Sangat senang sekali ketemu dengan buku ini.
Seperti ketemu dengan teman yang senasib sepenanggungan. Tak sengaja ketemu dengan buku ini waktu “ngobrak-abrik” perpus mini Sloka Institute. Dengan merayu si Intan Paramitha, pengurus Sloka, akhirnya saya bisa pinjam buku ini. Trims to Intan en Sloka Institute. Oke dah… lanjut..!
Open Source, walau hari gini sudah tak asing lagi, tapi orang masih sedikit yang mengggunakannya. Apalagi terkait dengan kerjaan profesional. Mungkin ketakutan itu karena tingkat “ketidakpercayaan” masyarakat terhadap aplikasi Open Source masih tinggi. Tapi ketahuilah bahwa kita ternyata secara tidak sengaja telah menggunakan beberapa aplikasi Open Source. Seperti PHP misalnya. Apalagi setelah Android muncul Open Source semakin tenar saja.
Walau tenar, mungkin kita tidak sepenuhnya tahu apa itu open source. Nah sang penulis, Salma Indria Rahman, mengawali bukunya dengan definisi dari opensource itu sendiri.
Ada dua dikotomi software sistem operasi dalam peredaran software legal. Yaitu open source dan produk proprietary. Open source adalah program dengan sumber terbuka yang bisa didapatkan secara bebas melalui internet. Sedangkan sang antonim, program proprietary adalah program dengan sistem tertutup. Dengan demikian siapapun yang menggunakan aplikasi tersebut harus membayar lisensi dalam jangka waktu dan harga tertentu.
Sesuai judul bukunya, penulis percaya bahwa open source akan menciptakan kebebasan berkarya tanpa batas. ”Program yang ditawarkan open source memberi semangat kebebasan berkarya dan mampu menciptakan kreativitas tanpa batas tanpa intervensi berpikir dan mengungkapkan apa yang diinginkan dengan pengetahuan juga produk yang cocok dilepas ke publik,” tulisnya.
Kebebasan
Kebebasan dan open source adalah identik. Kebebasan yang dimaksud adalah kebebasan untuk menggunakan dan mengkustom atau memodif program tersebut sesuai kebutuhan.
Lho kok bisa? Ya karena penyertaan kode sumber yang terbuka di setiap programnya. Sehingga komunitas lain juga mendapat kebebasan untuk belajar mengutak-atik, merevisi ulang, memperbaiki ataupun bahkan menyalahkan. Aneh ya.. tapi itulah open source.
Penggalakan Open source sendiri dilatar belakangi dengan kemangkelan seorang Richard Stallman akan program proprietary. Ketika universitasnya MIT mendapatkan hibah sebuah printer, printer itu tidak bisa bekerja karena ada sebuah bug dalam programnya.
Si Richard sendiri kemudian meminta kode sumbernya untuk diperibaiki tapi pihak perusahaan pemberi hibah itu tidak mau memberikannya. Mangkel, si Richard kemudian membuat gerakan free software yang mana open source berada di dalamnya.
Kode sumber memungkinkan untuk dimodif dan didistribusikan sesuai dengan syarat awal dari program itu dibuat. Sehingga munculah kemudian kerjaan turunan (Derivatif Work) yang menggunakan nomor versi atau nama yang berbeda dari dari aplikasinya. Seperti Ubuntu yang menggunakan debian sebagai basis aplikasinya.
Selain kebebasan, open source juga menawarkan kenyamanan. Kenyamanan pertama, adalah kenyamanan dalam hal update program dalam opensource. Dimanjakan dengan adanya integritas kode sumber, karena adanya pendistribusikan berkas tambahan (patch file) yang berisi perbaikan-perbaikan aplikasi. Sehingga, pengguna tidak usah mengunduh program secara keseluruhan cukup dengan mengunduh patch file-nya saja.
Kenyamanan kedua, adalah minimnya virus. Bukan berarti bebas virus, aplikasi open source masih mempunyai kemungkinan untuk terserang virus. Maka munculah antivirus seperti clamav misalnya. Tapi kekuatan open source letaknya pada komunitas. Komunitas menjadi “watch dog” dari kemungkinan virus atau pun celah keamanan.
Dan individu dalam komunitas akan bahu membahu untuk memperbaikinya. Ajaib khan. Itulah keajaiban gotong royong.
