Oleh Luh De Suriyani
I Nyoman Darma Putra, lahir di Denpasar 1961. Tak banyak orang Bali yang memiliki ketertarikan plus kemampuan komplit seperti Darma Putra. Dosen, penulis, jurnalis, budayawan, ah, bagaimana menyimpulkan profesinya? Bekerja tetap sebagai dosen Sastra Indonesia, Fakultas Sastra Unud, dan menyelesaikan S3 di Australia pada 2003. Pernah menjadi wartawan Bali Post, Majalah Editor, dan Televisi/Radio ABC Australia.
Apa aktivitas Anda di Australia saat ini?
Mengajar bahasa Indonesia di University of Queensland dan melakukan penelitian tentang identitas orang Bali atau nasionalismenya sejak zaman kolonial sampai sekarang.
Sejak kapan di sana? Sampai kapan?
Saya mulai Januari 2007, sampai Desember 2009.
Apakah tahan di Australia selama itu?
Walaupun Brisbane kota yang indah, saya selalu rindu Bali. Makanya, setiap tahun akan pulang. Ketika kuliah di Australia dulu, saya juga rutin pulang. Rindu teman, makanan, dan lagu pop Bali. Ha..ha..
Bener senang lagu pop Bali?
Saya pernah menjadi anggota juri Gita Denpost Award, untuk lagu pop Bali. Keterlibatan menjadi juri adalah juga kegiatan untuk penelitian.
Bagaimana aktivitas itu mendukung perhatian Anda terutama di bidang penulisan atau media?
Saat pulang ke Bali, saya tak hanya berlibur, tetapi juga riset. Penelitian saya adalah sastra, budaya, dan media (massa). Saya juga tertarik meneliti pariwisata. Makin banyak meneliti, makin enak mengajar dan menulis.
Selain banyak nulis untuk koran, sudah menulis buku saja?
Ada beberapa buku, seperti suntingan buku “Seabad Puputan Badung: Perspektif Belanda dan Bali ” (2006). Buku yang baru terbit di London tentang pariwisata Bali, judulnya “Tourism, Development and Terrorism in Bali”, karya bersama dengan profesor dari London metropolitan University, Michael Hitchcock.
Saya lihat ada buku tentang wanita Bali?
Ya, Wanita Bali Tempo Doeloe, Perspektif Masa Kini. Terbit pertama 2003, cetak ulang 2007. Saya kagum pada kecerdasan dan kehebatan wanita Bali tahun 1930an. Mereka menulis di koran, bikin organisasi, memajukan pendidikan, mengumpulkan dana beasiswa untuk memajukan kaumnya sehingga, antara lain, terhindar dari korban poligami. Wanita Bali sudah menolak poligami sejak 1930an. Hebat ‘kan?
Pernah menulis tentang lagu pop Bali?
Pernah khususnya tentang tema politik dalam lagu-lagu pop Bali. Tulisan dimuat di Kompas, Bali Post, dan juga dalam buku “Politik Kebudayaan dan Identitas Etnik” (2004). Banyak lagu pop Bali yang bertema politik, dan penyanyi yang menyanyi dalam kampanye parpol, seperti Yong Sagitha dan Bayu KW.
Selama di Australia, bagaimana dengan kegiatan Anda yang dulu di Denpasar? Misalnya diskusi Jumatan seri sastra di Universitas Udayana. Apakah masih jalan?
Diskusi dwimingguan hari Jumat tentang sastra sosial budaya yang kami laksanakan di Faksas Unud masih jalan tetapi kabarnya tidak serutin dulu. Dulu selalu ramai, wartawan senang meliput karena banyak isu menarik.
Apa sih yang Anda tuju dengan semua aktivitas itu?
Lewat seminar dwimingguan saya ingin hasil penelitian dosen bisa digemakan ke publik lewat media massa. Sebaliknya, fenomena public bisa dicermati oleh kalanan akademik. Bukankah ini salah satu miniatur mencerdaskan bangsa! Dukungan media massa menjadi keharusan.
Bagaimana Pak Darma menilai perkembangan media di Bali saat ini?
Banyak perkembangan dibandingkan zaman Orde Baru. Jumlah media kian banyak, dan yang agresif termasuk yang ‘talk show’ lewat radio dan TV, serta ulasan tajam dan blak-blakan lewat internet. Wartawan muda banyak yang muncul. Harapan saya media massa tidak menjadi parasit kemajuan, parasit kebudayaan, dan parasit demokrasi!
