“Itu kejahatan. Mengerikan,” kata Arist Merdeka Sirait.
Ketua Komisi Nasional (Komnas) Perlindungan Anak tersebut mengomentari pertanyaan tentang beasiswa yang diberikan perusahaan rokok kepada pelajar maupun mahasiswa. Arist salah pembicara dalam workshop Advokasi Penerapan Peraturan Daerah Kawasan Tanpa Rokok Perda KTR di Bali bagi jurnalis Sabtu kemarin.
Lokakarya sehari di Denpasar tersebut diadakan Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Denpasar, Lembaga Perlindungan Anak (LPA) Bali, dan Total Ban, gerakan menolak iklan, promosi, dan sponsor rokok dalam segala bentuk. Peserta lokakarya sekitar 25 jurnalis dari berbagai media di Bali, lokal maupun nasional.
Ada lima pembicara dalam lokakarya dua sesi, pagi dan siang itu. Pada sesi pagi ada Ketua Komnas Anak Arist Merdeka Sirait, Kepala Bidang Pengendalian Penyakit Menular dan Penyehatan Lingkungan (P2MPL) Dinas Kesehatan Bali Gede Wira Sunetra, dan dosen Ilmu Kesehatan Masyarakat Universitas Udayana (Unud) Made Kerta Duana. Ketiganya membahas tema perlunya KTR di Bali.
Pada sesi setelah makan siang, materi lebih fokus pada bagaimana peran jurnalis dan media dalam kampanye KTR atau bahkan rokok. Pembicaranya Ketua AJI Denpasar Rofiqi Hasan dan wartawan TEMPO Bagja Hidayat.
Tema lokakarya pun beragam meskipun semuanya fokus pada isu rokok. Namun, isu paling menarik, menurut saya, adalah tentang pemberian beasiswa oleh perusahaan rokok tersebut.
“Gubernur Bali sudah membuat Perda KTR. Tetapi, kenapa di sisi lain juga memberikan izin pada sekolah Bali Mandara yang nyata-nyata disponsori sebuah perusahaan rokok,” tanya wartawan Radio Elshinta.
SMA Bali Mandara ini berada di Buleleng, Bali bagian utara. Dia memberikan beasiswa untuk anak-anak miskin dan berprestasi. Penerima beasiswa tak hanya belajar tapi juga tinggal di asrama yayasan milik salah satu perusahaan rokok terbesar di Indonesia.
Menurut Arist, pemberian beasiswa oleh perusahaan rokok melalui yayasan ini merupakan kejahatan karena berkampanye secara terselubung. “Ini adalah sebuah kejahatan terselubung dari iklan rokok yang justru berada di lembaga pendidikan,” tegasnya.
Beasiswa pendidikan oleh perusahaan rokok ini terasa ironis dengan Peraturan Daerah Bali Nomor 10 Tahun 2011 tentang Kawasan Tanpa Rokok (KTR) yang dibuat Gubernur Bali Made Mangku Pastika sendiri. Perda yang disahkan pada 29 November 2011 ini merupakan Perda KTR pertama di Indonesia untuk tingkat provinsi.
Pasal 2 Perda ini menyatakan tempat belajar mengajar merupakan salah satu dari 8 KTR. Selain tempat pendidikan, KTR lainnya adalah fasilitas pelayanan kesehatan, tempat ibadah, angkutan umum, dan lain-lain. Prinsip KTR sendiri tak hanya bebas 100 persen dari asap rokok tapi juga dari iklan, promosi, dan sponsor.
Terselubung
Namun, Sekolah Bali Mandara yang dikelola yayasan milik perusahaan rokok ini bisa jadi hanya puncak gunung es dari mengguritanya kampanye rokok di dunia pendidikan, diam-diam ataupun terang-terangan. Bentuknya tak cuma iklan dan promosi tapi juga beasiswa itu tadi.
Sekolah Bali Mandara hanya salah satu. Kampus adalah lahan subur lainnya. Beasiswa untuk mahasiswa ini, misalnya dari Sampoerna dan Djarum. Ketika saya jadi mahasiswa tahun 1997 – 2005 pun dua beasiswa ini yang jadi favorit mahasiswa. Uangnya besar.
Sampai saat ini, beasiswa untuk mahasiswa ini masih terus terjadi. Made Kerta Duana, dosen Ilmu Kesehatan Masyarakat Unud , kampus memang jadi sasaran empuk iklan dan promosi rokok yang berlindung di balik kedok beasiswa.
“CSR rokok memang menyasar pendidikan tapi perusahaan rokok selalu membantah karena pemberi beasiswa sudah terpisah dari perusahaan rokok,” kata Duana.
Tak hanya untuk berupa beasiswa, promosi rokok ini pun diberikan melalui sponshorship dalam kegiatan-kegiatan mahasiswa. “Mereka (perusahaan rokok) sangat agresif menawarkan sponsor pada mahasiswa,” tambahnya.
Beasiswa untuk pelajar dan mahasiswa ini melengkapi betapa agresifnya perusahaan rokok melakukan promosi. Iklan-iklan di media massa, baik lewat cetak maupun elektronik, pun tak henti-hentinya menghadirkan tipuan.
Lihatlah, misalnya, iklan rokok di televisi yang memperlihatkan lelaki-lelaki muda, ganteng, petualang, sukses, dan semacamnya bersama salah satu merk rokok. Memang menggiurkan. Seolah-olah, begitulah nasib para perokok.
Padahal, nyatanya, lebih banyak orang miskin yang merokok dibandingkan orang kaya.
Tanpa henti, bujuk rayu rokok itu menyerbu semua tempat dengan target utama anak-anak muda atau remaja. Mereka ini jadi target utama bujuk rayu rokok karena sekitar 70 persen perokok memulai saat remaja. Dan, begitu sudah kenal satu jenis rokok, biasanya perokok akan setia. Ogah berpindah.
Dengan fakta tersebut, maka sangat beralasan jika pendidikan di kalangan remaja pun jadi target utama kampanye rokok baik terang-terangan maupun terselubung. Beasiswa hanya salah satu bentuknya.
Lalu, bagaimana komentar pemerintah terhadap promosi terselubung perusahaan rokok ini? “Saya susah berkomentar. Itu sudah urusan bos-bos besar,” kata Gede Wira Sunetra. [b]