskan lewat WA. Hal ini menurutnya lebih mengerikan. Sedangkan jika oknum pemerintah protes pada satu artikel, biasanya hanya menelpon dan menanyakan isinya dan minta hak jawab. Padahal artikel itu opini tentang alih fungsi lahan.
Rofahan, Kepala Divisi Advokasi Jaringan Media Komunitas Indonesia menyatakan kasus-kasus ancaman lebih banyak karena berita yang dimuat di website bukan siaran radio komunitasnya. Misalnya artikel yang dinilai tidak cover both side. Jika ada kasus yang perlu advokasi, mereka mengontak jaringan di LSM atau pemerintahan. Misal kasus kekerasan perempuan diarahkan ke LBH Women Crisis Center.
Ia sendiri pernah diprotes setelah medianya, Teras Warga, berbasis di Cirebon, memuat berita penyalahgunaan Program Keluarga Harapan. Bisa direspon karena memiliki data cukup kuat dan berbasis aduan dari sekolah.
Saat itu camat marah karena mareka merasa terpojokkan. Badan Pemeriksa Keuangan pun turun tangan. Redaksi mengundang kepala sekolah yang merasa datanya bermasalah di kecamatan untuk diskusi.
Rofahan mengelola media untuk mendorong warga menyampaikan temuan menarik yang tidak mungkin dimuat media kebanyakan. Awalnya berupa akun media sosial yang dikelola mahasiswanya setelah dilatih membuat konten singkat. Dengan follower di FB sekitar 110 ribu, akun ini jadi rujukan informasi singkat antar warga. Bahkan ada WAG beranggotakan warga untuk mengumpulkan laporan warga.
Misalnya ada laporan modus baru penipuan oleh kurir ekspedisi barang. Tak heran FB akun ini bisa dimonetisasi dan informasinya kerap jadi rujukan jurnalis Cirebon.
Namun, ada satu postingan yang membuat akun FB-nya kena banned dengan notifikasi mempublikasikan konten kekerasan seksual. Menurutnya ini video yang dilaporkan warga korban kekerasan seksual untuk dapat bantuan pengacara kondang. Gambarnya juga sudah di-blur namun tetap diaggap bermasalah. Dari kasus ini, penghasilan dari FB pub berkurang karena terjadi penurunan trafik. Biasanya 10-15 juta jangkauan per bulan kini jadi 500 ribuan saja.
Rofahan tidak mengerti bagaimana menangani kasus seperti ini ke platform. Mereka juga kerap dapat informasi penemuan identitas KTP dan SIM namun oleh FB dianggap melanggar privasi walau foto sudah ditutup. “Jadi bingung,” keluhnya.
Ia mengakui kalau mendapat masalah karena konten media sosial tidak bisa melapor ke Dewan Pers. “Kalau ada permasalahan, saran saya dihapus saja. Situs portal mungkin bisa didampingi,” ujarnya.
Ario menambahkan, kasusnya pernah dimediasi Dewan Pers karena diadukan oleh bupati. Floresa dinyatakan melanggar kode etik. Berikutnya ada pemberitaan kasus korupsi yang melibatkan sejumlah pejabat. Juga dinyatakan bersalah walau informasi yang dipublikasikan sesuai dengan yang disampaikan narasumber namun bukti rekamannya hilang.
Ia pernah hendak mendaftarka media di Dewan Pers namun syarat administrasinya dirasakan sangat rumit karena media komunitas pendiriannya berbasis idealisme bukan keuntungan. “Salah satu usulan kami adalah kalau Dewan Pers tidak bisa mengakomodir kita bisa dibuatkan regulasinya media berbasis komunitas supaya bisa dapat perlindungan,” harapnya.
Wahyu, pengelola media Nggalek.co di Trenggalek kerap meliput aksi-aksi warga menolak tambang emas di daeranya. Ia mengantisipasi ancaman kekerasan dengan berjejaring dengan kelompok warga, LSM, dan media-media lain. Misalnya membuat liputan bersama. Ancaman dari pihak investor tambang di antaranya membuat narasi-narasi warga untuk pro tambang.
Demikian juga Utsman dari ForBanyuwangi.org. Ia berhati-hati karena jurnalisme warga pasti memihak warga. Pemilihan media jenis ini menurutnya sesuai karena keberpihakannya jelas, terutama dalam kasus-kasus eksploitasi pertambangan di daerahnya. “Kami memposisikan wacana di akar rumput untuk mengimbangi komedi arus utama yang hanya mengeksplorasi persoalan elite,” katanya. Ia tidak mau terjebak pada klaim media legal atau tidak, karena tehadang proses administrasi.
