“Geg Tha, sikunya dilurusin ya? Supaya posisi geraknya porposional,” pinta Bu Made, pengajar tari.
Saya menoleh ke arah siku. Meluruskan tangan semampu mungkin. Menurut saya ini sudah lurus. Meski berkali-kali terpikir, mengapa rentang tangan saya berbeda dengan teman sepenari.
Bu Made yang berkeliling membenahi posisi gerak tubuh teman-teman yang lain kemudian mendekati saya. Direngkuhnya tangan ini, mencoba meluruskan agar sesuai dengan lainnya.
Saya menatap Bu Made, yang juga keheranan mengapa tangan saya tak bisa diluruskan.
“Tidak, Bu, tidak! Pokoknya Tha gak mau pakai sepatu itu ke sekolah. Tha mau sepatu kuning, ada cahaya kelap-kelip. Ada bonekanya. Sepatu ini jelek!” Saya merajuk diiringi air mata. Melempar sepatu insole khusus.
Sepatu berwarna hitam mirip sepatu booth, bertali namun bagian jemari kaki sedikit terbuka. Itu sepatu teraneh yang saya ingat.
Beberapa hari kemudian, saya memiliki sepatu baru. Dan apa yang terjadi? Berkali-kali saya terjatuh, terpleset dan tersungkur. Ibarat peraga busana yang tak terbiasa dengan high heels-nya.
“Astaga, anak ini marfan,” seru seorang dokter di hadapan saya.
Dokter itu berdiri, kemudian meminta saya ikut berdiri. Memeriksa cara saya berjalan, mengangkat kedua tangan, mengepalkan tangan dan menulis.
“Wah, adik seorang penari ya? Coba tunjukkan satu tarian untuk saya,” pintanya.
Saya menarikan sedikit bagian dari tari legong. Dokter itu tersenyum. Meneliti kedua jemari saya.
Lalu, dia meminta saya membaca. Menyerahkan buku tebal dengan berbagai ukuran font. Saya bisa membaca sesuai apa yang ditunjukkannya.
Dokter itu mematung sebentar. Melepas kacamata yang bertengger di hidungnya. Memejam sejenak yang membuat para asisten menunggu. Menunggu sigap menulis kasus pasien dan bahasan materi kuliah.
Desah napasnya terdengar berat. Ia membuka kedua matanya, “Kemarilah,” suaranya terdengar lemah.
Saya mendekat, membalas senyumannya. Dokter itu berdiri. “Di luar bahasan kita,” dokter itu mengisyaratkan agar para asistennya tidak lagi tegang urusan materi pelajaran. “Saya keluar masuk rumah sakit, jadi dokter menimba ilmu di mana-mana. Menangani berbagai kasus. Hanya ini, hanya ini…”
Ia terdiam sejenak. Menepuk hangat bahu saya, “Adik, kau beruntung. Tetaplah bersyukur. Jangan mengeluh. Kasusmu cukup berat bagi saya pribadi. Sebagai dokter, saya hanya memiliki kemampuan menganalisis, tapi kehendak tetap yang di Atas mengatur. Di luar sana yang saya temui, tak seberapa namun kondisinya jauh buruk.”
Dokter itu menunduk, memeluk saya yang belum berhasil mencerna ucapannya.
Saya bersyukur, mata masih melihat. Anggota gerak masih berfungsi baik. Masalah pada organ tubuh vital seperti jantung bocor, bisa ditangani. Tulang belakang yang skoliosis, meski sering nyeri, namun masih ada penolongnya.
Ada masa di mana cukup membuat saya terkejut. Saat tidur terlentang atau duduk selonjoran. Mendadak bagian pinggang hingga kaki kesemutan hingga mati rasa. Justru ketika kaki ditekuk, kesemutan atau mati rasa mulai mereda dan hilang.
Ada juga masa di mana jemari agak kaku sekalipun sudah terbiasa menulis.
Sebagai manusia yang tak sempurna, ada kala saya mengeluh. Namun saat akan menguntai kata keluhan, saya tidak punya alasan untuk mengeluh. Tak ada sedikit pun celah berkeluh-kesah.
Ya, apa? Apa yang harus dikeluhkan? Memangnya dengan mengeluh, habis perkara?
Marfan telah banyak mengajari saya tentang arti bersyukur. Menikmati ritme hidup meski dalam keterbatasan. Menjadi kreatif saat tidak bisa melakukan sesuatu seperti orang lain. Hey! Bukan tidak bisa, melainkan, ada cara tersendiri.
Marfan juga membuat saya belajar mencintai diri-sendiri, menghargai orang lain dan tidak mudah menghakimi yang terlihat dari luar.
Melihat segalanya secara utuh, bukan dengan sebelah mata. Menilai apapun dari berbagai sisi dan aspek. Dan yang paling penting, jadi mudah mengetahui siapa teman, pun mana yang hanya sekadar angin lalu. Memiliki teman yang benar-benar menerima kehadiran saya dengan tulus. Lekas membantu tanpa diminta ketika saya membutuhkan bantuan.
Mungkin di antara kalian, ada yang bingung ya, marfan itu apa? Baiklah, akan saya jelaskan secara ringkas.
