Oleh Agung Wardana
Pertemuan Para Pihak UNFCCC (Konvensi Kerangka Kerja PBB Mengenai Perubahan Iklim) di Bali berakhir sudah, meski dalam perjalanannya banyak diselimuti berbagai sandiwara-sandiwara oleh aktor yang sedang bernegosiasi. Mulai dari ketidakmampuan Indonesia memimpin Negara Berkembang (G77/ China) dan hanya bisa menyerukannya lewat lagu, menangisnya Yvo de Boer, Sekjen UNFCCC hingga drama keamanan seolah Bali dalam kondisi darurat.
Harapan dari Pertemuan Bali
Sesuai laporan IPCC (Panel Pemerintah Mengenai Perubahan Iklim/ Intergovernmental Panel on Climate Change) untuk menjaga kenaikan suhu bumi tetap berada di bawah 2 derajat celcius maka harus mereduksi emisi sebesar 25 % – 40 % hingga 2020. Harapan untuk mengikat komitmen Negara-negara ini muncul pada pertemuan di Bali yang dituangkan dalam Bali Roadmap. Namun harapan kuat ini kandas pada detik-detik terakhir karena Bali Roadmap lebih bersifat kompromistis dengan mengakomodir kepentingan Amerika Serikat (AS) dan tidak mencantumkan besaran terget penurunan emisi.
Perdebatan yang alot yang dipimpin oleh AS didukung Kanada dan Jepang berhahadapan dengan G77/China. Dalam setiap kesempatan AS selalu menekankan bahwa penanggulangan perubahan iklim haruslah environmental-friendly (penurunan emisi harus dilakukan secara global tanpa ada pembedaan antara Annex dan Non-annex) dan economic-friendly (skema penurunan emisi tidaklah boleh mengganggu pertumbuhan ekonomi). Meski Amerika Serikat menyatakan menerima Bali Roadmap, banyak pihak merasa tidak puas dengan hasil pertemuan di Bali dan menyatakan bahwa akan lebih baik jika AS walkout meninggalkan ruang sidang sehingga para pihak lainnya dapat menyusun Bali Roadmap yang ambisius dengan target penurunan emisi yang signifikan.
Hal ini dengan asumsi bahwa awal tahun 2009 AS akan memiliki presiden yang baru sehingga memunculkan harapan akan perbaikan kebijakan mengenai perubahan iklim. Namun asumsi ini tidaklah begitu berdasar, karena siapapun yang akan menjadi Presiden AS tidak akan berani coba untuk menganggu kepentingan ekonomi nasional mereka. Atau dengan kata lain, merusak tatanan ekonomi mereka yang telah mapan karena pemerintahan AS berada dalam kendali perusahaan-perusahaan besar yang berbasis minyak fosil.
Memang banyaknya kelemahan dari apa yang dihasilkan di Bali, seperti; pendanaan adaptasi diserahkan kepada Bank Dunia dan kesekretariatannya sendiri berada dibawah GEF (Global Environmental Fasilities) yang banyak di kritisi, selain itu transfer teknologi, REDD yang jika tidak dikawal akan menindas hak masyarakat adat dan masyarakat sekitar hutan. Terlepas dari kelemahan tersebut, akan jauh lebih baik dari pada tidak ada hasil sama sekali, karena sejak awal COP 13 di Bali di set-up untuk mengalihkan tanggung jawab negara maju. Hal ini dapat dilihat dari, pembahasan yang melulu tentang apa yang harus dilakukan pada komitmen kedua Protokl Kyoto (komitmen pasca 2012) tanpa memutuskan tentang instrumen apa yang harus dibuat untuk mengawal target penurunan emisi pada komitmen pertama (2008-2012).
Tidak Menyerah Begitu Saja
Sebuah negara adi kuasa seperti AS tidak akan menyerah begitu saja setelah menyatakan bergabung dengan konsensus di Bali. Masih akan ada skenario-skenario untuk tetap dapat mencemari atmosfir bumi. Begitu juga dengan Uni Eropa yang berjanji akan menurunkan emisi mereka dengan berbagai macam pengecualian dan kondisional adalah wujud ketidak seriusan untuk menjalankan komitmen sesuai terget yang disepakati. Apalagi bulan depan akan berlangsung Major Economic Meeting di Hawaii, sehingga menimbulkan pertanyaan, apakah negara maju sedang mempersiapkan skenario-skenario untuk keluar dari Bali Roadmap?