Ayah angkat saya punya teman pendeta Kristen, namanya Om Runkaat. Beliau bertugas di Gereja Pantekosta di Negara, Jembrana, Bali. Setiap Natal tiba, ayah saya diundang menghadiri perayaan di gereja tersebut. Meski terlahir sebagai pemeluk Hindu, ayah tidak merasa keberatan datang ke gereja, ikut merasakan damai-sukacita atas kelahiran Sang Juru Selamat.
Saya menemani ayah ke gereja. Waktu itu saya duduk di sekolah menengah pertama. Masa itu, keberagaman tidak sekadar teori dan wacana tetapi dipraktikkan dalam keseharian. Dialog antar-iman yang ramai dibicarakan sekarang sudah dilakukan sejak dulu. Dibandingkan wilayah lain di Bali, Jembrana memang lebih heterogen.
Sejak ratusan lalu, warga lokal hidup berdampingan dengan suku lain: Melayu, Bugis, Arab, Cina, Jawa, dan Madura. Hidup damai dan toleran. Perbedaan tidak menjadi hal tabu. Bahkan, akulturasi agama dan budaya terjadi secara alami, tidak menjadi persoalan yang berarti.
Ikut dalam kebaktian di gereja, menjadi sebuah pengalaman yang lekat di ingatan bahkan setelah puluhan tahun berlalu.
Sekitar usia 6 tahun, saya pertama kali ‘mengenal’ sosok Yesus. Potretnya tergantung di dinding rumah sekaligus warung milik Ibu Lidya, tetangga kerabat saya. Tidak ada pertanyaan tentang siapa Yesus. Saya seakan paham, wajahnya yang teduh begitu meneduhkan. Dalam pemahaman anak kecil, hanya ada satu kata; beliau orang suci. Kesuciannya tergambar dalam potret.
Ashram Gandhi
Saat lulus SMA, saya melanjutkan studi ke Denpasar. Suatu hari saya menghadiri diskusi sastra di Ashram Gandhi Vidyapith, Jalan Sudirman, Denpasar. Rumah tua dengan arsitektur Belanda. Ashram, padepokan spiritual dalam terminologi Hindu. Ada nama Gandhi karena ashram tersebut mengajarkan nilai-nilai dan kebajikan Mahatma Gandhi, tokoh emoh kekerasan dan Bapak Bangsa India. Ashram Gandhi Vidyapith didirikan oleh Ibu Gedong Bagoes Oka yang pada waktu itu dosen Sastra Inggris Fakultas Sastra Universitas Udayana.
Saya mengajukan diri untuk menjadi warga Ashram. Saat itu Ibu Gedong sudah berpulang. Saya hanya mendengar tentang beliau dari para murid-muridnya. Selain di Denpasar, Ashram Gandhi juga ada di Yogyakarta, diperuntukkan bagi para mahasiswa sama seperti ashram di Denpasar. Pusat ashram ada di Candidasa, Karangasem, kabupaten di ujung timur Bali. Ketika libur semester, saya dan warga ashram Denpasar menghabiskan waktu di sana.
Berlokasi di pinggir pantai, ashram itu dihuni para siswa sekolah selain tamu ashram, biasanya wisatawan asing yang berlibur ke Candidasa dan ingin merasakan suasana berbeda; spiritualitas. Ada kegiatan rutin seperti puja (sembahyang), yoga, meditasi, memasak, belajar bahasa Inggris yang semuanya dilakukan secara kolektif. Kebersamaan amat terasa. Meskipun kami berasal dari wilayah berbeda, semua seperti saudara dan keluarga sendiri.
Ashram Gandhi menjadi eksperimen bagaimana orang-orang yang berbeda keyakinan dapat hidup dan tinggal bersama tanpa rasa curiga, saling menghormati bahkan mengapresi ajaran agama di luar keyakinannya. Sesuatu yang kini dibutuhkan di masa fanatisme, fundamentalisme bahkan radikalisme agama menjadi sesuatu yang menakutkan dan membahayakan persatuan.
Pluralisme
Doa-doa yang dipanjatkan dan dikidungkan di Ashram Gandhi berasal dari berbagai agama. Hati saya tersentuh saat ‘Khotbah di Bukit’ atau Sermon on the Mount dilantunkan oleh anak-anak ashram secara bergantian, dalam bahasa Inggris dan bahasa Indonesia. Semilir angin pantai di tempat kami duduk bersila membuat suasana semakin hening dan syahdu. Suasana meditatif itu membawa saya pada kisah Yesus saat duduk bersama para murid-Nya berbagi pencerahan.
Setelah tidak lagi tinggal di ashram karena bekerja dan tenggelam dalam rutinitas keseharian, saya merindukan kehidupan ashram. Pemahaman lintas-agama, pengalaman iman yang saya dapatkan dulu di ashram menjadi tidak sekadar kenangan, tetapi juga bekal kehidupan ketika berada di tengah masyarakat kota yang makin plural. Menerima dan menghargai perbedaan.
Di tengah pencarian identitas yang juga membuat politik identitas menguat beberapa tahun terakhir di Bali, keberadaan ashram dianggap sesuatu yang ‘mengancam’ eksistensi budaya Bali dan agama Hindu di Bali. Dalam amatan saya, dialektika yang terjadi tidak dilakukan melalui dialog terbuka sehingga menjadi sebuah pemaksaan kehendak. Sayang sekali hal ini terkesan dibiarkan, menjadi api dalam sekam yang bisa menciptakan konflik horizontal di masyarakat.
Bali mengajarkan sejak zaman dahulu bahwa perbedaan bukan menjadi penghalang untuk kita bisa hidup damai. Iman kita tidak akan ternoda jika mengapresiasi keyakinan lain. Kita akan merindukan sosok seperti Ibu Gedong Bagoes Oka yang terbuka untuk bersahabat dengan Gus Dur atau T.H. Sumartana dan para pendeta juga ulama. Bergandengan tangan mencari jalan keluar masalah-masalah riil yang dihadapi masyarakat. Agama tidak menjadi sekadar teks, tetapi juga tindakan nyata dalam keseharian. Agama benar-benar hidup dan menghidupi manusia.
Selamat Natal untuk kita bersama. Semoga pikiran baik datang dari segala penjuru.