Onthel terbukti menjadi medium komunikasi lintas budaya.
Akhir pekan lalu, pada Sabtu dan Minggu, ratusan pecinta sepeda tua dari seluruh Indonesia berkumpul di Lapangan I Gusti Ngurah Made Agung Denpasar, yang lebih dikenal Lapangan Puputan Badung.
Selama dua hari, anggota Komunitas Sepeda Tua Indonesia (Kosti) berkumpul di Bali untuk Kongres ke-3 dan menghelat acara Denpasar Tempo Doeloe bersama Pemerintah Kota Denpasar. Mereka menyemarakkan Denpasar dengan karnaval keliling kota sekitar 5 km.
Kongres tersebut pertama kali diadakan di Bali, daerah yang tak terlalu banyak komunitas pengguna atau kolektor sepeda tua dibanding Jogjakarta, Bandung, atau Jakarta. Padahal, sepeda tua atau onthel bisa jadi aset pariwisata juga.
“Sepeda tua masih dipandang sebelah mata di Bali. Kurang terlalu dipedulikan sebagai aset dan sejarah masa lalu,” kata Agus Suryawan, humas Kongres Kosti dari Bali ini.
Menurutnya Jogjakarta bisa menjadi contoh bagaimana sepeda onthel bisa menjadi wisata alternative seperti city tour. “Di Jogja hampir semua hotel memberi tempat bagi onthel untuk disewa tamu jalan-jalan di kota atau ke desa,” tambah pemilik 7 onthel ini.
Ia menyebut ada 18 komunitas onthel di Bali. Mereka ada di semua kabupaten kecuali Karangasem. Agus mengatakan puluhan sepeda tua dengan sejarahnya masing-masing sebenarnya bisa mendukung wisata heritage yang mulai dikampanyekan kota Denpasar.
“Sementara kami lebih sering buat kegiatan sosial seperti donor darah atau penggalangan dana bencana untuk sarana berkumpul,” sebut Agus.
Inisiatif
Sebagai inisiatif mengenalkan wisata bersepeda tersebut, maka para peserta Kongres Kosti mengikuti karnaval sepeda tua melewati beberapa jalan di Denpasar seperti Jl Veteran, Jl Patimura, Jl WR Supratman, Jl Nusa Indah, lalu kembali ke Lapangan Puputan Badung.
Jero Mangku Sukarja, salah satu jero mangku di Pura Jagatnatha, memimpin karnaval. Dia mengajak jero mangku lain untuk ikut karena bisa menyatukan pengguna otnhel lain dari seluruh Indonesia. “Ini seperti perayaan Bhinneka Tunggal Ika,” kata Sukarja.
Dia sendiri membawa pejati di bagian depan sepeda tuanya. Di bagian belakang ada kelapa gading, bahan upacara. Selama ikut keliling dengan onthelnya, sekitar 10 km di beberapa jalan utama di Denpasar, dia mengaku terus berdoa untuk keselamatan para peserta karnaval.
Ada juga Sudarmaji dan puluhan onthelis dari Lampung. Sudarmaji mengaku sejumlah rekannya ke Bali naik sepeda menempuh waktu 10 hari. “Hanya onthelis yang bisa begini, tua ataupun muda,” serunya.
Tak hanya pameran sepeda dan jual beli spare part, Kongres Kosti juga mengenalkan sepeda tua dalam workshop sepeda tua. Workshop diisi oleh pecinta onthel Jos Rietveld.
Agenda kesenian mempertemukan kesenian lintas daerah yakni Sunda Wiwitan, Rindik, Keroncong, dan Bondres.
Pasar
Para Klithikers atau pedagang sepeda dan spare partnya ini juga menggelar barang dagangan.
Suasana guyub terlihat dalam pameran dan jual beli sepeda ini. Tak hanya onthel dan aksesorisnya, juga aneka mainan dan barang pajangan tua banyak dijual.
M. Harun, pria asal Klaten, Jawa tengah menceritakan berkeliling dari satu daerah ke daerah lain untuk menjual sepeda tua, spare part, aksesoris, dan souvenir tua. Pasar penjual barang tua ini dikenal dengan nama Klithikan. Karena itu pedagangnya disebut Klithikers.
“Klithikers dan onthelis itu ibarat klub bola dan suporternya. Saling tergantung dan mendukung,” kata Harun. Karena itu di mana ada event atau Kongres Kosti, pastilah ada Klithikers ini yang meramaikan.
Sembari berjualan mereka memburu sepeda tua di daerah-daerah termasuk Bali. “Penggemar barang tua pasti mencari kita karena ini semua tak dijual di took. Makin sulit dicari makin mahal,” sebut Harun.
Ia mencontohkan stang onthel tahun 1926 merk Gazelle dari Belanda yang dijualnya seharga Rp 1,5 juta.
Selain itu Harun memajang salah satu sepeda merk Burges produksi 1930 yang dibanderol Rp 12 juta. Ada puluhan sepeda tua lain yang sudah ikut keliling Indonesia bersama pedagangnya ini.
Harun mengaku senang akhirnya bisa berkumpul di Bali. Menurutnya Bali bisa jadi menyimpan banyak onthel unik yang kadung jadi besi rongsokan. Para Klithikers dan Onthelis ini berkumpul dengan aneka bahasa daerah dan kesenian di Lapangan Puputan Badung.
Ada yang mengenakan baju khas Dayak, ada yang ala prajurit Keraton Jogja. Sejumlah onthelis lain mengenakan kain dan kamen serta udeng khas Bali.
Dalam aneka rupa penampilan itu, para pecinta onthel merayakan keguyuban dan keberagamannya. [b]