Teks I Nyoman Winata, Foto Internet
Suhu politik di Bali nampaknya mulai memanas menjelang pemilihan Bupati dan Walikota di beberapa Kabupaten/Kota. Sejumlah ontran-ontranan penentuan calon Bupati pun tak terelakkan seperti yang terjadi di Tabanan Bali terutama di tubuh PDI Perjuangan. Seorang ayah demikian ngototnya ingin mencalonkan sang Anak sebagai calon pemimpin sehingga rela melakukan apa saja. Sekali lagi, apa saja.
Kondisi ini pantas membuat kita semua prihatin karena sangat kentara terlihat, bagaimana kotornya politik itu ketika ia bertemu dengan prilaku rakus kaum elite politik yang sudah tergila-gila setengah mati dengan kepentingan kekuasaan semata.
Bila mencermati prilaku elite PDI P dengan kasus khusus di Tabanan tersebut, sama sekali kita tidak melihat sisi baik dari politik yakni sebagai jalan pencapaian kesejahteraan bersama. Jika ontran-ontranan yang kini berkembang di tingkat elite PDI P ini tidak ditangani dengan baik, maka pecahnya konflik fisik di akar rumput akan sangat terbuka lebar. Pertanyaan adalah pantaskah kita kemudian menyebut ini sebagai bagian dari proses kematangan demokrasi?
Demokrasi itu jelas bukan sistem yang baik. Demokrasi tidak lebih hanyalah pilihan terbaik di antara sejumlah pilihan buruk. Karena bukan sistem yang baik, maka demokrasi bisa membawa dampak buruk yang luar biasa bagi sebuah bangsa terutama bangsa yang pemimpin dan rakyatnya tidak memiliki moral individu yang memadai. Demokrasi bahkan bisa membuat kondisi negara menjadi semakin memburuk. Perpecahan di mana-mana dan perebutan kekuasaan dilakukan dengan pengabaian sisi moral dan etika. Kekuasaan tidak lebih dipandang dalam perspektif kenikmatan individu bagi para elite. Sementara individu rakyat sebagai pemilih, terjebak dalam pemikiran pendek dan pragmatis.
Demokrasi memungkinkan terjadinya apa yang dalam masyarakat Jawa dan juga Bali, dikenal dengan istilah “Petruk dadi ratu” banyak terjadi. Artinya rakyat biasa kemudian menjadi seorang pemimpin. Peristiwa rakyat biasa (petruk) menjadi seorang pemimpin (ratu), sesungguhnya bisa menjadi hal wajar selama dipenuhinya sejumlah persyaratan. Syarat utama yakni kesiapan mental dan moral si Petruk (rakyat biasa) sebagai calon pemimpin memang memadai. Ada proses perjalanan panjang yang harus dilalui agar terbentuk jiwa kepemimpinan yang kuat dimana kepentingan rakyat adalah diatas segala-galanya.
Namun celakanya bagi bangsa Indonesia, ada banyak petruk-petruk yang kemudian menjadi ratu karena sistem demokrasi yang demikian liberal. Petruk yang tidak pernah menjalani gemblengan menjadi seorang pemimpin tangguh dalam artian pernah memikirkan rakyat dengan sungguh-sungguh, melainkan hanya kerena “beruntung”, bisa menjadi pemimpin. Tengoklah sejumlah pemimpin daerah, entah walikota atau bupati. Sangat banyak dari mereka adalah orang-orang biasa yang tidak pernah mengalami proses berkesadaran akan makna kepemimpinan lalu menjadi pemimpin. Orientasi mereka tidak lebih hanyalah kekuasaan dan karena memiliki uang yang banyak lalu bisa menjadi pemimpin.
Di Indonesia yang paling celaka adalah matinya Partai politik dalam menjalankan fungsi sesungguhnya. Partai politik sama sekali tidak melakukan proses kaderisasi dengan baik. Parpol hanya bergeliat ketika ada event politik, setelah itu Parpol akan mati suri. Harusnya parpol melakukan proses politik yang berkesinambungan dengan serius dan terus menerus. Mesti ada kepastian pendidikan kader parpol, siapa yang dipersiapkan untuk menduduki jabatan di eksekutif, siapa dilegislatif dan siapa yang bekerja di internal partai.
Kalau sebuah parpol dengan terbuka mengatakan bahwa mereka bisa saja merektrut calon pemimpin dari luar parpol, maka jelaslah bahwa ada yang salah pada parpol tersebut. Kalau kemudian ada yang ngotot mencalonkan pemimpin dari faktor keturunan, maka itu bisa jadi wajar, asalkan ada proses kaderisasi yang jelas yang telah dilakukan oleh Parpol.
Di sisi lain, persoalan kesejahteraan rakyat dalam sistem demokrasi dan otonomi daerah yang berada ditingkat Kota/kabupaten, jelas ditentukan oleh bupati/walikotanya masing-masing. Terbayanglah kemudian bagaimana kalau para walikota/bupati adalah para petruk-petruk yang hanya mengejar kepentingan kenikmatan pribadi dari kekuasaannya. Soal kesejahteraan rakyat? nampaknya mereka tidak terlalu peduli. Lantas siapa yang akan disalahkan dari fenomena ini?
Harus ada proses kesadaran bersama dari rakyat akan makna sesungguhnya dari demokrasi. Demokrasi akan menuju pada kesejahteraan rakyat ketika pemilihan para pemimpin dilakukan dengan melihat siapa sesungguhnya calon pemimpin. Adakah mereka tidak lebih hanyalah para petruk-petruk haus kekuasaan ataukah ada kekuatan keinginan dari mereka akan pentingnya kesejahteraan rakyat.
Dalam kasus ontran-ontranan soal penentuan calon Bupai di Tabanan, jika rakyat Tabanan memiliki kesadaran politik yang baik, maka sikap para elite parpol tersebut hanya pantas untuk ditertawakan. Mereka benar-benar telah menjadi petruk-petruk yang sedang menggelar dagelan di pentas Drama Gong. Lakon yang sedang mereka pentaskan adalah tentang nikmatnya kekuasaan bagi para petruk dan menganggap rakyat Tabanan sebagai orang-orang bodoh yang bisa mereka bodoh-bodohi.
Karena itu menurut saya Rakyat Tabanan pantas untuk menertawakan lelucon-lelucon para petruk itu jangan sampai ada yang mau berekelahi secara fisik hanya karena membela para petruk pemain dagelan. [b]
Masyarakat luaslah yang tetap menerima sistem seperti ini. Jika tidak pasti sudah pecah revolusi di negeri ini.
@ cahya : bagaimana dengan perpecahan yang mengatas namakan demokrasi? pembangkangan para bupati terhadap Perda RTRW Bali?
Menurut saya bukan demokrasinya yang jadi masalah, tapi demokrasi yang seperti apa yang mau dipakai.
tabik.
kalau bagi pribadi, sikap terlalu fanatik terhadap suatu partai politik lah yang kurang bagus, kalau memang politikus yang bersikap begitu sih ndak masalah, tapi kalau rakyat biasa seperti saya ini, fanatisme terhadap suatu partai itulah yang tidak sehat. Jangan sampai hanya karena berbeda partai lalu bermusuhan hingga ke anak cucu. Sangat memprihatinkan.
**mudah2an tidak terlalu OOT
Apa enaknya Tabanan dipinpin oleh orang yang tak jelas asal usulnya ?
Statusnya pun nggak diketahui belum kawin, sudah kawin atau JANDA !!!
LEWATIN AJA !!!!!!