Menuntut perlindungan
Hasil survei tentang ancaman dan upaya perlindungan media warga menyatakan, kebanyakan pengelola media warga berupaya mengantisipasi dan menangani ancaman yang diterimanya dengan sejumlah cara. Terbanyak adalah melapor ke organisasi pendampingan, misalnya SAFEnet, AJI, lainnya (42%), lainnya masing-masing 5% adalah menyusun strategi hukum dan melaporkan ke platform/medsos. Namun tak sedikit yang membiarkan ancaman yang diterima (21%).
Sedangkan untuk upaya advokasi paling mendesak yang diharapkan adalah Dewan Pers membuat peraturan khusus tentang pendataan/perlindungan media warga (58%), terbentuknya jaringan pegiat media warga di Indonesia 26%, dan jaringan media warga membuat self regulation 16%.
Jika anda mengelola media warga atau media komunitas dan ingin terlibat dalam survei pemetaan ancaman dan perlindungan, silakan buka link s.id/ancamanmediawarga
Ninik Rahayu, Anggota Dewan Pers, Ketua Komisi Penelitian, Pendataan dan Ratifikasi Pers Periode 2022-2025 yang dikonfirmasi dengan wawancara lewat telepon pada 5 Desember 2022 menyatakan sepanjang redaksi dan karya jurnalistik memiliki kompetensi, pihaknya wajib memberikan perlindungan.
Ia mengakui Dewan Pers belum memiliki mekanisme khusus untuk jurnalisme warga dan jurnalisme masyarakat, termasuk jurnalis mahasiswa yang bukan profesional misalnya terkait standar media dan standar kompetensi wartawan. Pengukurannya saat ini adalah apakah patuh apa tidak dengan Kode Etik Jurnalistik.
Regulasi khusus untuk perlindungan media warga atau media komunitas belum bisa dilakukan karena menurut Ninik harus memenuhi syarat yakni media profesional, wartawannya kredibel, serta harus berbadan hukum. Dewan Pers saat ini sedang menyusun skema perlindungan jurnalisme mahasiswa karena berada di bawah perguruan tinggi. “Jurnalisme warga berikutnya yang kita pikirkan. Akan mengubah banyak hal. Karena prasyarat lembaga media adalah berbadan hukum. Sebuah identitas, legal standing,” sebutnya. Media profesional menurut Ninik adalah yang memiliki kompetensi, persyaratan administratif, dan kontennya. “Menjadi seorang jurnalis memerlukan kompetensi tertentu, walau semua orang bisa melakukan. Yang bisa mendapat perlindungan harus memiliki kompetensi,” lanjutnya terkait dengan sertifikasi kompetensi.
“Jurnalisme warga berikutnya yang kita pikirkan. Akan mengubah banyak hal. Karena prasyarat lembaga media adalah berbadan hukum. Sebuah identitas, legal standing,” Ninik Rahayu
Bentuk badan hukum yang bisa didata Dewan Pers adalah yayasan, PT, dan koperasi. Tujuannya harus terkait pers, tidak dicampur dengan usaha. “Walau nonprofit, kan memerlukan biaya, tetap harus diupayakan lalu dikonsultasikan” ujarnya terkait pendaftaran usaha pers.
Sementara itu Sasmito Madrim, Ketua Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia mengatakan sejak Kongres di Solo pada 2017, secara organisasi AJI sudah mengakui atau mendeklarasikan diri bisa menerima anggota dari jurnalis warga. Jurnalis warga itu bisa dari tpers mahasiswa, warga yang membuat media komunitas atau buruh yang membuat media buruh.
“Untuk saat ini memang baru AJI yang mengakomodir jurnalis warga menjadi tanggungannya. Beberapa konstituen Dewan Pers lainnya belum menerima mereka menjadi anggota,” urai Sasmito.
Namun, pengelompokkan media berdasarkan kualitasnya pernah dilakukan Dewan Pers dalam skema kuadran. Misal kuadran satu adalah media yang menjalankan jurnalisme sesuai kode etik. Berikutnya kuadran 2 adalah mereka yang sudah lolos memenuhi standar dalam pembuatan karya jurnalistik. Sementara kuadran 3 dan 4 adalah pelanggar profesi dan kode etik. Karena itu, menurut Sasmito, Walau kuadran dua ini tidak berbadan hukum tapi dia harus tetap mendapat perlindungan dari Dewan Pers karena produknya adalah karya jurnalistik.
“Yang dilihat adalah karya jurnalistiknya. Bukan badan hukum dan sebagainya, itu yang kita dukung ya,” tegasnya.
