Sejumlah lembaga menyegarkan ingatan pada ancaman delik aduan atas perzinahan dan status kawin, dan kaitannya dengan pariwisata.
Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) yang sekarang diberlakukan adalah KUHP yang bersumber dari hukum kolonial Belanda, yakni Wetboek van Strafrecht voor Nederlands-Indië. Lalu sejak 2015, pemerintah mengajukan RUU KUHP ke DPR dan saat ini sudah dalam proses finalisasi untuk pengesahan. Ada banyak pasal-pasal yang dinilai rentan kriminalisasi dan diskriminatif.
Yayasan Kasih Pelangi Dewata Bali (Kapelata) dan Rumah Cemara menghelat seminar daring bertajuk “Overkriminalisasi di RKUHP dan Potensi Dampaknya pada Pariwisata” pada 9 Desember 2021. Menghadirkan narasumber Ni Kadek Vany Primaliraning, Direktur LBH Bali, I Gede Ricky Sukarta, Sekjen Bali Villa Association (BVA), I Made Adi Mantara, Direktur Yayasan Kesehatan Bali (Yakeba), dan Ida Bagus Surya Dharma Jaya, pengajar Fakultas Hukum Universitas Udayana.
Vany menyebut RKUHP ini sudah lama dibahas terakhir 2019. Selain perzinahan, juga ada pasal-pasal lain yang cenderung diskriminatif pada perempuan, kesewenangan persekusi LGBT, dan kelompok minoritas lain. Padahal sudah ada 400 lebih Perda diksriminatif pada perempuan seperti larangan keluar malam.
“Menambah peradilan tak adil karena subjektif,” jelas Vany. Negara dinilai terlalu jauh menggunakan hukum pidana untuk masuk pada hak konstitusional yang bersifat privat. Pengaduan bisa oleh kepala desa atau lain sepanjang tidak ada keberatan dari suami, istri, atau orang tua.
Pasal yang berpotensi kriminalisasi lain menurutnya mempertunjukkan alat pencegah kehamilan pada pasal 414-416. Padahal sudah didekriminalisasi oleh Jaksa Agung pada 1978 dan BPHN (1995) bahwa kondom adalah alat mencegah HIV/AIDS. Ada juga upaya kriminalisasi pada perempuan yang melakukan pengguguran. “Banyak perempuan hamil, anak diperkosa tidak bisa aborsi karena akan dijerat. Pemerintah abai memberikan layanan aborsi aman pada korban perkosaan,” lanjutnya.
Ricky Sukarta yang puluhan tahun menekuni dunia industri pariwisata mengatakan ngeri-ngeri sedap. Sebelum Pandemi, pelaku pariwisata sangat optimis karena dari 150 ribu kamar di Bali dengan occupancy rate 75%. Sekarang anjlok 9% jauh dari break event point 45-50%. Ia mengatakan belum bisa berharap di 2021 ini. Fokus pemulihan di 2022. “Lebih baik digali. Pertimbangan aspek sosiologis, peraturan yang memenuhi terkait kebutuhan,” ujarnya.
Tiap perusahaan sudah memiliki peraturan, karena itu misal check in, pasti diterima 2 orang. “Tak bisa berpegang pada moralitas, apakah negara berhak menyelidiki? Apalagi terkait privasi. Ini gawat dan perlu dipikirkan. Ada standar global. Tak boleh rasis dan diskriminatif,” tambahnya.
Surya Darma, dosen FH Unud menyatakan ini bagian dari pembaharuan KUHP. Pembaharuan hukum pdana perlu dilakukan dengana alsan sosiologis, politis, dan praktis. Karena sudah tidak sesuai dengan nilai-nilai Indonesia karena warisan Belanda. Secara politis sudah merdeka sejak 1945 tapi tak ada aturan yang memuat nilai-nilai Indonesia. Menurutnya sering terjadi simpang siur, buku-buku hukum yang dipegang beda penerjemahannya, sehingga memiliki makna berbeda.
