
Gelombang disrupsi digital telah membawa banyak perubahan, termasuk pada media massa. Dalam beberapa tahun terakhir, industri media massa di tanah air, termasuk nama-nama besar yang dulunya mendominasi ruang publik, menghadapi tantangan yang semakin kompleks. Salah satu dampaknya adalah fenomena pemutusan hubungan kerja (PHK) yang dialami oleh sejumlah jurnalis dan pekerja media di berbagai perusahaan.
Dewan Pers mencatat bahwa sepanjang tahun 2023 hingga 2024, setidaknya ada 1.200 pekerja media termasuk jurnalis yang terkena PHK. Namun, mereka juga menekankan bahwa angka ini bisa lebih besar karena tidak semua perusahaan media melaporkan secara resmi PHK terhadap karyawannya.
Hingga Mei 2025, berdasarkan data dari berbagai sumber, diperkirakan ratusan pekerja media lainnya juga telah kehilangan pekerjaan akibat gelombang PHK ini. Jika ditotal dengan data tahun sebelumnya, jumlah pekerja media yang terdampak PHK di Indonesia dalam periode waktu yang relatif singkat ini sangat signifikan.
Dalam diskusi “Pers di Era Digital, Siapa Takut?” yang digelar Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) wilayah Bali pada Jumat, 30 Desember 2022 di Denpasar, terdapat pernyataan menarik dari salah satu pembicara diskusi, Wayan Suyadnya. Wartawan senior pendiri Harian Media Bali itu mengatakan, digitalisasi yang menjadi sebuah keniscayaan zaman tidak banyak berpengaruh pada bisnis media massa di Bali.
Pada media cetak seperti koran, kondisi tersebut memang membuat perusahaan media mesti mengurangi oplah, selain jumlah halaman mengingat ongkos cetak yang tidak murah. Hal itu dilakukan agar koran tetap terbit. Di Bali, media cetak menjadi pilihan instansi pemerintah. Lembar koran yang lebih mudah di-kliping menjadi salah satu alasan.
Mereka biasanya melakukan kerjasama dengan perusahaan media untuk memuat rilis pers pemerintah provinsi maupun kabupaten/kota. Itulah yang membuat banyak perusahaan media di Bali tetap hidup dan tidak ada yang bangkrut, seperti yang disampaikan Suyadnya.
Digitalisasi juga membuat media cetak membuat versi online atau daring. Jika pembaca ingin membaca berita secara langsung dan cepat, bisa melihat media online. Sedangkan jika ingin membaca yang lebih lengkap dan panjang dari misalnya sebuah peristiwa bisa membaca versi cetak atau koran. Ini sebagai sebuah adaptasi, jika perusahaan media ingin terus bertahan hidup.
Mengutip Suyadnya, digitalisasi sebenarnya bukan masalah besar bagi perusahaan media, karena media cetak punya versi online, dan media online juga biasanya mencari kelengkapan berita dari media cetak.
“Jadi, tidak perlu dibenturkan antara media cetak dan media online,” katanya.
Suyadnya sangat optimis, media cetak bisa terus bertahan, sepanjang instansi pemerintah membutuhkannya sebagai sarana dokumentasi. Menurutnya, media cetak posisinya masih kuat.
Teknologi
Hal tersebut tentu berbeda jika perusahaan media hanya memiliki platform online. Kecepatan dan ketepatan menjadi modal utama. Juga, kemajuan teknologi yang mesti diikuti jika tak ingin ketinggalan dengan media-media online lain yang ada.
Nengah Muliarta, pembicara diskusi lainnya menjelaskan, laman atau website berita harus mengikuti perkembangan teknologi terkini. Jika beberapa tahun lalu website hanya menampilkan teks dan foto, kini pada website terdapat fitur video. Selain itu, pembaca berita bisa berinteraksi dengan mengisi kolom komentar jika ingin mengomentari berita yang baru saja dibaca.
Dia mengungkapkan kondisi terkini platform digital masih berkutatnya praktisi media di platform 1.0, padahal saat ini platformnya bergeser ke 3.0.
“Kita masih sibuk dengan SEO dan Clickbait, kita lupa menyematkan ‘DNA’ kita, yang penting bagaimana mengejar viewers. Ibaratnya, media tanpa identitas,” kata Muliarta.
