Oleh I Nyoman Winata
Pulang ke Denpasar beberapa hari lalu membuat saya terperanjat. Denpasar yang sudah demikian semrawut awut-awutan kini menjadi semakin semrawut. Hampir setiap pertigaan, perempatan atau perlimaan, berjejer foto-foto para kontestan pemilu. Saking ramainya aksi para caleg ini sampai-sampai saya mengesankan kalau mereka semua layak disebut orang-orang barbar (tidak punya aturan, etika). Kalau bahasanya di Wayan Juniartha di Bungklang-bungkling di Bali Post, mereka adalah juaranya mereka yang juari-juari.
Kata Juari dalam bahasa Bali merujuk pada orang yang tidak tahu malu. Kalau ada yang disebut juari maka itu berarti orang itu tidak punya rasa malu. Ya, para caleg yang pasang fotonya gede-gede di perempatan jalan adalah masuk kelompok manusia-manusia juari (tak tahu malu). Memasang foto wajah lalu meminta orang untuk mendukungnya, padahal ia bukanlah siapa-saiapa dan tidak pernah melakukan apa-apa untuk masyarakat. Lebih juari lagi kalau mereka yang pasang foto besar adalah mereka yang sudah pernah duduk sebagai anggota legislatif. Bukankah mereka selama ini hanya asyik masyuk mengeruk uang rakyat saja?
Mungkin ini pula yang menjadi cermin dari sikap prlaku para caleg di Kota Denpasar. Kesemrawutan kota bukanlah hal yang penting lagi. Bagi para caleg yang penting syahwatnya untuk merebut peluang duduk di kursi legislatif terpenuhi. Jika mereka adalah para juari apa yang bisa diharap ketika mereka benar-benar dudukjadi anggota legislatif?
Tidak penting menanggapi apa isi dari pesan sponsor mereka yang tertampang di baliho-baliho besar dan kecil. Terlepas darikelucuan-kelucuan yang mereka tunjukkan, penting untuk disimak bahwa mereka sangat sedikit punya semangat berjuang melalui jalan terhormat. Mereka lebih memilih berjuang melalui proses instant. Tak peduli apakah orang terganggu dengan tampilnya wajah mereka dijalanan dengan senyum dan wajah yang belum bisa dipastikan kejujurannya. Yang jelas mereka sedang berjuang untuk mendapatkan penghasilan/pekerjaan, karena rata-rata mereka adalah pengangguran atau pensiunan.
Di saat seperti ini, sangat kentara bagaimana lemahnya pemerintahan di kota Denpasar. Ke mana birokrasi di saat hukum-hukumnya diperlukan untuk menata kota? Di mana para birokrasi ketika warganya mengabaikan soal ketertiban? Apa kerja perangkat pengawas pemilu, apa kerja dari Komisi Pemilihan Umum (KPU) Denpasar? Mengapa mereka sangat sulit menegakkan hukum untuk menciptakan keteraturan. Denpsar memang berada dalam out of order yang parah. Denpasar memang kota Semrawut awut-awutan.