Oleh Anton Muhajir
Di usianya yang belum genap 10 tahun, Ni Wayan Cenik harus bekerja lebih dari 8 jam per hari. Dia bekerja dari pukul 6 pagi hingga pukul 12 siang. Setelah istirahat di kos, dia akan kembali bekerja dari pukul 4 sore hingga pukul 8 malam. Total, tiap hari dia bekerja 8 hingga 9 jam.
Sejak pukul 6 pagi dia sudah berada di Pasar Badung, pasar terbesar di Bali. Untuk itu dia harus berjalan 30 menit sebelumnya dari tempat kosnya, sekitar 3 km dari pasar. Dia kemudian menawarkan jasanya untuk mengangkat barang-barang belanjaan konsumen di pasar kebutuhan pokok itu. Cenik bekerja sebagai tukang suun, menyewakan jasa untuk mengangkat barang belanjaan pembeli di pasar.
Kamis pekan lalu pun begitu. Tinggi tubuh Cenik, sekitar 140 cm, itu tenggelam di bawah keranjang berdiameter sekitar 50 cm. Keranjang dari bilah bambu itu dibawanya di atas kepala sambil berjalan menawarkan jasa. Dia mendekati satu per satu pembeli yang sedang belanja. Pembeli yang berbaik hati akan menyewa jasa Cenik dengan menitipkan barang belanjaan di dalam keranjang itu. Lalu Cenik akan mengikuti ke mana saja pembeli itu berjalan di pasar.
Satu per satu barang belanjaan pembeli akan dimasukkan di keranjang. Ikan, sayur, buah, atau sekadar bumbu dapur semua dimasukkan di keranjang itu. Selama 30 menit hingga satu jam atau lebih, Cenik harus membawa beban yang kadang sampai 50 kg itu di atas kepala.
“Kadang-kadang leher saya sampai sakit,” kata Cenik dalam bahasa Bali. Dia tidak lancar berbahasa Indonesia.
Dia akan berhenti ketika penyewa jasanya sudah sampai di tempat parkir untuk pulang. Cenik menurunkan beban itu dari keranjang lalu diberikan pada penyewa jasa. Cenik akan mendapat upah sekitar Rp 2000 untuk jasa tersebut.
“Paling banyak sehari dapat sepuluh (ribu rupiah). Kalau ramai mungkin dua puluh (ribu rupiah) sehari,” kata Cenik.
Hingga pukul 12 siang, Cenik akan tetap di Pasar Badung. Dia keluar masuk pasar untuk mendapatkan penyewa jasanya. Ketika capek, dia akan duduk di tangga pasar bersama puluhan temannya.
Ada sekitar 25 anak tukang suun di Pasar Badung. Mereka teman, sekaligus bersaing satu sama lain. Maka kadang harus rebutan untuk mendapatkan pelanggan.
Selain dengan tukang suun seusianya, Cenik juga harus bersaing dengan ratusan tukang suun lain yang usianya jauh lebih tua. Salah satunya adalah Wayan Satri, ibunya sendiri.
Satri dan Cenik tinggal di Banjar Penyaitan Desa Pemecutan Denpasar. Mereka berasal dari Desa Tianyar, Kecamatan Kubu, Kabupaten Karangasem. Desa ini masuk salah satu desa yang sering mengalami kekeringan. “Tidak ada apa di desa, Pak. Makanya tiyang dan keluarga ke Badung saja untuk meburuh,” kata Satri.
Bersama suami, tiga anak, dan satu cucunya, Satri tinggal di kamar kos yang disewa Rp 200 ribu per bulan. Kamar berukuran sekitar 3 x 3 meter persegi itu menjadi tempat di mana mereka tidur, ngobrol, bermain, dan melakukan semua aktivitas keluarga. Kamar itu berdempetan dengan dua kamar lain yang disewa tetangga mereka sesama tukang suun di pasar.
Kamar berlantai semen dingin berlapis plastik, berdinding tembok dan sebagian bedek, serta beratap seng itu sekaligus tempat di mana Satri dan keluarganya menggantungkan mimpi tentang perubahan nasib. Namun kenyataan yang mereka hadapi, jauh dari mimpi indah.
