Oleh Anton Muhajir
Sambil memejamkan mata, I Made Suartama mendengarkan pertanyaan dari Yusuf Pribadi.
“Sebutkan salah satu lembaga pemerintah yang memberikan layanan harm reduction?” tanya Sting, panggilan akrab Yusuf Pribadi.
Setelah teman di sebelahnya memukul kentongan dari bambu, Made menjawab. “Rumatan Methadone Sanglah,” kata Made menyebut nama lembaga yang memberikan layanan harm reduction di Denpasar tersebut.
“Betul,” kata Sting. Sekitar 25 orang di dalam ruangan Yayasan Hatihati bertepuk tangan memberi aplaus untuk Made dan dua temannya di Regu B.
Made bersama dua temannya, Mas Hamzah Muslich dan Dewi Indria Sari, adalah bintang dari lomba cerdas cermat yang diadakan Yayasan Hatihati Selasa (16/12) kemarin. Dengan nilai 1450, mereka keluar sebagai Juara I.
Yayasan Hatihati adalah lembaga yang memberikan pelayanan harm reduction, pengurangan dampak buruk pada IDU dan pendampingan pada orang dengan HIV/AIDS (AIDS) di Bali. Lembaga yang berdiri pada 10 Desember 1998 ini adalah salah satu lembaga yang memulai program harm reduction di Indonesia sepuluh tahun lalu.
Merayakan ulang tahunnya yang ke-10 tersebut, Hatihati mengadakan kegiatan. Salah satunya adalah lomba cerdas antar-IDU tersebut.
Lomba itu diadakan di kantor Yayasan Hatihati di Denpasar Selatan. Sembilan peserta yang terbagi dalam tiga regu duduk lesehan beralas karpet. Tiap regu membawa kentongan dari bambu yang dipukul terlebih dahulu sebelum mereka menjawab pertanyaan. Meski saling bersaing, di mana kadang ada ketegangan karena satu sama lain ngotot merasa jawabannya paling benar, namun lomba berlangsung penuh keakraban.
“Menang kalah urusan belakang. Yang penting meriah,” kata Andi, salah satu peserta.
Yusuf Pribadi, Direktur Yayasan Hatihati mengatakan, lomba cerdas cermat baru kali ini dilakukan dalam rangkaian ulang tahun Hatihati. Biasanya, kegiatan ulang tahun hanya bersifat internal.
Namun, lanjut Sting, karena tahun ini adalah yang ke-10, maka Hatihati ingin lebih banyak melibatkan klien. “Sekalian melakukan evaluasi program selama sepuluh tahun ini,” tambah Sting.
Materi cerdas cermat itu terdiri dari berbagai pertanyaan terkait HIV dan AIDS maupun Narkotika, Psikotropika, dan Obat-obatan berbahaya lain (Narkoba). Misalnya tentang kelompok yang rentan tertular HIV, perilaku yang rentan menularkan HIV, juga lembaga yang memberikan pelayanan harm reduction di Bali.
Peserta lomba adalah klien Hatihati, baik yang masih aktif sebagai IDU maupun yang sudah ikut program terapi substitusi methadone. Made adalah salah satunya. Dia menjadi klien Hatihati sejak sekitar 2002 ketika masih aktif sebagai IDU. Sejak dua tahun lalu dia ikut terapi methadone dengan dosis terakhir 30 ml. “Tadi pagi baru minum. Makanya sekarang mulai ngantuk,” lanjutnya.
“Acaranya seru sekali. Karena kami bisa jadi melatih kekompakan sesama teman,” tambah Made usai lomba.
Menurut Sting, sejak berdiri sepuluh tahun lalu sampai saat ini, Hatihati memberikan layanan pada sekitar 1.500 klien. Klien yang masih dalam dampingan saat ini antara 300 sampai 400 IDU.
Karena itu mereka ingin mengevaluasi sejauh mana pemahaman IDU terhadap program-program tersebut. “Dari hasil lomba tadi, saya menilai bahwa pemahaman klien kami pada masalah HIV dan AIDS maupun narkoba sudah bagus. Justru pemahaman soal lembaga kami (Hatihati) yang masih kurang,” kata Sting.
Dalam lomba tersebut memang ada juga pertanyaan-pertanyaan terkait Yayasan Hatihati. Namun untuk pertanyaan semacam ini sebagian besar peserta malah tidak tahu. Padahal ketika diberi pertanyaan umum tentang HIV dan AIDS dan narkoba para peserta dengan cepat bisa menjawabnya.
Peserta lomba sendiri dipilih secara acak. Tapi sebagian besar memang yang sudah lama jadi klien Hatihati. Setidaknya di atas lima tahun. Karena itu para peserta terlihat bisa menjawab sebagian besar pertanyaan. “Karena sudah hafal di luar kepala,” kata Hamzah, peserta yang lain.
Namun tak hanya pengetahuan soal HIV dan AIDS maupun Narkoba yang bertambah di kalangan IDU. Menurut Lodovickus Gerong, manajer Program Yayasan Hatihati, para IDU juga makin berani berbicara di depan umum. “Ketika kami baru mulai program sepuluh tahun lalu, mana ada IDU yang berani ngomong di depan umum,” kata Vicky, panggilan akrabnya.