Wah, parasit, istilahnya negatif sekali. Apa maksudnya?
Artinya, parasit bertengger di pohon yang tumbuh subur, bukan untuk menyuburkan tetapi untuk membunuhnya. Si parasit lupa bahwa kalau pohon mati, dia juga mampus. Media massa perlu introspeksi selalu, apakah mereka sedang menyuburkan kebudayaan, kemajuan, dan demokrasi atau malah sedang membunuhnya!
Contoh real-nya?
Pemilik dan awak media harus memberikan akses yang luas dan bijak pada public yang kini mau tumbuh sebagai masyarakat demokratis, bukan malah menerapkan system untuk menyedot keuntungan material dari proses demokrasi. Misalnya, tugas media membendung money politics, bukan sebaliknya.
Apa yang positifnya dari pertumbuhan media massa?
Ya, itu tadi, public kian berani menyampaikan aspirasi lewat media, baik koran, radio, maupun TV. Api keberanian ini harus dijaga agar menyala terus. Tapi, kalau semangat menyalurkan ekspresi ini padam, media massa ikut andil, dan bertanggung jawab menghidupkan kembali suasana demokrasi secepatnya.
Sedikit soal kilas balik. Menurut Anda bagaimana kondisi Denpasar atau Bali secara umum dibanding 20 atau 30 tahun lalu?
Banyak perubahan, banyak kemudahan hidup, walaupun saat bersamaan banyak masalah baru sebagai ekses kemajuan. Jalanan yang dulu lengang, kian macet. Sulit mencari parkir sudah menjadi kutukan bagi warga Denpasar. Setiap kemudahan hidup harus dibayar, sementara mencari uang tidak gampang. Dulu kebutuhan tidak banyak, ancaman stress hampir tidak hadir.
Apa perubahan paling besar yang terjadi di Bali menurut Pak Darma?
Kehidupan kian global, antara lain karena kemajuan teknologi telekomunikasi dan informasi. Kini orang Nusa Penida bisa sms ke Jerman, atau orang Bon Dalem (Buleleng) terima sms dari Brisbane. Tapi, kemudahan ini harus dibayar. Dulu prioritas orang adalah cari uang buat beli beras, kini buat bayar pulsa. Kemajuan mengubah gaya hidup kita.
Bagaimana dengan pengaruh pariwisata?
Pariwisata membuat Bali menjadi milik dunia. Hidup di Bali, seperti di kosmopolitan lainnya, kian menjadi sebuah kompetisi. Yang tidak menyadari ini kelak akan tergeser. Yang sukses belum tentu happy karena mereka pun diintai stress. Banyak hal terjadi secara mendadak. Dengan senantiasa awas akan akibat pariwisata, kita tetap bersyukur karena Bali memiliki industri ini!
By the way, sudah berapa lama pakai kartu Halo atau Telkomsel?
Saya pakai Telkomsel sejak pertengahan 1996, dengan nomor awal 081 139…. Nomor itu masih kami pakai sampai sekarang. Sejak 2002 pakai kartu Halo karena perlu tambahan nomor untuk keluarga. Karena kerja nyambi di sektor pariwisatalah membuat saya mencari handphone lebih cepat dari seharusnya.
Pernah ada masalah?
Tidak ada masalah. Dengan Telkomsel tugas-tugas saya ke Aceh atau ke kota-kota di Asia atau Australia, berjalan lancar untuk national dan global roaming. Sinyalnya kenceng terus. Masalah kecil adalah pengiriman surat tagihan kami yang selalu jatuh ke tetangga. Untung kami bayar pakai auto-debet sehingga tak pernah kena denda.
Apa kritik Pak Darma pada Kartu Halo?
Tidak ada, tetapi untuk Telkomsel sebaiknya jangan terlalu banyak menumpuk untung. Pada akhirnya, uang banyak untuk apa? Kembalikanlah keuntungan untuk memberikan service kepada customer dan publik khususnya. Asal tidak rugi dan cukup biaya untuk pengembangan teknologi dan SDM, buatlah harga percakapan telpon lebih murah dari sekarang!
Apa saran untuk Telkomsel?
Kurangi perang spanduk di jalanan! Sakit mata memandangnya! Bantulah masyarakat memajukan diri, menjaga lingkungan agar asri untuk kehidupan kini dan masa depan. Sediakan beasiswa, atau sponsori kegiatan public yang positif, seperti penerbitan buku dan kegiatan budaya.
(Tulisan ini dimuat di Media Halo Telkomsel Desember 2007)