Teks dan Foto Luh De Suriyani
Lebih dari 1000 warga tumpah ruah di Jalan Raya Kapal, Mengwi, Kabupaten Badung, Senin sore. Usai persembahyangan di Pura Desa setempat, warga mengakhiri prosesi upacara agama Purnama Kapat dengan tradisi Perang Tipat Bantal (masiat tipat).
Dua kelompok warga berhadap-hadapan di ruas jalan arah Denpasar-Gilimanuk yang ditutup sementara. Masing-masing orang mebawa tipat dan bantal.
Tipat dan bantal adalah sebutan bagi jenis makanan dari beras yang dibungkus janur (tipat/ketupat), dan ketan (kue bantal). Dua penganan ini simbol dari penghormatan manusia pada bahan pangan yang menjadi senjata manusia untuk hidup.
I Nyoman Kutek dan I Made Sabar, dua pria bertelanjang dada ini telah siap berhadap-hadapan. Keduanya digadang-gadang masing-masing kubu untuk tampil di barisan depan. Setelah aba-aba dimulai kedua kelompok pria ini mulai saling lempar tipat dan bantal yang telah dibagikan.
Ribuan tipat bantal beterbangan dan mengenai tubuh lawan. Juga mengenai warga dan pengunjung yang menonton dari pinggir arena. Tipat dan bantal yang telah jatuh diambil lagi sebagai amunisi baru, demikian seterusnya sampai sebagian besar hancur.
Beberapa kali melalui speaker dari Pura terdengar peringatan panitia agar tipat dan bantal dilempar lebih tinggi, sehingga bisa berpadu di udara. Selain itu agar tak mengenai langsung lawan.
Namun peringatan panitia kalah oleh semangat peserta yang menembakkan tipat dan bantal langsung ke tubuh lawannya.
Jika tipat dan bantal berhasil berpadu di udara, lalu jatuh ke tanah, tipat dan bantal ini mitosnya bisa memberikan keturunan bagi suami istri.
“Esensi ritual ini adalah harmonisasi purusa dan pradana yang disimbolkan oleh tipat yang feminin dan bantal simbol maskulin. Jadi biar tidak terkesan kekerasan” ujar AA Gede Dharmayasa, Kepala Desa Adat (Bendesa) Kapal.
“Tradisi perang ini bermakna bahwa pangan yang kita miliki adalah senjata utama untuk mempertahankan diri dalam hidup dan berkehidupan,” tambah Dharmayasa.
Tipat dan bantal dibuat oleh masing-masing keluarga di Kapal yang berjumlah sekitar 2211 KK dengan 18 banjar (komunitas adat terkecil). Tiap KK menghaturkan enam buah tipat dan enam buah bantal. Usai bersembahyang sesajen itu dibagi dua untuk dimakan dan sebagian dipakai amunisi Perang Tipat Bantal.
Sayangnya, penghormatan akan bahan pangan ini dikomodifikasi menjadi pertujukkan ala perang, seperti tradisi lainnya di Indonesia. Diarahkan lebih ke kompetisi, walau dengan suasana gembira atau suka cita.
Tradisi ini berkaitan erat dengan kehidupan agraris masyarakatnya, sebagai rasa syukur kepada Tuhan atas kehidupan dan berlimpahnya hasil panen di desa ini. Dilaksanakan setiap Bulan Keempat dalam penanggalan Bali (sasih kapat) sekitar bulan September – Oktober.
Dari tradisi ini pula dapat dirunut sebuah kepercayaan masyarakat desa Kapal mengenai larangan menjual tipat yang dibungkus janur. Yang bisa dijual hanya adonan beras dalam bentuk lontong yang dibungkus daun atau plastik.
Secara umum, sejarah tradisi ini bisa diteukan dalam lontar Tabuh Rah Pengangon milik salah seorang warga desa Kapal, Ketut Sudarsana.
Disebutkan suatu saat ketika sekitar 666 tahun lalu, desa Kapal mengalami paceklik panen yang mengakibatkan kekacauan dalam kehidupan masyarakatnya. Salah satu legenda setepat, Ki Kebo Iwa mendapat sabda untuk melaksanakan Aci Rah Pengangon atau Aci Rare Angon. Sarananya adalah menghaturkan tipat – bantal sebagai simbolisasi Purusha dan Pradana sebagai sumber kehidupan.
Ni Made Murni, perempuan 60 tahun warga Kapal mengatakan tradisi ini sudah turun temurun dilaksanakan pertama kali oleh sekaa subak atau kelompok petani. “Petani sudah makin hilang, jadi upacara ini dilakukan oleh warga desa di jalanan. Jadinya makin ramai,” ujarnya.
Usai perang, ribuan tipat dan bantal dikumpulkan oleh sekaa subak untuk ditaruh di sawah. Sisa-sisa makanan ini tak diperkenankan dipakai pakan ternak.
“Walau sawah sudah makin sedikit, kami berharap tak makin sulit mendapat beras,” ujar Murni dalam Bahasa Bali, yang diikuti derai tawa rekan-rekannya. [b]