Syaratnya, apakah bisa memberi keadilan dan kemanfaatan? Pidana adalah ultimum remidium, janganlah pidana digunakan jka secara teori tidak ada argumentasi yang menguntungkan. Akan jadi pengancam utama bukan alat pelindung masyarakat. Surya Darma punya penafsiran berbeda pada ancaman Pasal 417, 418. Ia mengaku tidak terlalu khawatir karena hanya berdasar delik aduan.
Adi Mantara berharap kepastian hukum, terkait kesehatan misal HIV/AIDS dan narkotika. “Kenapa membuat aturan yang terlalu mengintimidasi. Ada banyak faktor yang mendorong pariwisata berkembang misal harga, pendekatan kesehatan, misal Thailand kampanye pencegahan HIV sangat terbuka. Kita masih abu-abu,” paparnya. Rekomendasinya adalah perlu pendekatan kesehatan, karena saat ini lebih banyak di sisi moral. Harus melihat budaya hubungan individu di negara lain, misalnya menikah bukan keharusan, ini bagian privasi.
Vany mengingatkan berdasar praktik di lapangan, walau berdasar delik aduan, bisa ada rekayasa sosial yang dipaksakan kebijakan tertentu. “Ini membahayakan. Misal melarang LGBT dari rekayasa sosial melalui keputusan adat. Daripada jadi bumerang, lebih baik pasal ini tak dicantumkan karena berbahaya, apalagi ada rekayasa sosial yang membahayakan minoritas,” harapnya.
Ardhany dari Rumah Cemara berharap ancaman-ancaman di RKUHP ini didiskusikan kembali karena Aliansi Reformasi KUHP sulit mendapatkan dokumen terbaru RUU ini. Ia mengingatkan sudah ada peringatan yang membahayakan pariwisata di Bali.
Pernyataan Bersama
Kapelata, Rumah Cemara, Yakeba, dan LBH Bali merilis pernyataan bersama berikut ini. Pasal 417 RKUHP “Setiap orang yang melakukan persetubuhan dengan orang yang bukan suami atau istrinya dipidana karena perzinahan dengan pidana penjara paling lama 1 (tahun) dan denda kategori II”.
Pasal 419 (1) Setiap Orang yang melakukan hidup bersama sebagai suami istri di luar perkawinan dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) bulan atau pidana denda paling banyak Kategori II. Pasal ini mengkriminalisasi setiap bentuk persetubuhan di luar perkawinan atau extra marital sex dan hidup bersama sebagai suami istri di luar perkawinan. Disebutkan bahwa yang berhak mengajukan pengaduan adalah orang tua, anak, dan pasangan. Namun, untuk kriminalisasi hidup bersama sebagai suami istri, aduan juga dapat dinisiasikan oleh kepala desa dan setingkatnya.
Pasal ini akan berdampak pada sektor pariwisata terutama sektor perhotelan karena mempengaruhi nilai/citra Indonesia. Kriminalisasi ini menandakan bahwa Indonesia cenderung mengarah pada nilai konservatisme, mengintrusi ruang privat tidak hanya warga negara nya namun juga setiap orang yang berada di Indonesia, karena pasal ini akan berlaku juga pada wisatawan
Selain itu mempengaruhi reputasi, dengan maraknya penggerebekan oleh organisasi masyarakat maupun aparat penegak hukum, otomatis menurunkan popularitas dan nama baik hotel dan industri pariwisata, dengan adanya kriminalisasi maka akan ada legitimasi bagi tindakan-tindakan ormas atau kelompok lainnya yang menyatakan bahwa perbuatan ini dilarang
Mengurangi ketertarikan Warga Negara Asing untuk berkunjung, Australia pada september 2019 lalu, mengeluarkan travel advice untuk warga negaranya yang berkunjung di Indonesia, dengan mempertimbangkan adanya RKUHP. Adanya standar moral baku yang membuat enggan turis asing berkunjung. Bali Tourism Board pada September 2019 lalu telah menyatakan kekhawatirannya karena kecenderungan saat itu pun wisatawan beralih ke Thailand yang lebih melindungi privasi wisatawan.