Kebutuhan hidup sehari-hari di Denpasar lebih besar daripada pendapatannya sebagai tukang suun di pasar. Anak laki-laki dan suaminya yang bekerja sebagai tukang parkir pun tak bisa memenuhi kebutuhan pangan, papan, apalagi hiburan. Maka, Cenik harus jadi korban.
Ketika anak-anak seumurnya sedang duduk manis di dalam kelas untuk sekolah, Cenik harus keluar masuk pasar menjajakan jasa. “Kami tidak punya biaya untuk sekolah. Buat makan saja tidak cukup,” kata Satri.
“Kadang untuk beli susu pun sudah habis,” lanjutnya sambil momong cucu. Siang itu Satri memberi cucunya minum air gula, bukan dengan susu formula, dalam botol.
Cenik, anak ketiga Satri, itu pun harus kehilangan hak-haknya sebagai anak. Di umur yang seharusnya mendapat hak untuk belajar, Cenik malah harus bekerja dari pagi hingga malam. “Sejak dulu tidak pernah sekolah,” kata Cenik.
Cenik adalah potret buram pekerja anak di Denpasar atau bahkan Bali. Menurut Ni Putu Suartini, Anggota Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) Bali, sebagian besar tukang suun anak di Pasar Badung kehilangan hak untuk mendapatkan pendidikan dan layanan kesehatan.
Begitu pula Cenik. Dia kehilangan haknya sebagai anak: hak untuk mendapatkan pendidikan layak, hak untuk mendapatkan layanan kesehatan, dan hak untuk menikmati masa anak-anak.
Suartini menyebutkan dalam Konvensi Hak Anak ada empat prinsip dasar perlindungan anak yaitu non diskriminasi, kepentingan yang terbaik bagi anak, hak untuk hidup dan berkembang, serta penghargaan terhadap pendapat anak.
Undang-undang Perlindungan Anak No 23 tahun 2002 pun mengatakan bahwa tiap anak yang berusia di bawah 18 tahun berhak memperoleh pelayanan kesehatan dan jaminan sosial, berhak memperoleh pendidikan dan pengajaran, serta berhak untuk beristirahat dan memanfaatkan waktu luang, bergaul dengan anak yang sebaya, bermain, berekreasi, dan berkreasi sesuai dengan minat, bakat, dan tingkat kecerdasannya.
Toh, kata Suartini, dalam praktiknya hak anak itu banyak yang belum dilaksanakan. Pada kasus tukang suun anak misalnya, mereka tidak memperoleh haknya untuk mendapat pendidikan. “Mereka juga rentan mendapatkan kekerasan fisik dan seksual. Apalagi semua tukang suun anak adalah perempuan,” kata Suartini.
Sebagai pekerja anak, tukang suun di pasar itu pun tak mendapatkan haknya sebagai pekerja. “Anak boleh saja bekerja tapi dengan beberapa catatan. Misalnya tidak boleh lebih dari tiga jam per hari dan pekerjaan itu tidak berbahaya,” tambahnya. Mereka juga tetap harus mendapatkan haknya yang lain sebagai anak, misalnya pendidikan.
Tapi pendidikan terlalu mahal bagi Satri dan anak-anaknya. Bahkan untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari pun Satri mengaku masih kurang. Cenik pun diberi tanggung jawab untuk bekerja agar kebutuhan keluarga itu bisa tercukupi. “Uangnya dikasih ke meme (ibu),” kata Cenik ketika ditanya untuk apa uang yang didapatnya sebagai tukang suun.
Kemiskinan menjadi alasan hilangnya hak Cenik dan anak-anak seusianya sesama tukang suun untuk mendapatkan pendidikan.
Selain itu, Suartini menyebutkan bahwa sebagian tukang suun anak itu pun kehilangan haknya untuk mendapatkan wali. Ini terutama untuk anak tukang suun yang tinggal tanpa orang tua atau keluarga di Denpasar.
Ni Nengah Ompong salah satunya. Tukang suun berusia 10 tahun ini mengaku hanya tinggal di Denpasar bersama adiknya Ni Nyoman Santi. Mereka menyewa kos-kosan di Banjar Penyaitan juga, tanpa bapak ibu. “Kami bayar sendiri seratus lima puluh ribu per bulan. Kami juga harus cari makan sendiri,” kata Santi.
