Oleh I Nyoman Winata
Sempat pulang kampung akhir Agutus lalu untuk ikut pelatihan Jurnalistik dari BBC, saya membawa rasa rindu mendalam terhadap kota kelahiran saya, Denpasar. Meski belum genap setahun saya pulang kampung tetap saja rasa kangen dengan rumah tua sudah begitu kuat. Bali memang membuat kita selalu rindu untuk mendatanginya. Hanya saja memang realitas yang ditemui tidak masih seindah bayangan.
Sesampai di rumah yang berada di depan terminal Ubung saya menerima pemandangan trotoar yang dibongkar sekenanya dan dibiarkan terbengkalai begitu saja. Saya tidak habis pikir daerah strategis seperti Ubung yang menjadi pintu masuk awal ke kota Denpasar dibuat berantakan seperti ini. Kalaupun trotoar ini harus dibongkar dan akan diperbaiki, rencanakanlah dengan baik dan tidak dikesankan dibiarkan terlantar.
Tetangga saya, begitu bertemu saya langsung menyampaikan nada protesnya dan meminta saya menyampaikan kepihak berwenang. Mungkin karena saya sempat jadi wartawan di sebuah media di Bali, saya dianggap tahu kemana protesnya harus disampaikan.
Saya hanya bisa bengong mendengar ia menumpahkan uneg-unegnya. Bahkan dari ceritanya, ia juga sempat mengancam sang mandor proyek karena saking jengkelnya. Ia sendiri sudah menyampaikan ke dinas Pekerjaan Umum (PU) tetapi yang didapat hanya jawaban tanpa ada perbaikan apa-apa.
Tidak hanya di depan rumah, saya melihat semakin hari Denpasar semakin kusam dan kotor. Bahkan kata jorok tidak jarang terlempar dari mulut saya tanpa sadar ketika menjelajah kota dengan sepeda motor.
Pusat kota di Jalan Gajah Mada, pertokoan di kiri kanan jalan terlihat kusam. Jalanan yang dibuat pedestrian tidak membuat suasana lebih baik. Justru menurut saya ini memantulkan kekusaman. Pertokoan yang di jaman tahun 1980-an adalah etalase kota Denpasar nampak semuram nasib bisnis mereka yang telah ditinggal para pembeli karena lebih memilih belanja di supermarket atau mal-mal.
Kalaupun Pasar Badung nampak semakin ramai, kesan yang saya tangkap, pasar berkembang dengan tidak ada kontrol sama sekali. Tengoklah dari jembatan Jalan Gajahmada ke arah area parkir pasar Badung. Sekarang ada los-los baru diatas pinggiran sungai yang mengesankan kekumuhan. Jangan tanya suasana dalam pasar, pastilah krodit. Parkir memenuhi jalan-jalan di sebelah sisi pasar, menumpuk dan memakan badan jalan. Di Lingkungan Jalan Sulawesi sampai Jalan Kartini, sampah berserakan di jalanan. Jorok dan kotor. Ke mana dan di mana petugas kebersihan? Serakan sampah juga terjadi dibeberapa ruas jalanan kota.
Kalau tidak salah Denpasar dulu dicanangkan jadi kota (Ber) Budaya. Puspayoga telah memerintah hampir dua periode. Dulu konsep ini kencang disuarakan dan sosok Puspayoga cukup konsisten. Tetapi saya kini tidak lagi menyimak ide-ide dari sang walikota diterapkan konsisten. Apa mungkin karena sibuk dalam proses pencalonan wakil gubernur dan kini sibuk mempersiapkan diri untuk dilantik sehingga kebijakan merawat wajah kota agar tetap menarik telah diabaikan?
