Setelah menetap di Perancis, legenda teater itu kini ke Bali.
Legenda teater Jim Adhi Limas, hadir ke Bentara Budaya Bali (BBB) pada Rabu, 3 Oktober 2018. Salah seorang pendiri Studiklub Teater Bandung (STB) itu berbagi pengalamannya perihal seni panggung.
Jim Adhi Limas didampingi sang adik, Lawrence Limas. Di usinya yang telah 81 tahun, masih penuh semangat menceritakan pengalamannya berkelana puluhan tahun di Eropa. Hadir pula dramawan senior Abu Bakar, pegiat seni pertunjukan I Gusti Putu Sudarta, Muda Wijaya, serta sastrawan Wayan Jengki Sunarta.
Mereka hadir bersama anak-anak muda dan para pegiat teater di Bali.
Menekuni dunia seni panggung sedini muda telah membawa Jim Adhi Limas berkelana ke Perancis. Juga kota-kota penting lain di Eropa, bahkan negeri-negeri di belahan benua lainnya.
Pada tahun 1967 Jim hijrah ke Perancis untuk mempelajari seni peran di Comedie Francaise Conservatoire dan Unierversitaire Internationale du Theatre de Paris. Sejak itu ia lalu menetap di Perancis dan belakangan menjadi warga negara setempat.
Diakuinya, hidup sebagai aktor tidaklah mudah. Mendapatkan sebuah peran di panggung ataupun film butuh waktu berbulan-bulan.
Menurut Jim memiliki bakat luar biasa tidak cukup untuk membawa seorang aktor pada puncak kesuksesan bila ia tidak sabar dengan proses. Banyak aktor-aktor berbakat justru hilang dan undur dari panggung.
“Namun, hanya mereka yang tekun dan sungguh yang mampu terus bertahan serta terus hadir,” ungkapnya.
Meski mengakui tidak selalu mendapat peran-peran pokok atau penting dalam sebuah pertunjukan. Jim rupanya pernah memerankan Slima, pelakon utama dalam naskah “Slimane ou l’homme-cailloun” karya Jean Pelegri, seniman Perancis asal Afrika Utara.
Jim juga dikenal karena perannya dalam film “Diva” (1981), “Bitter Moon” (1992), “Un amour de sorciere” (1997), dan A Monk’s Awakening (2005). Dia bertutur pula mengenai pengalamannya di dunia film dan upaya “Penemuan Diri” sebagai seorang aktor.
Teater Modern Tertua
Bersama kawan-kawannya, Jim mendirikan Studiklub Teater Bandung (STB) pada 13 Oktober 1958. Selama kurun waktu 9 tahun (hingga 1967), Jim dan kawan-kawan STB telah mementaskan sekitar 29 lakon. STB boleh dikata adalah kelompok teater modern tertua di Indonesia, hingga kini menjadi rujukan belajar bagi banyak seniman dan aktor panggung.
Jim mengungkapkan, bagian terpenting dari periode keaktoran dan pergulatannya di panggung teater justru adalah sewaktu ia masih berproses bersama STB di Bandung. Situasi yang serba tidak mudah kala itu, malahan menjadikan proses berteater mereka lebih “kaya” dan mendalm.
Menurut Jim, meski tidak satupun anggota STB yang pernah pergi keluar negeri, tetapi mereka sangat getol mencari berbagai rujukan atau referensi, membaca naskah-naskah asing lalu melakukan adaptasi selaras konteks sosial dan kultural setempat, sekaligus mengembangkan imajinasi tak terbatas.
Dalam perbincangan hangat tersebut mengemuka pula berbagai persoalan dan dilematik yang kini dihadapi sejumlah pegiat teater, khususnya di Bali, salah satunya dikisahkan Abu Bakar. Di mana dengan berbagai kecanggihan dan kemudahan yang ada sekarang secara tidak langsung justru membatasi para kreator atau aktor dalam berproses. Segalanya serba instan, semata mengedepankan keriuhan dan unsur hiburan yang artifisial, serta kurang memiliki kedalaman.
Jim melihat anak-anak muda sekarang, khususnya dalam bidang teater dan film, harus menggali lebih jauh lagi sampai ke akar mula sejarah seni pertunjukan guna lebih memperkaya dan memperdalam penciptaan atau kekontemporeran mereka saat ini.
“Harus ada satu upaya bersama untuk melakukan perubahan cara pandang dan pola pikir agar generasi kini (milenial) tidak hanyut dalam kebanalan yang semata artifisial,” kata Jim menanggapi. [b]