Ia mengakui beberapa komisioner Dewan Pers memiliki perbedaan perspektif menilai kelayakan media. Ada beberapa komisioner yang patokannya sangat administratif. Kalau misalnya sudah berbadan hukum diyakini pasti sudah menghasilkan karya jurnalistik yang baik. Padahal, lanjut Sasmito, di lapangan tidak seperti itu. Media yang sudah berbadan hukum kadang membuat karya bukan karya jurnalistik tapi konten lain. Sama dengan content creator.
Jika content creator ingin dapat perlindungan UU Pers maka yang harus dipatuhi adalah kode etik jurnalistik. “Ini yang saya pikir belum selesai di pegiat jurnalisme warga ya, jadi ada beberapa yang ingin mendapat perlindungan dari UU Pers tapi tidak mau menaati kode etik jurnalistik,” imbuhnya.
Sasmito menyatakan AJI akan mendorong di Dewan Pers, sebuah mekanisme perlindungan terhadap jurnalisme warga ini. Saat ini AJI menagdvokasi perlindungan untuk pers mahasiswa yang juga banyak mendapat ancaman pidana dan kekerasan karena karyanya.
Jeratan UU ITE
Laporan Tahunan Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia 2021 menyoroti makin kuatnya ancaman pidana pada jurnalis. Di sisi lain, dari 44 kasus kekerasan pada jurnalis, hanya satu yang baru diperiksa di pengadilan.
Dua jeratan hukum itu adalah UU No.19 Tahun 2016 tentang Perubahan Atas UU No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) dan stempel hoaks dari otoritas pada karya jurnalistik. Seorang jurnalis asal Palopo divonis tiga bulan karena dianggap melanggar Pasal 37 UU ITE. Bahkan ada 44 perkara yang dikoordinasikan Kepolisian ke Dewan Pers terkait persoalan UU ITE.
Hal ini menjadi kerisauan karena pedoman pers Undang-undang Republik Indonesia Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers dan Kode Etik Jurnalistik tidak jadi pedoman utama. Dalam UU Pers, yang dimaksud dengan pers adalah lembaga sosial dan wahana komunikasi massa yang melaksanakan kegiatan jurnalistik meliputi mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi baik dalam bentuk tulisan, suara, gambar, suara dan gambar, serta data dan grafik maupun dalam bentuk lainnya dengan menggunakan media cetak, media elektronik, dan segala jenis saluran yang tersedia.
Uraian ini bersinggungan dengan apa yang dimaksud dengan informasi elektronik dalam UU ITE adalah segala jenis data elektronik, tak terbatas pada tulisan. Dalam draft naskah revisinya, UU ini juga dinilai masih bermasalah karena masih mempertahankan pasal-pasal represif. Koalisi Serius Revisi UU ITE dari belasan organisasi termasuk AJI meminta hal itu direvisi.
Di antaranya pasal kesusilaan (pasal 27 ayat 1), perjudian (pasal 27 ayat 2), pencemaran nama (pasal 27 ayat 3), pengancaman (pasal 27 ayat 4), berita bohong yang menimbulkan kerugian konsumen (pasal 28 ayat 1 dan 2), ujaran kebencian atas dasar SARA (pasal 28A ayat 1 dan 2), pengancaman (pasal 29), pemberatan perbuatan pada pasal 30 sampai 34 (pasal 36). Apalagi ada norma baru yang dimasukkan pemerintah yakni pasal yang mengatur tentang pemberitahuan bohong yang menimbulkan keonaran (pasal 28A ayat 3).
Tak heran, berita-berita yang kini dominan dipublikasikan online kini berisiko jadi obyek gugatan dengan menggunakan UU ITE. Padahal, pedoman hukum dalam sengketa pers adalah UU Pers.
Pasal 4 UU Pers dengan jelas menyatakan (1) Kemerdekaan pers dijamin sebagai hak asasi warga negara. (2) Terhadap pers nasional tidak dikenakan penyensoran, pembredelan atau pelarangan penyiaran. (3) Untuk menjamin kemerdekaan pers, pers nasional mempunyai hak mencari, memperoleh, dan menyebarluaskan gagasan dan informasi. (4) Dalam mempertanggungjawabkan pemberitaan di depan hukum, wartawan mempunyai Hak Tolak.
Sebagai upaya mitigasi lainnya, Aris Harianto dari Combine RI di Jogja, lembaga yang mendampingi jaringan radio komunitas, mengusulkan jaringan media warga membuat self regulation yang terdesentralisasi. Tujuannya agar pengelola media warga tetap semangat memproduksi konten bermutu. Karena menurutnya tak sedikit penegak hukum tidak memahami jurnalisme ketika menerima laporan. “Kalau ada masalah yang ditanya kamu dari media mana bukan beritanya. Itu yang susah,’ keluhnya.