Jangan tanya soal tata ruang di Kota Denpasar. Masalah ini sudah menjadi kutukan bagis emua kota-kota di Indonesia. Semuanya seakan-akan berhak membangun apa saja di mana saja. Jalur hijau digugat oleh masyarakat sendiri yang merasa tanahnya tidak punya nilai jual dan hanya jadi beban karena harus bayar pajak. Akibatnya tak ada lagi jalur hijau, semua ruas jalan kiri kanannya ada bangunan. Sulit menemukan lahan sawah yang menghampar hijau. Ini bentuk perkembangan ekonomi yang demikian mengganas, memupus semua nilai-nilai yang menjaga alam dan lingkungan agar tetap seimbang. Dampaknya jelas. Denpasar menjadi semakin kusam, kotor dan jorok.
Pertanyaannya, siapa lagi yang peduli?? [b]
Crowded udah diadopsi jadi bahasa indonesia yak?? (crodit)
susah jawabnya 🙁
regina ada aja komentnya 🙂
Harus dipahami ini adalah output kolektif kita saat ini. Boleh saja banyak orang pinter baik dibuktikan dengan banyak doktor dan profesor dan kritikus namun seberapa peran dan partisipasi mereka dalam hal ini? Biasa nggak orang “pinter” itu komplain sebagaimana haknya sebagai warga negara atau cuma ngedumel di belakang. Bukan hanya kepada pemerintah saja tetapi juga kepada perusahaan dari konsumen. Budaya komplin tang konstruktif yang belum ada, yang ada adalah ngamuk setelah komplin itu berakumulasi he..he…Pula politik adalah salah satu channel utama. Seberapa banyak kita mengetahui orang pinter ikut partai politik? Jangan bawa sikap waktu jaman orde baru. Ini jaman reformasi dimana kita harus berpartisipasi. Jangan biarkan oportunis yang cari “kerja” saja berpolitik. Mari kita berpartisipasi di segala bidang dan secara riil nyata berkarya. Jangan hanya “tuding tujuh”. Hidup Bali & Jaya Nusantara kita !!! Surya
minta balipost bikin review soal ini dong bli. hehe
Kenapa bali tv ga pernah nyiarin kaya gini yah…??
Balipost jg anget2 tai ayam..
(lho, koq saya jadi nyalahin media..? hihi..kaburr.. 😆 )
Wah, saya ini orang Medan jadi khawatir mendengar kondisi kota Denpasar. Saya ini hidup dari Pariwisata Sumatra Utara yang secara fundamental merupkan ekstensi dari Pariwisata Bali. Tidak jauh beda dengan kota-kota di Sumatra, dan saya pulang-balik Malaysia dan mendengar dengan jelas, bahwa untuk membangun suatu daerah itu ujung tombaknya ( policy ) adalah dari kepala daerah. Jika kepala daerahnya tidak paham alias tidak mematok tujuan untuk manjadi kota bagus, ya sudah tidak akan menjadi kota bagus. Walaupun sudah mematok tujuan tanpa dibarengi dengan visi yang 90% jelas juga tidak akan mencapai sasaran. Nampaknya bangsa kita perlu belajar ke Malaysia, setelah tahun 1960-an Malaysia yang belajar ke kita.
heran dah…
pejabat di bali ga concern akan hal2 seperti ini…
bukankan mereka putra/putri bali juga yah…
bali udah beri mereka kehidupan, dan semua yang mereka peroleh selama ini. kok mereka ga mau berjuang buat bali yang lebih baik lagi. Miris kayanya, ali yang jadi tujuan pariwisata dan diminati masyarakat dunia, di telantarkan putra/putrinya sendiri.
Save Bali…
setuju pak man. saya sebagai seorang mahasiswa yang lagi kuliah urban desain juga sangat menyayangkan akan hal tersebut. ingin sekali rasanya menata ulang kawasan seputaran gajah mada ini. carut marut kota ditambah lagi dengan kekumuhan yang ditimbulkan oleh pasar membuat mata jadi “seletan” melihatnya. belum lagi streetscape yang dibuat hanya menambah lalu lintas semakin sesak.dalam hal seperti ini siapa yang sebaiknya disalahkan. jika ditanya kepedulian, pasti semua orang perduli, tapi semua hanya mematung, menunggu pelopor pergerakan untuk mencapai perubahan.