Menurutnya, hal penting yang mesti dimiliki media online adalah ‘DNA’ dan Buku Putih. ‘DNA’ yang dimaksud identitas sebuah media online, apakah ia mengutamakan berita politik, ekonomi, sosial-budaya atau mengangkat tema edukasi, sejarah, atau lokalitas. Sedangkan Buku Putih adalah panduan bagi wartawan dalam menulis berita. Standarisasi yang menjadi ciri khas sebuah media online yang membedakannya dengan media online lain.
“Terutama sekarang banyak berita copy-paste yang menunjukan wartawan kini tidak kreatif. Zaman saya dulu menjadi wartawan, tidak ada copy-paste. Biarpun misalnya kini berita banyak berasal dari rilis pers, tetap harus disunting, disesuaikan dengan pandangan media bersangkutan,” jelas wartawan yang juga seorang akademisi ini.
Lalu, jika media online tidak melakukan kerjasama dengan instansi pemerintah, apakah bisa bertahan? Muliarta tegas menjawab: bisa. Media online harus punya divisi non-jurnalistik, misalnya membuat Podcast atau kanal YouTube. Atau juga membuat platform di mana berita-berita didistribusikan pertamakali bagi para pelanggan dan dikenai biaya jika ingin bergabung.
“Saya melihat, media yang bisa bertahan zaman sekarang adalah media yang mempunya kreativitas dan idealisme. Tanpa dua hal tersebut, agaknya sulit jika ingin terus bertahan. Jadi, analisa SWOT penting untuk dilakukan,” kata Muliarta yang juga konsultan media.
Media Sosial
Ketua Dewan Kehormatan Provinsi (DKP) PWI Provinsi Bali periode 2019-2024, I Nyoman Wirata mengamati, media online yang banyak dibaca kini adalah media online yang juga ‘bermain’ di media sosial. Maksudnya, media online memiliki akun media sosial seperti Facebook, Instagram, maupun X (dulu bernama Twitter). Baginya, keberadaan media sosial sangat membantu perkembangan media online.
Berita-berita yang dimuat dalam website juga didistribusikan ke media sosial, sehingga lebih banyak dibaca warganet. Hal itu juga membuat traffic meningkat yang tentu bisa mendatangkan iklan dan penghasilan bagi media online.
Ia juga menyoroti kualitas wartawan pada masa sekarang yang meski tidak semuanya, masih ada yang bertindak tidak seperti wartawan misalnya menulis berita yang belum tentu kebenarannya, atau yang kini banyak disebut sebagai hoaks atau berita bohong.
“Perusahaan media penting untuk mengikutkan para wartawan dalam uji kompetensi. Meski tidak seratus persen menjamin kualitas wartawan, setidaknya mereka mengerti cara menulis berita yang benar, selain mampu memahami undang-undang pers,” kata lelaki yang telah puluhan tahun menjadi wartawan itu.
Beberapa riset dan pengamat industri memperkirakan jumlah media online di Indonesia bisa mencapai puluhan ribu. Sebagai contoh, sebuah riset Dewan Pers dan Universitas Multimedia Nusantara (UMN) pada Juni 2024 menyebutkan bahwa dari total 5.019 perusahaan pers yang terdata di konstituen Dewan Pers, 3.886 di antaranya adalah media siber (hampir 80%).
Hingga kini, Dewan Pers telah memverifikasi faktual sebanyak 779 perusahaan media siber (online). Dewan Pers menyebut, pihaknya belum memiliki model pengawasan yang efektif bagi media online yang menyalahi aturan, misalnya konten berita yang melanggar kode etik jurnalistik dan undang-undang pers.
Atau juga, terlibat masalah hukum karena dilaporkan pihak yang merasa dirugikan karena pemberitaan, terlebih sejak adanya Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) yang bisa menjerat para wartawan dan atau pemimpin redaksi, jika terbukti karya jurnalistik melanggar undang-undang yang pertama kali disahkan di Indonesia pada 2008 tersebut.
Alhasil, di tengah menjamurnya media online di Indonesia agaknya mendesak untuk menguatkan Dewan Pers sebagai pengawas dan otoritas pusat pers di Indonesia. Itu penting dilakukan, agar kualitas pers terutama di era digital tetap terjaga. Persaingan ketat antar media massa diharapkan tidak ‘menabrak’ aturan yang ada. Berita dan konten berkualitas tetap wajib dibuat. (*)
*) Jurnalis, penulis 14 buku kumpulan puisi serta kumpulan esai. Menetap di Denpasar-Bali.
journal.stikesaisyogya.ac.id sbobet sangkarbet sangkarbet sangkarbet