Sepetak sawah itu tanahnya telah mengering.
Dia dipenuhi plastik-plastik bekas yang menjadi artefak sisa makanan. Sebuah bendera besar tegak berkibar tertiup angin di tengah sawah tersebut. Bendera Forum Rakyat Bali Tolak Reklamasi (ForBALI) menjadi pernyataan sikap warga sekitar terhadap rencana Reklamasi Teluk Benoa.
Terlihat pelantang suara (oudspeaker), drum, dan gitar yang masih terbungkus rapat. Panggung kecil telah terpasang di sawah yang telah mengering. Rumput dan jerami menguning memenuhinya. Di sisi bentangan sawah lainnya, tampak sebuah traktor masih terbungkus rapi dengan terpal hijau pudar ditinggal pengembalanya pulang berhari raya.
Sebuah papan bertuliskan SAVE SUBAK BALI dipajang di pematang sawah. Dia menjadi penanda pergelaran yang akan dihelat hari itu.
Subak sebagai sistem tata kelola persawahan di Bali memang sudah cukup populer dan mulai terancam punah. Hal ini jelas merupakan salah satu akibat aktivitas alih fungsi lahan pertanian menjadi perumahan.
Pembengkakan jumlah penduduk berbanding lurus dengan kebutuhan akan tempat tinggal. Pemukiman pun terus melebar dan mempersempit area sawah yang akhirnya tak lebih menjadi jeda pendek antara dua bangunan.
Subak sebagai sebuah sistem irigasi bisa bertahan karena ada sawah. Sawah bisa bertahan karena masih ada yang tidak tergoda untuk menjualnya dan memilih untuk bertani. Ketika petani dan sawah tidak lagi, ada maka subak hanya akan menjadi kenangan.
Berbicara tentang sawah tidak hanya masalah lahan penghidupan atau sumber tradisi, tetapi juga sebagai ruang bermain. Anak-anak menjadikan sawah sebagai tanah lapang tempat mereka bermain. Mulai dari bermain bola, perang lumpur dan yang tidak kalah seru dan telah menjadi tradisi adalah bermain layang-layang.
Ada ingatan romantis masa kecil akan sawah lapang dan luas, yang biasa digunakan untuk arena bermain. Meskipun bermain di sawah akan diselingi teriakan orang tua yang sedikit bawel karena lumpur memenuhi sekujur tubuh. Atau tangisan akibat luka kecil karena terjatuh saat sedang asyik berlarian di sawah.
Sayangnya ingatan itu terancam oleh kekhawatiran. Bahwa anak-anak di masa mendatang tidak akan lagi memiliki kesempatan mendapat pengalaman sama. Sebab, lahan mereka telah habis oleh bangunan beton.
“Anak-anak masih sering melayangan, sedangkan pendatang tambah banyak, batako dan beton terus bertambah. Kami ingin suasana pedesaan ini masih ada sehingga ada tempat bermain bagi anak-anak,” kata Koden, salah satu personel grup band Netterjack.
Akhirnya, kami pun menggagas acara Brother Keepers Forever yang bertemakan SAVE SUBAK BALI. Acara ini berlangsung pada Minggu (2/7) di Banjar Apuan, Singapadu, Sukawati, Gianyar.
“Ini juga karena dorongan dari Jes. Dia yang bilang kalau tempatnya asyik untuk sebuah acara,” Koden menambahkan.
Anak-anak muda Banjar Apuan Singapadu, Sukawati, Gianyar pun kembali memenuhi sawah. Meski bukan untuk mencangkul, setidaknya ini menjadi stimulan untuk mengingat kembali kenangan masa kecil. Kenangan yang semakin hari semakin terhapus oleh ruinitas dan pergeseran intensitas komunikasi dunia maya.
Kekhawatiran Koden memang beralasan. Melihat bangunan-bangunan perumahan yang menjorok semakin dalam ke lahan-lahan sawah produktif. Perlahan-lahan menimbun ingatan masa kecil akan sawah dengan campuran semen, pasir dan batako.
Orang-orang baru hadir entah dari mana. Tiba-tiba menjadi tetangga. Ada sekitar 250 kepala keluarga pendatang dan membuka pemukiman baru di lingkungan tersebut. Hal ini diutarakan oleh Pak Made Parwira, warga setempat yang memberikan sawah garapannya untuk dijadikan lokasi acara.
“Mungkin sekitar 8 hektar sawah di sini telah habis menjadi perumahan. Ada sekitar 70 are, yang dulunya sawah kini sudah bertransformasi menjadi rumah-rumah hunian,” katanya sambil mengarahkan telunjuk ke arah timur, menunjuk sebuah perumahan yang berdiri di tengah-tengah sawah.
Anak-anak muda yang memiliki kenangan romantis akan sawah saling bersolidaritas. Meminjamkan listrik, seperangkat sound system serta instrumennya, dan waktu untuk berdendang.
Ada pula yang memberikan karya-karya mural yang dilukis di dinding. Ada 735art yang menggambar seekor kodok hijau raksasa di atas dinding batako telanjang. Di sisi lainnya seekor kera mengenakan pakaian belang (bojog poleng) sedang menggunakn cat spray.
Ada 735art, Frenk (Mardia Dinata), Antox, Peng, Egix dan kawan-kawan yang telah memulai karya mereka beberapa hari sebelumnya. Sedangkan Easy Tiger, Unkle Joy, Tockibe dan kawan-kawan lain masih asyik dengan dinding yang disediakan untuk menjadi media bagi mereka dalam berkarya.
Semakin malam penonton semakin ramai. Suara genset yang menjadi sumber energi untuk sound system seolah menjadi background bagi band-band yang bermain. Ada Moron Bross, Rograg, Matarantai, Rastaflute, Bebangkan Oi! Squad dan tentu saja tidak ketinggalan Koden Netterjack.
Malam itu, suara jangkrik terpaksa menyingkir dan diganti dengan alunan musik dari band-band pengisi acara. Nyamuk-nyamuk pun harus menjauh untuk menghindari kepulan asap dari api unggun yang memanggang beberapa jenis bahan makanan. Tidak lupa minuman lokal yang menjadi pelengkap untuk merayakan kebersamaan tersebut.
Keintiman muncul dari setiap wajah yang hadir di malam itu. Keintiman di tempat yang dahulu pernah menjadi arena bermain para pemuda ini. Tempat yang telah mereka abaikan akibat kesibukan rutinitas akan tuntutan yang mengikuti umur (semakin bertambah usia semakin menuntut).
Tempat yang mereka coba pertahankan agar anak-anak mereka masih bisa menikmati kesegaran udara dan bermain di atas lumpur. Bebas berlari dan menerbangkan layang-layang seperti halnya yang mereka lakukan dulu di masa kecil. [b]