Kenyamanan yang kemudian, kita bisa mendapatkannya secara legal. Dengan mengunduhnya melalui internet. Walau memang ada yang berbayar, harganya lebih terjangkau.
Olok-olok
Buku ini kemudian menjelaskan aplikasi-aplikasi open source yang paling sering digunakan secara singkat. Dari Operating System (OS) semacam linux dan open solaris, bahasa pemrograman seperti JAVA dan PHP sampai operasi mobile semacam symbian dan android.
Dalam benak kita mungkin muncul bahwa open source itu rumit karena menggunakan aplikasi berbasis teks dengan latar belakang black screen. Tapi saat ini sistem operasi open source tidak terhitung jumlahnya yang dimudahkan dengan sistem desktop. Maka munculah aplikasi-aplikasi semacam GIMP untuk editing foto dan lain sebagainya.
Buku ini juga menjelaskan perkembangan open source di Indonesia. Sejarah awal perkembangan awal open source dari NOS (Network Operating System), FreeBSD, Linux sampai kemunculan IGOS (Indonesia Go Open Source) yang fenomenal itu.
Pemunculan tokoh-tokoh open source di Indonesia semacam Kusmayanto Kadiman sang pendorong legalisasi perangkat lunak di pemerintahan, I Made Wiryana sang “provokator” open source dan Onno W. Purbo menjadikan buku ini begitu menarik. Apalagi diboncengi dengan penggalan tulisan tokoh tokoh tersebut. Seperti Kusmayanto yang begitu gigih dengan open source karena malu Indonesia selalu menjadi bahan olok-olok di dunia Internasional karena kisah pembajakan software yang begitu dramatis.
Juga, terinspirasi dari keberhasilan presiden Brazil, Lula de Silva “menginstall” open source pada tataran pemerintahan dan korporasi.
Ada juga tulisan I Made Wiryawan yang mencoba mengetengahkan solusi untuk salah satu permasalahan open source khususnya linux seperti driver. Atau tulisan Onno yang mengetengahkan remastering distro sesuai kebutuhan. Membuat buku ini menjadi inspirasi dan penyemangat untuk menggunakan open source.
Selain tokoh dan tulisan mereka, buku ini juga mengetengahkan kisah-kisah kesuksesan implemetasi open source baik di tataran pemerintahan maupun korporasi. Yang membanggakan (bagi saya yang tinggal di Bali) adalah kisah sukses Made Winasa menyebarkan virus open source di Jemberana, Bali.
Dan bagi anda yang perlu referensi online, buku ini juga memberikan link-link direktori open source di Indonesia sebagai penutup.
Jadi ternyata, tanpa perangkan lunak proprietary semacam windows pun kita bisa berkreativitas. Pada akhirnya….. it’s not about software it’s about creativity. 🙂 [b]
Judul buku : Open Source, Kreatifitas tanpa Batas.
Penulis : Salma Indria Rahma
Tebal : 101 halaman
Penerbit : Kementerian Riset dan Teknologi
Tahun terbit : 2010
Dan sebenarnya siapapun bisa berkontribusi ke proyek FOSS (free and open-source software) yang ada. tidak harus programmer/software developer.
Selalu ada bagian untuk semua orang, misalnya: membuat translasi dokumentasi ke Bahasa Indonesia, melaporkan bug, menyebarluaskan informasi tentang FOSS tsb, dsb.
Dari perspektif programmer sendiri, sebenarnya ada banyak hal positif yang bisa diambil (selain hasil akhir dalam bentuk produk). Contoh paling sederhana adalah cara/teknik developers FOSS tersebut dalam menyelesaikan masalah tertentu. Intinya sih mengembangkan horizon kita agar tidak buntu ke hal yang itu-itu saja. Dan memang itu tujuannya di-open source-kan, supaya menyebarluaskan pengetahuan (intisari dari pengalaman), dengan tentunya ada harapan untuk pengembangan lebih lanjut.
Long live free and open-source software!
Bener itu om Leonardo…
isoul, waktu aq masih nongkrong di majalah maestro dan komunitas software merdeka unud, legenda Richard Stallman 2 kali datang ke bali. inget temen2 nganterin stallman jalan2 keliling bali naik motor. dan oleh2nya, mastro kemudian kupas free software ini menjadi laporan utama, “free doftware movement”.