Mengairahkan kegiatan berkesenian dalam hal ini kerajinan tradisional, CushCush Gallery mempersembahkan pameran Colors Of Bali dengan pembukaan pameran pada Sabtu, 4 Desember 2021, berlangsung hingga 19 Desember 2021. Pameran, bersama dengan katalog yang menyertainya dan video dokumentasi pendek, adalah puncak dari program penelitian dan eksplorasi dengan judul yang sama yang diprakarsai oleh pendiri CushCush Gallery.
Suriawati Qiu, Co-Founder CushCush Gallery menyampaikan Pandemi Covid-19 saat ini yang berkepanjangan memiliki dampak yang sangat merusak terhadap ekonomi Bali dan kehidupan masyarakatnya. Tahun lalu, selama pandemi kami mendapat kesempatan untuk mengunjungi beberapa desa dan kabupaten di Bali. Percakapan singkat dengan keluarga penenun di Tejakula dalam kunjungan awal kami mengingatkan kami pada banyak kerajinan Bali yang sudah mulai menurun, ketergantungan yang besar pada pariwisata yang telah berdampak buruk dalam situasi saat ini, dan pada saat yang sama kekayaan pengetahuan, sumber daya dan kearifan lokal di Bali. Saat itulah benih ‘Colors Of Bali’ ditaburkan: sebuah perjalanan untuk mempelajari dan menemukan kembali pewarna dan pigmen alami dalam kerajinan tradisional Bali.
“Kami tidak sabar untuk berbagi dengan teman dan komunitas. Kami berterima kasih kepada Pemerintah Australia yang telah mendanai Colors Of Bali, melalui Konsulat Jenderal Australia di Bali dan Australia Awards Alumni Grant Scheme (AGS) yang dikelola oleh Australia Awards di Indonesia.” ujar Suriawati Qiu sekaligus penerima Australian Alumni Grant Scheme tahun 2020.
Enam kerajinan tradisional yang diteliti dalam program Colors of Bali dibagi menjadi dua aliran adalah aliran wayang, yang mencakup kerajinan Wayang Kulit, Topeng, dan lukisan Kamasan, yang semuanya berbagi narasi yang sama dari epos kuno seperti Mahabharata dan Ramayana. Aliran lainnya adalah aliran tekstil yang meliputi kerajinan Gringsing, Cepuk dan Songket, yang semuanya berakar atau telah dipengaruhi oleh tekstil India kuno, Patola.
Sebanyak 35 karya terpilih yang dipamerkan dalam pameran Colors Of Bali terbentuk dari percakapan, wawancara, pengamatan dengan pengrajin dan orang-orang yang terlibat, serta penelitian melalui artikel dan buku yang ditulis oleh akademisi, antropolog, dan peneliti di bidang yang relevan. Untuk membentuk perspektif yang lebih holistik mengenai kerajinan-kerajinan tersebut. Seniman, perajin dan praktisi budaya yang terlibat antara lain alm. I Nyoman Mandra, I Made Sesangka Puja Laksana, Ni Wayan Sri Wedari, Ni Made Kartini, Ni Nyoman Mandri, Ni Wayan Jempiring, I Made Danan Adi Laksana, Cokorda Raka Sedana (Cok Alit), Cokorda Putra Wiyuda, I Wayan Nartha, I Ketut Sudiana, I Nyoman Sadra, I Putu Wiadnyana, I Nengah Sadri, Ni Kadek Trisnawati, Ni Wayan Sari (Ibu Luh), Cokorda Sawitri, alm. Ida Swarga Ida I Dewa Ayu Alit (Wak Alit), Ida Ayu Ngurah Puniari, dan Ni Ketut Astiti (B, Jero).
Tiga peneliti, akademisi dan pendidik yakni, I Nyoman Gede Maha Putra dari Universitas Warmadewa, Siobhan Campbell dari University of Sydney dan I Wayan Karja dari Institut Seni Indonesia (ISI) Denpasar, masing-masing menulis sebuah artikel untuk berbagi perspektif mereka dalam kaitannya dengan konteks sejarah, sosial, dan budaya di Bali dalam pengembangan kerajinan dan signifikansi warna. Fiona Caripis dari Kajimundo adalah konsultan di awal program karena ketertarikannya pada isu sustainability dan pewarna dari tanaman, yang sejalan dengan perhatian Colors Of Bali. Kemudian, I Wayan Warmada dan tim Departemen Teknik Geologi Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, bergabung untuk melakukan uji laboratorium yang sangat penting guna memperoleh beberapa kesimpulan untuk kemungkinan penelitian di masa depan.
“Melalui kecintaan Suriawati dan rekannya Jindee terhadap bahan-bahan alami, desain yang berkelanjutan dan budaya Bali, dikombinasikan dengan keterampilan, jaringan, dan pengalaman yang diperolehnya di Australia, Colors of Bali muncul. Colors of Bali meningkatkan kesadaran akan pentingnya dan nilai kebangkitan kembali kerajinan tradisional Bali. Pameran ini berusaha untuk menghubungkan komunitas kreatif di Bali, Australia dan wilayah yang lebih luas, dan mendorong diskusi tentang bagaimana melestarikan praktik tradisional sekaligus membuatnya sukses secara komersia,” Anthea Griffin, Konsul Jenderal Australia di Bali.
Bersamaan dengan pameran selama dua minggu, serangkaian program publik (online dan offline) termasuk lokakarya yang dipimpin pengrajin. Tur kuratorial dan diskusi juga akan berlangsung.