Oleh Kadek Didi Suprapta
Bali memang terlalu identik dengan pariwisata. Ketika iklim pariwisata menunjukan gelagat penurunan, semua gelagapan. Banyak hotel dan resotoran kolaps. Pemutusan hubungan kerja terjadi di mana-mana, bukan hanya di sektor yang bersentuhan langsung dengan pariwisata seperti hotel atau restaurant, namun juga di setiap sektor yang tidak bersentuhan langsung dengan pariwisata.
Semenjak terjadinya bom Bali I dan II, seperti tidak ada perkembangan yang berarti dalam rangka memulihkan kepercayaan wisatawan untuk berkunjung kembali ke Bali. Hal ini terjadi karena wisatawan sekarang jauh lebih pintar. Bahkan wisatawan jauh lebih tahu dari apa yang kita tahu. Informasi yang mereka dapatkan secara cepat dari internet, memberikan bekal kepada mereka sebelum mereka melakukan perjalanan wisata ke Bali.
Sayangnya, seringkali informasi yang mereka dapatkan tidak objektif, tidak berimbang karena datangnya dari wisatawan itu sendiri. Mereka membeberkan pengalaman mereka di internet, tanpa control jurnalisme. Mereka menuliskan apa yang mereka rasakan, sehingga yang keluar adalah opini pribadi mereka.
Kenapa bisa tidak berimbang? Karena memang belum ada media lokal yang mampu memberikan perimbangan informasi. Website yang bertebaran sekarang ini hanya bertujuan menjual Bali, belum ada yang memperbaiki atau mengangkat citra Bali. Celakanya, sebagian besar website yang berpengaruh dikuasai warga asing. Jadilah, mereka hanya menjual Bali, tanpa kontrol dan tanpa memikirkan imbas terhadap budaya dan lingkungan. Celakanya lagi, wisatawan lebih cenderung percaya pada sesama ekspatriat ketimbang masyarakat lokal Bali.
Langkah pemerintah tampaknya tidak ada yang patut diharapkan. Kenapa saya berani mengatakan begitu? Saya belum pernah menemukan satu website pun milik pemerintah yang memberikan informasi yang relevan dan berimbang. Bahkan promosi secara offline pun tidak pernah terdengar. Meski sering mendengar ada konvensi, atau studi banding ke luar negeri, saya yakin hasilnya tidak maksimal. Kenapa? Terlalu birokrat dan terkesan formal. Sayangnya wisatawan bukanlah orang yang suka formal-formalan. Mereka terkesan santai, bebas, dan menikmati hidup. Jadi, buat apa studi banding yang formal ke luar negeri dengan menghabiskan anggaran?
Sebenarnya kalau pemerintah bijak, dan benar-benar memperhatikan pariwisata Bali, tidak harus mahal. Cukup dengan ongkos satu orang anggota dewan yang melakukan perjalanan ke luar negeri sudah bisa melakukan promosi yang cukup efektif.
Tengoklah Singapura atau Malaysia. Coba buka Google terus search Malaysia tourism atau Singapore tourism. Yang muncul di halaman awal Google adalah website pariwisata mereka. Branding Singapore seperti “Uniquely Singapore” atau Malaysia dengan “Malaysia truly Asia”nya cukup terkenal di seantero dunia.
Sekarang kita tengok brandingnya Bali. “Bali Santhi-Santhi-Santhi”. Bagaimana anda mengartikannya? Bagi kita yang ada di Bali mungkin tidak sulit mengartikan, tapi persepsi kita menjadi bias. Sekarang coba tanyakan kepada wisatawan, apa mereka mengerti dengan maskud Bali santhi. Satu persen sepertinya susah menemukan wisatawan yang mengerti makna di balik Bali Santhi itu.
Bukankah branding harusnya bertujuan ke luar, bukan ke dalam. Maksud saya, branding bertujuan mengenalkan potensi Bali keluar, bukan ke dalam masyarakat Bali sendiri. Jika tujuan branding itu sendiri memang untuk menarik wisatawan asing, bukan menjadikan masyarakat Bali sebagai objek. Bukankah branding itu harusnya.
Seandainya saja semangat pemerintah Indonesia, khususnya pemerintah Provinsi Bali sama seperti semangat pemerintah Malaysia, dengan Malaysia Truly Asian-nya. Bahkan sampai menteri pariwisatanya ikut ngeblog. Bukan blog personal, tapi blog yang merepresentasikan jabatannya sebagai seorang menteri pariwisata.
Jika saja semangat pemerintah sama seperti semangat teamnya IMFREAKZ yang beberapa waktu lalu memperoleh juara pertama dalam ajang bergengsi kontes SEO tingkat dunia.
Sayang, semangat itu masih kendur, apalagi kurang didukung oleh pengetahuan akan dunia blogging dan internet. Banyak staff pemerintah bahkan tidak tahu, apa itu email atau website. [b]