Istilahnya adalah Marfan Syndrome, gangguan atau kelainan pada jaringan ikat, pendukung organ dan stuktur tubuh. Pada umumnya nih, pengidap (please, pengidap yes, not penderita) marfan memiliki masalah pada mata, jantung, dan tentunya kerangka tubuh. Ya, kerangka tubuh.
Secara fisik, pengidap marfan mudah terlihat. Misalnya nih, tubuh yang kurus dan tinggi, cara mengepalkan tangan yang berbeda, ukuran jemari yang cukup panjang, mata cekung, beberapa lainnya juga mengalami tungkai kaki berbentuk ‘X’ atau ‘O’ serta telapak kaki datar.
Penyebabnya, kalau gak salah ingat sih ya, kesalahan gen tubuh penghasil protein sebagai elastisitas dan kekuatan di jaringan ikat.
Marfan memengaruhi hampir setiap bagian dari tubuh, sehingga tak jarang pengidap marfan mengalami komplikasi. Contohnya nih, pada jantung dan pembuluh darah. Jaringan ikat yang rusak dapat melemahkan aorta. Tau kan aorta itu apa?
Ya, benar. Aorta adalah pembuluh darah terbesar berasal dari jantung untuk memasok darah ke seluruh tubuh. Nah, gangguan bisa berupa tekanan darah, pecahnya stuktur dinding jantung, dan katup atau otot jantung yang otomatis tidak dapat bekerja dengan baik.
Contoh lain, pada mata. Kelemahan lensa mata, robeknya retina, tekanan tinggi abnormal dapat merusak syaraf optik (glukoma) yang gejalanya mungkin seremeh mudah silau oleh cahaya.
Contoh komplikasi pada paru, kesulitan bernapas. Yha, entah akibat dari jaringan ikat yang rusak atau stuktur tulang melengkung. Mudah sesak napas saat beraktivitas, dan sleep apnea.
Mungkin ada beberapa dari para pembaca bertanya-tanya, apakah marfan ada obatnya?
Hmmm, jawabannya adalah… Marfan bukan penyakit. Ini kelainan yang seumur hidup tetapi masih bisa ditangani. Misalnya, gangguan pada mata, bisa dicek sesuai keluhan. Mungkin butuh kacamata atau pengobatan rutin. Begitu juga pada jantung, bila terjadi kebocoran, bisa ditangani berupa intervensi non bedah ataupun bedah berbuka. Begitu juga pada serangan sesak napas, diatasi dengan inhaler atau pil pereda sesak. Menjalani perawatan dan pencegahan tergantung pada sifat dan keparahan komplikasinya.
Terakhir, gangguan rangka tubuh. Umumnya sih scoliosis, ya. Kelengkungan tulang belakang bisa terjadi pada leher, punggung atau dada, dan pinggang atau pinggul.
Mungkin sekian dulu penjelasannya. Pastinya, pada pengidap marfan, tidak semua mengalami hal sama. Tergantung kekuatan jaringan ikat dan jatuhnya jaringan yang lemah. Tidak semua marfan mengalami semua gangguan. Ada yang hanya secara fisik, ada juga pada organ tubuh vital. Ada yang mengalami komplikasi ada juga yang secara kasat mata terlihat berbeda tapi tidak merasakan nyeri. Begitupula, ada yang secara fisik terlihat biasa saja namun lemah dan mudah ambruk.
Jika di antara yang membaca tulisan ini, ada yang memiliki orang terdekat atau Anda sendiri tervonis marfan, jangan sedih. Yuk, kita pelukan. Kamu tidak sendiri. Ada saya dan belasan teman-teman yang berkumpul di grup Marfan Syndrome Indonesia via Facebook, Instagram, Line dan WhatsApp.
Vonis dokter bukan akhir dari segalanya. Tuhan tak sejahat yang kamu bayangkan.
Ya, ya, ya… Saya akui, penjelasan marfan yang tertulis di atas sangat mengerikan. Tolong salahkan dokter saja yang menganalisis, bikin kita-kita ini jadi baper. Jangan salahkan saya ya, apalagi nyalahin Pak Jokowi. Biar, biar Dilan aja yang berat karena rindu. Kita santai aja, rileks. (Gak nyambung, weks! Biar).
Untuk mengakhiri tulisan ini, saya mau menyampaikan pada Marfan Figther dan siapapun kalian yang sedang berjuang menerima keadaan, nikmati saja segala keterbatasanmu. Karena dengan menikmati, kamu sudah bersyukur. Dengan bersyukur, kamu secara otomatis menerima dirimu. Dengan mencintai diri, kamu akan mudah dan lebih jeli menemukan dimana dan dengan cara apa kamu melaluinya agar harimu tetap berwarna dan ceria.
Percayalah, marfan (atau apapun jenis disabilitasmu) memiliki sejuta cerita dan beribu alasan pada kita untuk tidak mengeluh. Jalani saja… Maka, keajaiban semesta akan mendukungmu. [b]
Ditulis dalam rangka memperingati “February is Marfan Awareness Month.”
Anak saya 12 tahun, tersangka marfan syndrome. Bisa kah saya mendapatkan info lebih banyak lagi tentang syndrome ini?
no kontak saya 082110884078
Trmkasih
Arum