Berikutnya menguatkan solidaritas antar jurnalis warga. Laporan-laporan kekerasan pada jurnalis yang dibuat organisasi pers atau pendamping kasus menyertakan kekerasan pada media warga atau komunitas.
Nenden S. Arum dari SAFEnet yang kerap mendampingi kasus serangan digital mengakui tidak ada basis data khusus terkait kasus-kasus di kalangan media warga dan komunitas, semua data terkait jurnalis jadi satu, belum terpilah.
Penanganan ancaman dan serangan digital menurutnya harus holistik. “Banyak yang nggak tahu harus ngapain kalau kena serangan digital, nggak tahu harus ke mana. Penting jadi upaya bersama agar bantuan itu bisa sampai dari tingkat lokal bahkan lebih mikro,” harapnya.
Adanyana Ole, Pemimpin Umum media warga Tatkala di Bali menyentil regulasi yang harusnya melindungi, bukan mengancam. “Kalau tidak didaftar bukan dianggap wartawan. Karyanya harus dilindungi agar tidak dikriminalisasi UU lain,” serunya.
Tak heran, pertanyaan yang selalu dihadapinya sebagai pengelola redaksi adalah ketakutan. Kalau nulis begini saya bisa kena apa? Mestinya, jika saya menulis begini, dilindungi nggak? Artinya regulasi banyak mengancam,” keluh jurnalis senior di Bali yang sebelumnya bekerja di jaringan media besar Bali Post Group ini.
Link story maps:
Penelitian Dampak dan Posisi Media Warga
Sejumlah pihak sudah meneliti dampak dan bagaimana media warga dikelola dari berbagai sudut pandang. Hal ini membuktikan bagaimana pengaruh media warga untuk memberdayakan dan memberi suara.
Perkembangan teknologi telah memainkan peran besar untuk jurnalisme warga. Balebengong merupakan salah satu contoh media cyber citizen journalism lokal. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk memahami bagaimana praktik ruang publik di media siber lokal Balebengong. Teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah jurnalisme warga dan ruang publik. Dengan paradigma interpretif dan metode kualitatif, penelitian ini menggunakan wawancara dan data online. Objek penelitian adalah media siber lokal Balebengong dan key informan yang merupakan kontributor dan redaktur Balebengong. Implikasi dari penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan bagi media tradisional dalam memberikan porsi ruang publik atau citizen journalism yang lebih banyak lagi agar publik juga dapat berpartisipasi dalam berbangsa. Hasil dari penelitian ini adalah Balebengong telah menyediakan ruang publik yang cukup bagi anggota masyarakatnya untuk berkontribusi di dalamnya.
Artikel ini membahas teori demokrasi deliberatif, ruang publik dan komunikasi pemerintah, dan menyelidiki cara-cara di mana komunikasi pemerintah dapat dilakukan untuk memperkuat dan meningkatkan demokrasi deliberatif, dalam konteks jurnalisme yang lebih luas. Artikel ini dimulai dengan melakukan survei yang diperluas dari model normatif ruang publik, seperti yang digariskan oleh Jürgen Habermas, dan memperhitungkan karyanya selanjutnya tentang sentralitas proses deliberatif ke ruang publik. Pada paruh kedua, artikel tersebut menerapkan konsepsi Held tentang peran komunikasi pemerintah dalam penguatan demokrasi deliberatif, dan mencoba membuat argumen normatif tentang bentuk komunikasi pemerintah tertentu.
Selama beberapa dekade terakhir, lingkungan media telah berubah secara radikal. Di antara perubahan yang paling signifikan adalah munculnya teknologi media interaktif, yang menimbulkan pertanyaan baru tentang bagaimana pengaruh terhadap konten media telah berubah. Pada saat yang sama, perubahan dalam teknologi media dan bagaimana perubahan tersebut dapat mengubah pengaruh terhadap berita tidak boleh dipahami secara terpisah dari perubahan lain dalam lingkungan media. Dengan latar belakang ini, tujuan dari makalah ini adalah untuk menyelidiki seberapa besar pengaruh yang dianggap wartawan berasal dari berbagai aktor; bagaimana mereka memandang perubahan dari waktu ke waktu; dan apakah jurnalis yang bekerja dengan penerbitan online berbeda dalam hal ini dari jurnalis lain. Antara lain, penelitian ini menunjukkan bahwa kelompok yang paling berpengaruh adalah jurnalisme warga.
