Dua peneliti membahas tentang sistem pangan di Bali.
Mereka adalah Graeme McRae dari Universitas Massey, Selandia Baru dan Thomas Reuter dari Universitas Melbourne, Australia. Keduanya antropolog yang sedang melakukan riset tentang sistem pertanian di Bali.
Pada Kamis kemarin, mereka menjadi narasumber dalam seminar di Fakultas Sastra Universitas Udayana (Unud), Bali. I Nyoman Darma Putra, dosen Fakultas Sastra menjadi moderator seminar bertema Dampak Pariwisata dan Globalisasi terhadap Sistem Pangan di Bali itu.
Graeme membuka diskusi tentang peran petani di Bali. Menurut Graeme, secara tradisional petani Bali melahirkan dua jenis karya yaitu karya sebagai hasil pekerjaan secara skala atau yang terlihat dan karya secara niskala melalui upacara-upacara atau ritual. Dalam Bahasa Bali sendiri, karya memang bisa berarti upacara agama Hindu di Bali.
“Karya secara niskala itu justru hal paling penting bagi petani Bali,” katanya. Ada 9-10 karya secara niskala bagi petani Bali mulai dari pembenihan hingga panen. Tiap tahap memiliki upacara sendiri-sendiri dalam skala kecil maupun besar.
Bagi petani Bali tradisional, bertani adalah juga kegiatan komunal. Panen, misalnya, adalah proses kolektif. Mereka melakukannya bersama-sama di subak. “Ada proses pertukaran dan saling membantu di antara sesama anggota sekaa panen,” ujarnya.
Padi hasil panen kemudian disimpan di lumbung sebagai cadangan pangan. Dengan prinsip kebersamaan, mereka saling membantu termasuk dalam hal pangan. Jika ada petani yang tak punya padi untuk bahan pangan, mereka saling membantu pula.
Model ekonomi yang berjalan di kalangan petani tradisional Bali adalah ekonomi antar-komunitas. Tidak ada jual beli. “Bahkan mereka merasa malu jika harus menjual padi kepada tetangga,” ujarnya. Menurut Graeme, tradisi pertukaran pangan itu terganggu ketika muncul Revolusi Hijau pada dekade 1970-an.
Dia tidak membahas lebih detail bagaimana gangguan itu diakibatkan oleh Revolusi Hijau. Namun, menurut saya, dampak Revolusi Hijau termasuk di Bali itu sangat mungkin terjadi akibat berubahnya pola produksi. Revolusi Hijau yang pada awalnya bertujuan untuk memproduksi pangan sebanyak-banyaknya justru memaksa lahirnya mekanisasi pertanian. Penggunaan teknologi dan masifnya bahan-bahan kimia hanya dua di antaranya.
Karena sudah menggunakan mekanisasi semacam traktor, petani bisa bekerja secara individu. Tak perlu lagi kerja sama dalam kelompok. Pada saat panen juga tinggal cari buruh panen. Mudah dan murah.
Padahal, dampaknya kemudian adalah hilangnya perasaaan sebagai satu komunitas di antara sesama petani. Kemauan saling membantu termasuk dalam pemenuhan pangan pun kian hilang.
Revolusi Hijau sendiri semula memang mampu menjawab kebutuhan pangan. Namun, terlalu banyak dampak negatif daripada positifnya. Penggunaan bahan kimia pertanian secara berlebihan malah merusak tanah. Untuk sementara memang hasil produksi naik. Tapi, setelah kesuburan tanah kian hilang, jumlah produksi pun terus turun. Banyak contoh dan buktinya.
Maka, menurut Graeme, kegagalan Revolusi Hijau tak semata pada teknologi dan ekologi tapi juga ideologi. “Dulu petani Bali merasa tidak enak melakukan jual beli padi. Lebih baik memberi kepada tetangganya,” ujarnya.
Dengan kian berubahnya ideologi petani tersebut, maka ketahanan pangan pun makin rentan. Makin tergantung pada pasokan pangan, termasuk beras dan ikan, dari luar Bali.
