Apabila Ilmu Agama Politik gagal total, perlu jalan Seni, dari etika ke estetika. (Granoka)
Meminjam kalimat pembuka iklan di layar kaca: Apakah makna kebangkitan kini? Sebagai penikmat iklan, saya menangkap aroma satir dan sinis dari rangkaian kata tersebut. Iklan milik Ormas Nasional Demokrta (Nasdem) ini rajin lalu lalang di stasiun swasta bertepatan momentum Hari Kebangkitan Nasional lalu.
Peringatan nasional kerap dirayakan dengan seremonial upacara bendera, gelaran atraksi dan diskusi, kampanye iklan, berziarah lewat tulisan dan sebagainya. Ada upaya menilas balik perjalanan antara momen itu pertama kali terjadi hingga terus berulang diperingati. Ada laksana yang senantiasa dihangatkan untuk menjaga ingatan kolektif itu.
Seniman dan budayawan memilih jalan berbeda merayakan Hari Kebangkitan Nasional ini. Pada 20 Mei 2011 di Ulundanu Beratan, Tabanan mereka menyelenggarakan Parum Param (semacam diskusi) dan Gerebeg Aksara Prasada (semcam kirab budaya). Kebangkitan itu, tidak lagi teruang dalam kata tapi tertuang dalam laksana yang mengandung estetika: Gerebeg Aksara Prasadha. Kegiatan ini diprakarsai Bapa Guru “Yuganadakalpa” Perguruan Musik Maha Bajra Sandhi, Ida Wayan Oka Granoka.
Lokasi ini berada di pusat Bali baik secara geografis maupun spiritual.
Kirab dimulai dari situs Pura Candi Mas. Sekitar 200 anak perempuan dan lelaki binaan Maha Bajra Sandhi berpartisipasi sebagai penari, penabuh cengceng dan gamelan. Mereka berbusana kain Bali. Berjalan sekitar 500 meter ke arah timur menuju lokasi finis di wantilan Pura Ulun Danu Beratun.
Dalam kirab budaya itu, mereka mengusung artefak-artefak kebesaran Nusantara, seperti Kitab Pustaka Sutasoma, Bendera Merah Putih, tiruan Garuda Pancasila dari gabus, simbol rwa bhineda; rangda dan barong, serta rerajahan aksara-aksara, dan semacamnya.
Dalam satu barisan panjang itu, selain artefak tersebut ditandu juga seorang penari berbusana Garuda Pancasila. Di belakangnya sejumlah anak berbusana kain putih mengenakan topeng putih bermimik wajah tanpa ekspresi.
Setibanya di wantilan Pura Ulun Danu Beratan, yadnya, persembahan itu pun dihaturkan. Persembahan estetika yang diwujudkan ke dalam musik tabuh dan tari kreasi. Mengutip keterangan pembawa acara, Cok Sawitri dikenalkan Proporma Yoga Musik, Yuganadakalpa musik yang mengandung getaran harmoni surgawi.
Gajah Mada, mahapatih Majapahit yang bertekad menyatukan nusantara. Tapel, topeng Gajah Mada ditarikan seorang penari sembari menggenggam bendera merah putih. Wirama, semacam kidung menemaninya mesolah. Tabuh-tabuh bergantian dimainkan. Beserta gelaran tari, salah satunya mementaskan Tari Rejang Revolusi dan seni imen-imen. Sebelum ditutup penampilan penyanyi Ayu Laksmi, ada repertoar yang menampilkan lakon Garuda Pancasila dan semboyan Bhineka Tunggal Ika.
Ke dalam simbol, makna yang dimaksudkan si pencipta karya bertransformasi. Garuda Pancasila telah didaulat menjadi lambang negara. Kutipan kitab Sutasoma: Bhineka Tunggal Ika telah dijadikan semboyan negara. Nilai dari kedua pusaka ini, dari stempel Garudamukha dan Kitab Sutasoma, diciptakan satu laksana estetika sebagai jalan keluar karut marut persoalan bangsa. [b]
Benar2 sebuah momen yang jarang dilaksanakan.