Perkembangan media komunikasi dewasa ini menimbulkan tantangan baru di kalangan institusi media. Penulis tertarik untuk mengetahui Strategi BaleBengong dalam membentuk citranya sebagai media jurnalisme warga melalui media sosial Twitter dan Blog. Penulis menggunakan metode deskriptif kualitatif dengan snowball sampling untuk melakukan penelitian ini. Melalui akun media sosialnya, BaleBengong mengajak masyarakat untuk berbagi informasi secara terbuka tanpa aturan yang ketat, namun tetap dengan penuh tanggung jawab. Strategi komunikasi Balebengong untuk membentuk citranya sebagai media citizen journalism dituangkan secara verbal dan non verbal. Sebelum strategi komunikasi terbentuk, Balebengong dengan bantuan Sloka Institute melakukan penelitian tentang kebiasaan masyarakat Bali di media sosial. Berdasarkan penelitian tersebut, BaleBengong kemudian membentuk strategi komunikasinya, khususnya melalui media sosial. Strategi komunikasi verbal yang dilakukan BaleBengong terlihat pada tweet dan artikel blog mereka. Nama dan logo BaleBengong diambil dari sebuah bangunan tradisional Bali di mana orang dapat berbicara pikiran mereka dan berbagi informasi tanpa hambatan sosial yang ketat.
Jurnalisme Warga atau Citizen Journalism, istilah tersebut sudah tidak asing lagi didengar oleh masyarakat Indonesia ditengah perkembangan dunia digital. Setiap orang mempunyai kesempatan menjadi seorang jurnalis, untuk membagikan informasi di lingkungan sekitarnya kepada khalayak luas.
Jurnalisme warga merupakan praktek jurnalisme dimana masyarakat awam dapat menyampaikan informasi mengenai penulisan berita, wawancara, menayangkan foto atau video tentang sebuah peristiwa untuk kebutuhan jurnalisme arus utama atau independen. Selain itu, jurnalisme warga menawarkan keterampilan bagi siapa saja untuk bekerja atau sekedar menyampaikan informasi di media warga (Eddyono, 2020, h. 30-32).
Menurut Lasica (dalam Sukartik, 2016, h.12) citizen journalism terbagi menjadi lima bentuk, yaitu partisipasi audiens, berita independen atau informasi yang ditulis dalam website, partisipasi di berita situs, tulisan ringan dalam milis dan e-mail dan situs pemancar pribadi.
Persepsi jurnalis di Bali terhadap nilai berita jurnalisme warga (citizen journalism) dianggap sebagai wadah aspirasi masyarakat dalam memberikan beragam informasi dan dianggap mampu?berperan dalam membantu jurnalis media mainstream dalam penyebaran setiap informasi atau berita. Hal tersebut dibuktikan melalui skor rata-rata dalam pernyataan di setiap indikatornya yang?memiliki nilai positif.
Ada tiga aspek Kode Etik Jurnalistik (KEJ) yang menjadi fokus analisis, yaitu keberimbangan, akurasi dan independensi. Pada aspek keberimbangan 56,8% dari 872 berita yang dijadikan sampel. Sedangkan di BaleBengong porsi keberimbangan mencapai 79,56%. Aspek keberimbangan ini ditafsirkan dari “kutipan narasumber proporsional” pada pasal 1 dan 3.
Pada aspek akurasi, kedua media komunitas yang menjadi objek sudah memiliki catatan yang bagus. Aspek ini diturunkan dari pengertian kesesuaian keadaan objektif pada saat terjadi dan telah memenuhi kelengkapan berita 5W+1H. Ditemukan 95,30% Warta Desa sudah memenuhi aspek akurasi. Sementara BaleBengong memenuhi aspek ini sebesar 91,16%. Dari temuan ini artinya, kedua media komunitas memenuhi aspek akurasi yang baik.
Kemudian, diuji dari aspek independensi, kedua media komunitas yang diteliti menunjukkan independensi yang baik. Tidak lebih dari 20% logo sponsor yang mengisi ruang laman website mereka. Kehadiran logo sponsor yang berada di aman website BaleBengong dan Warta Warga bersifat rekanan.
Dari hasil temuan melalui analisis isi pada laman website kedua media komunitas, yakni BaleBengong dan Warta Warga, Ferdhi dan Lamia dapat menemukan bahwa media komunitas telah menyediakan ruang publik. Hal ini diuji dengan pemenuhian tiga aspek lain, yakni monitoring, partisipasi dan akuntabilitas
Liputan ini didukung PPMN dan Jaring.id.