Jeruk Kintamani
Thomas Reuter kemudian memberikan contoh-contoh dari lapangan terkait rentannya ketahanan pangan Bali tersebut. Antropolog dari Universitas Melbourne ini meneliti petani di Kintamani, daerah di ketinggian Bangli.
Thomas terlebih dulu membahas makin sulitnya irigasi pertanian di Sungai Mekong, kawasan yang meliputi enam negara di Asia Tenggara dan sebagian China. Pengairan sawah di kawasan Mekong yang makin susah berdampak pada menurunnya jumlah panen.
Tidak sulit membayangkan bahwa Indonesia pasti akan terkena dampak jika Mekong mengalami kekeringan. Sebab, dari sinilah sebagian besar impor beras ke Indonesia berasal. Impor beras dari Vietnam saja mencapai 700 ton pada tahun lalu dari 1,5 juta ton.
Dari Mekong, Thomas kemudian membahas perubahan pola pertanian di Kintamani dan perdagangan pangan di daerah ini.
Salah satu yang penting menurut saya adalah soal pertanian jeruk kintamani. Menurut Thomas, di satu sisi ini memang menguntungkan secara ekonomi tapi mengancam ketahanan pangan. Dengan bertani jeruk, petani Kintamani mendapatkan uang lebih banyak. Tapi di sisi lain sumber pangan justru hilang.
Keuntungan secara ekonomis dari pertanian jeruk juga lebih banyak lari ke middle man, seperti tengkulak. Bukan ke petani. Hal ini, menurut Thomas, karena rantai pemasaran yang terlalu panjang, sampai 8 langkah. Rantai pemasaran adalah tahap-tahap dari petani hingga ke konsumen akhir.
“Harga jual jadi tidak berpihak kepada petani. Penjualan jeruk sama sekali tidak menguntungkan petani,” kata Thomas.
Di sisi lain, petani justru mendapatkan akibat buruknya. Thomas memberikan contoh terlalu banyaknya penggunaan bahan-bahan kimia, seperti pembasmi rumput yang mengakibatkan tanah cepat terbawa air jika terjadi hujan. Padahal, akar jeruk kurang bisa menahan air. Tidak seperti pohon kopi.
Tanah pun cepat hilang kesuburannya.
Penggunaan bahan kimia berlebihan yang kemudian dibawah air saat hujan juga ikut meracuni ikan di danau dan sungai. Menurut Thomas, kasus keracunan ikan massal di Danau Batur terjadi akibat penggunaan bahan kimia untuk pertanian jeruk. Matinya ikan juga menambah kian terancamya sumber pangan.
Lengkaplah sudah. Di kebun, tanaman-tanaman sumber pangan seperti jagung dan umbi-umbian kini hilang berganti dengan tanaman yang menghasilkan uang dengan cepat (cash crop), seperti jeruk. Di danau, sumber-sumber pangan lain, seperti ikan juga mati.
Menurut Thomas, pemerintah Bali sendiri sudah berusaha membuat inisiatif-inisiatif baru untuk mengatasi masalah pertanian secara umum termasuk rentannya ketahanan pangan Bali. Salah satunya program Sistem Pertanian Terintegrasi (Simantri). Petani menggunakan pupuk organik dari ayam dan sapi. Biogas dari kotoran juga diubah menjadi energi ramah lingkungan.
“Program ini sudah berjalan namun di Kintamani hanya satu dua yang bisa membeli alat pengolahan menjadi biogas itu,” kata Thomas.
Sebagai penutup presentasi, Thomas juga memberikan contoh bagaimana perubahan sistem pangan di Bali berdampak hingga ke ritual umat Hindu di pulau ini. Dia memperlihatkan foto banten berisi camilan ringan bermerek global. Saat upacara sehari-hari juga kita dengan mudah melihatnya, seperti Pocari Sweat di gebogan, dan semacamnya.
Penggunaan camilan, makanan, ataupun minuman bermerek global dalam banten dan gebogan itu membuktikan, bahkan sarana upacara di Bali pun makin tergantung pada sistem pangan global. [b]