Ompong dan Santi menambah panjang daftar anak-anak yang kehilangan haknya karena alasan ekonomi. Lalu siapa yang harus bertanggungjawab?
“Negara,” jawab Suartini. Menurutnya, sebagaimana diatur dalam UUD 1945 Pasal 34, negara seharusnya menjamin warga miskin dan telantar itu. Pasal 22 UU No 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak pun mengatur hal itu.
“Pasal itu menyebutkan bahwa negara dan pemerintah berkewajiban dan bertanggung jawab memberikan dukungan sarana dan prasarana dalam penyelenggaraan perlindungan anak. Karena itu negara harus menjalankan kewajibannya,” katanya.
Suartini menyebutkan Dinas Sosial sebagai pihak yang harus mengurus persoalan tukang suun anak yang juga masuk kategori anak telantar tersebut.
Namun, Dinas Sosial (Dinsos) Bali ternyata belum memberi perhatian pada isu pekerja anak, terutama tukang suun di pasar ini.
I Nyoman Wenten, Kepala Bidang Rehabilitasi Sosial di Dinsos Bali mengaku selama ini pihaknya tidak memberikan perhatian sama sekali pada pekerja anak, termasuk tukang suun. “Kami lebih banyak mengurus warga yang mengalami kecacatan fisik serta tuna sosial seperti gepeng, mantan narapidana, waria, dan mantan pengguna Narkoba maupun orang dengan HIV dan AIDS,” kata Wenten.
Menurut Wenten, yang baru bekerja di Dinsos selama enam bulan, belum ada data resmi tentang jumlah pekerja anak di Bali. Demikian pula dengan anak jalanan ataupun tukang suun anak. “Karena mereka memang tidak ada di Bali,” katanya. Kalau toh ada, kata Wenten, masih sebatas gelandangan dan pengemis (gepeng). “Tukang suun anak tidak masuk kategori gepeng ini,” tambahnya.
Kalau data saja tidak ada, maka jangan harap ada penanganan yang jelas dari Dinsos pada anak-anak tukang suun. Penanganan pada gepeng, yang sudah ada di dalam data pun lebih bersifat kuratif alias reaktif. Dinsos akan turun kalau jumlah gepeng dianggap sudah meresahkan.
Karena itu, kata Wenten, penanganan anak-anak telantar, termasuk tukang suun anak, harus bersifat lintas-daerah juga. Selama ini, lanjutnya, penanganan gepeng dan anak telantar masih bersifat by name dan by address. Artinya anak-anak itu dilihat menurut nama dan alamatnya. Kalau asal mereka dari Karangasem, seolah-olah harus Pemkab Karangasem yang mengurusi. Padahal persoalannya terjadi di Kota Denpasar.
Selain itu, tambah Wenten, tidak adanya penanganan untuk penanganan anak-anak telantar di Bali juga karena minimnya dana dari pemerintah. Adanya hanya Rp 300 juta per tahun dari APBN tapi untuk semua kegiatan rehabilitasi sosial. “Itu pun lebih banyak untuk anak-anak cacat dan bantuan ke Panti Asuhan,” katanya.
Pilihan paling gampang kemudian adalah menangkap gepeng dan anak telantar itu. Sebab mereka dianggap mengganggu ketertiban kota. Tapi sudah jadi bahasa klise dan basi di kalangan Dinsos dan Tramtib sendiri. Tangkap satu kembali seribu. Ketika ditangkap dan dikembalikan ke desanya, anak-anak gepeng dan telantar itu malah kembali ke Denpasar membawa teman-temannya lebih banyak. [b]
sedih !
dilemma terlahir di indonesia:
bapak2 pejabat, terutama para istri pejabat, para pengusaha, menderita adipositas. dilainpihak terlalu banyak anak2 kita yang menderita kachexia dan kwashiorkor.
tidak mungkinkah kekayaan dibagi secara agak merata, tanpa kuatir dicap komunis ? sebetulnya tidak perduli paham apapun yang kita anut, asalkan seluruh rakyat indonesia dari sabang sampai merauke bisa hidup secara layak dan manusiawi, hidup tentram dan sejahtera, adil dan makmur ber-sama2.
daripada mengurusi tetek bengek ruu pornografi, lebih baik prihatin kepada tunas2 bangsa yang bernasib tidak mujur.