Dengan diberlakukannya ketentuan hukum seperti ini, maka pihak hotel akan dibayang-bayangi upaya mencegah terjadi tindak pidana, sehingga mereka dapat saja menghadirkan persyaratan menginap yang lebih banyak. Sebagai contoh saat ini terdapat hotel syariah yang menawarkan halal tourism menerapkan serangkaian persyaratan menginap, mulai dari kartu nikah, foto bersama keluarga, bahkan ada pula yang menghakimi ekspresi seseorang hanya dari tampilan luarnya. Walaupun dengan persyarakat yang diperketat, pada intinya pun, pihak hotel juga tidak bisa memastikan ada/tidaknya perbuatan zina pada tamu-tamu hotel, namun mereka telah dibebankan kewajiban yang tidak perlu.
Tidak hanya berkaitan dengan extra marital sex dan hidup bersama sebagai suami istri. Pasal lainnya yang mengintrusi ruang privat adalah Pasal 420 RKUHP yang mengkriminalisasi perbuatan cabul dengan adanya unsur tindak pidana “sama jenis kelaminnya.” Jika melihat perjalanan pasal ini, intensi perumusannya menyasar kelompok masyarakat dengan orientasi seksual berbeda.
Pasal 420 Setiap Orang yang melakukan perbuatan cabul terhadap orang lain yang berbeda atau sama jenis kelaminnya: (1) di depan umum dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun 6 (enam) bulan atau pidana denda paling banyak kategori III. (2) secara paksa dengan Kekerasan atau Ancaman Kekerasan dipidana dengan pidana penjara paling lama 9 (sembilan) tahun. (3) yang dipublikasikan sebagai muatan pornografi dipidana dengan pidana penjara paling lama 9 (sembilan) tahun.
Sekalipun memuat dengan 3 syarat perbuatan, namun dengan adanya unsur “sama jenis kelaminnya” membuat adanya kekhawatiran bagi kelompok orientasi seksual berbeda, yang tak sedikit juga merupakan wisatawan di Indonesia. Permasalahan pasal-pasal di atas dalam RKUHP yang mengintrusi ruang privat juga terkait dengan pasal lainnya dalam RKUHP, yaitu Pasal 2 tentang kriminalisasi berdasarkan hukum yang hidup di dalam masyarakat/living law, dengan bunyi: (1) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (1) tidak mengurangi berlakunya hukum yang hidup dalam masyarakat yang menentukan bahwa seseorang patut dipidana walaupun perbuatan tersebut tidak diatur dalam Undang-Undang ini.
Dengan pasal ini seseorang dapat dihukum/dipidana atas dasar “hukum yang hidup dalam masyarakat”. Dalam penjelasan RKUHP tersebut, hukum yang hidup di masyarakat akan didasarkan pada Peraturan Daerah yang akan dikompilasikan. Sering kali aturan di masyarakat dan di tingkat daerah mendiskriminsasi kelompok tertentu misanya perempuan, kelompok minoritas seksual. Berdasarkan data Komnas Perempuan pada 2018 terdapat 421 Peraturan Daerah (Perda) diskriminatif terhadap perempuan, yang mengatur misalnya melarang perempuan tidak keluar pada malam hari atau mengatur cara berpakaian perempuan. Berdasarkan data Arus Pelangi di 2018, terdapat 6 kebijakan diskriminatif terhadap kelompok minoritas seksual seperti LGBT.
Masalah-masalah RKUHP di atas berbanding terbalik dengan berhasilnya pembangunan suatu daerah. Terutama daerah-daerah yang bergantung dari berkembangnya sektor pariwisata. Dalam kondisi pandemi covid saat ini, pariwasata merupakan salah satu sektor yang paling berdampak. Munculnya perdebatan dan ketidakpastian dalam RKUHP nantinya tentu saja akan menimbulkan kondisi yang dapat mengakibatkan sektor pariwasata makin menderita.