seingatan saya sejak tahun 1955 presiden soekarno sudah mencetuskan pemberantasan buta huruf diseluruh wilayah republik indonesia, tetapi kok masih banyak rakyat yang buta huruf. ternyata sejak 50 tahun lebih negara ini tidak ada yang ngatur secara baik. sewaktu masih murid sekolah rakyat saya pernah mengajari pembantu rumah tangga saya membaca dan menulis, dalam waktu 6 bulan dia sudah pandai membaca buku bacaan berjudul matahari terbit. achirnya dialah yang menceritakan kepada saya isi buku dongengan tersebut.
sekarang ini lagi ramai2-nya kampanye pemilu, lihatlah secara teliti siapa2 yang menyandang ADIPOSITAS.
saya tidak berani menyebutkan nama2 mereka.
Mungkin saya lebih senang melihat orang yg mau berusaha untuk menggapai cita2 nya dibandingkan mereka harus mengemis di jalan dengan raut muka yg ceria dan orangtuanya di pinggir jalan juga dengan muka sumbringah. Untuk hidup memang harus seperti itu, tdk ada yang murah di indonesia. Uang bukanlah segala-galanya tapi segala-galanya butuh uang. Tapi untuk kasus ini sebenarnya memang disayangkan kenapa anak-anak yang harus dikorban kan, tapi mau gimana lagi? Kondisi juga yang mengharuskan mereka seperti itu. Mau menggantungkan hidup dengan negara? emang negara bisa apa? Jadi kita juga harus pintar untuk memilah-milah pada saat apa kita harus merasa nasionalisme terhadap negara. Jadi orang miskin memang susah tapi mau gimana lagi? apa mau terus-terusan menyalahi nasib? Jadi intinya kita harus tetap berusaha kalo memang mau tetap hidup. Tidak ada orang baik di dunia. Walaupun ada yang baik pasti ada embel-embel di balik semua itu. Tetap berusaha dan berkarya kawan cilik ku.
Anton yang baik,
Saya awali dengan ucapan selamat Hari Raya Idul Fitri semoga kau dan keluarga sehat walafiat lancar rejeki. karena penting untuk menyuburkan dan merawat gagasan gagasan kreatif humanis yang ada di kepala kau.
Tulisanmu selalu kental dengan nuansa kemanusiaan. aku suka dan apreciated it.
Child labor atau pekerja anak memang masalah sangat serius yang harus kita sikapi bersama. Ke depan kehadirannya akan semakin membludak, karena negeri kita sudah terlanjur dalam cengkeraman tangan “Neo-lib”, yang maha ganas dan ada dimana mana (wyapiwyepake)
Jalan keluarnya bagaimana ? ini pertanyaan yang sering dilontarkan sebagai ungkapan simpati. Ini masalah pelik, susah susah gampang, Sekarang situasi dan kondisi kehidupan berbangsa dan bernegara dalam kedaan sulit, : punya tanah sulit, nggak punya tanah juga sulit, beli tanah apalagi lebih sulit !!!!
Dulu orang sering berargumen : kalau punya modal gampang bisa melakukan apa saja. Ternyata saat ini nggak benar juga : banyak orang punya uang karena jual tanah, duitnya habis dan terjerembab kedalam keterpurukan. Jual tanah punya duit banyak tidak bisa melipatgandakan duitnya akhirnya juga problem. Di desa desa petani banyak yang punya tanah, kesulitan air pupuk dan sebagainya akhirnya jatuh miskin ditimpa tanah sendiri, jalan pintas tanah dijual lalu amblas dan kebablasan dan sering berakhir dengan bunuh diri. Di Bali 2007 aja orang bunuh diri 114 orang menurut Bali Post. Akhirnya lahirlah buruh anak, lalu ????
Lagi lagi kita harus bicara atau butuh kata sakti yang bernama komitmen. Di abad ini kata ini langka, kalaupun ada hanya sebatas kata bukan tindak nyata.
Kalau berandai-andai jika kita punya komitmen untuk mengeluarkan uang seribu perak untuk penduduk Bali yang jumlahnya 3 juta kita akan mampu mengumpulkan uang cukup banyak untuk kita pakai sekolah buruh anak. Ini barangkali..
Okay Bung Anton